Sabtu, 18 Februari 2012

HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN




HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN
 
Meski pengadaan pesawat terbang kepresidenan RI sudah direncanakan sejak tahun 2010, namun penyerahan secara resmi pesawat seri 737-800 Boeing Business Jet 2 (BBJ 2) pada tanggal 21 Januari 2012 ternyata mengundang banyak reaksi. Reaksi paling keras ditujukan kepada para penyelenggara negara yang tidak peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat yang lebih membutuhkan pelayanan yang lebih baik di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan.   Kebutuhan transportasi udara untuk perjalanan presiden baik dalam atau luar negeri saat ini selalu menyewa pesawat Garuda. Namun dengan pertimbangan beberapa aspek, maka pengadaan pesawat kepresidenan dianggap sebagai kebutuhan.  Sebenarnya sampai sejauh mana pentingnya Indonesia untuk memiliki pesawat kepresidenan, maka tinjauan ini didasarkan pada beberapa aspek.
Aspek Geografis.  Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (lebih dari 17.000 pulau) dan wilayahnya cukup luas.  Selanjutnya dengan keberagaman suku, agama, dan adat istiadat, maka seorang kepala negara harus menjadi perekat bangsa. Karena itulah seorang kepala negara siapapun orangnya, harus selalu dekat dan dicintai rakyatnya. Guna memperoleh itu semua, maka dalam mengeluarkan kebijakan seorang kepala negara harus selalu memihak kepentingan rakyat dan juga tidak kalah pentingnya harus sering mengunjungi rakyatnya.  Jangan sampai terjadi kecenderungan seperti pada akhir-akhir ini, sebagian masyarakat kita misalnya yang tinggal di daerah perbatasan lebih mengenal pemimpin negara tetangga dari pada pemimpin negeri sendiri. Agar memenuhi kebutuhan tersebut, maka satu-satunya jenis transportasi yang menjamin kecepatan, daya jangkau, serta fleksibilitas adalah pesawat terbang. 
Aspek Sejarah.  Presiden Indonesia terdahulu yang mempunyai masa jabatan lebih dari sekali masa jabatan dalam masa pemerintahannya, telah melakukan pengadaan pesawat kepresidenan.  Presiden pertama Bung Karno yang berkuasa selama 21 tahun, pernah memiliki DC-3/Dakota, Ilyushin 14, dan tiga buah pesawat jet transport Jetstar.  Pesawat DC-3/Dakota bernomor ekor RI 001 Seulawah merupakan hadiah dari rakyat Aceh, Ilyushin 14 hadiah dari pemerintah Uni Sovyet, sedangkan 3 Jet Star dibeli dari Lockhead AS.  Pesawat kepresidenan inilah yang digunakan untuk mendukung perjalanan sang presiden ke segenap wilayah Nusantara. Dalam perjalanan  ke luar negeri, Presiden Soekarno tidak selalu menggunakan Garuda karena belum mempunyai pesawat yang mampu untuk penerbangan jarak jauh.
Salah satu dari 3 C-140/Jet Star Pesawat Kepresidenan Era Bung Karno
 
 Ketika berkunjung ke AS dan bertemu dengan presiden Kennedy, Bung Karno justru menyewa pesawat Boeing 707 milik maskapai penerbangan AS yaitu Panam lengkap dengan awak cabin dan pilotnya. Presiden Sukarno juga mempunyai pesawat helikopter kepresidenan jenis Hiller 360A, yang penerbangan perdananya dilakukan  dengan membawa presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati keliling Jakarta secara bergantian, karena kapasitas helikopter hanya 1 penumpang saja. Helikopter Hiller 360 A diganti dengan dengan Bell 47 G dan Bell-47J-2E, serta Sikorsky S-58 yang berkapasitas lebih besar. Bahkan pada tanggal 11 Maret 1966 yang merupakan proses awal lengsernya sang presiden, Bung Karno terbang ke istana Bogor karena istana Merdeka dikepung oleh pasukan yang tidak diketahui identitasnya.

Helikopter Kepresidenan Hiller 360 A
Presiden Soeharto sebagai pengganti Bung Karno, termasuk mengeluarkan kebijakan untuk mengganti semua pesawat kepresidenan yang pernah dipakai Bung Karno. Pada awal pemerintahan Soeharto menggunakan pesawat C-130/Hercules TNI AU untuk perjalanan dalam negeri, sedangkan untuk lawatan ke luar negeri menyewa pesawat milik Garuda. Pesawat yang digunakan antara lain DC 8, DC 10, dan MD 11.  Bahkan pesawat MD-11 Garuda beregistrasi PK-GIM, merupakan pesawat yang mengantarkan Soeharto ke Mesir yang sekaligus merupakan  perjalanan terakhir sebagai seorang presiden pada bulan Mei 1998.  Selama masa pemerintahannya Presiden Soeharto pernah membeli beberapa pesawat, yaitu Fokker 28, Bae 146 buatan British Aerospace, dan Avro RJ-185. 
Salah satu pesawat kepresidenan era Suharto BAe 146

Soeharto lengser dan digantikan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, dengan masa kepemimpinan yang hanya beberapa bulan.  Pada masa pemerintahan presiden Abdul Rachman Wahin (Gus Dur), Megawati, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono, dalam melakukan perjalanan baik ke dalam ataupun luar negeri selalu  menggunakan Garuda.  Pesawat yang digunakan antara lain Airbus A-330  ataupun  Boeing 737 series.  Ada sedikit catatan yang berhubungan dengan penggunaan pesawat untuk mendukung perjalanan pada saat masa pemerintahan Gus Dur.  Karena seringnya bepergian ke luar negeri, maka dengan pertimbangan penghematan biaya perjalanan, Gus Dur pernah menggunakan Boeing 707 milik TNI AU yang tentu sebelumnya harus mengalami perbaikan dan perubahan konfigurasi.  Ada suatu kejadian yang agak tidak mengenakkan pada saat kunjungan Gus Dur ke Australia dengan menggunakan Boeing 707 ini.  Pada saat itu pesawat terpaksa didaratkan secara darurat  di Darwin setelah diketahui indikator tekanan oli menyala, yang dicurigai terjadi kerusakan pada sistem pelumasan mesin.  Akhirnya Gus Dur beserta rombongan menggunakan pesawat angkut Australian Air Force untuk melanjutkan perjalanan ke Sidney, dan pulangnya ke tanah air dijemput pesawat Garuda. Kejadian tersbut menuai kritikan dari para anggota DPR lantaran biaya perjalanan menjadi membengkak dua kali. 
Boeing 707 TNI AU yang membawa Gus Dur ke Aussie

Berdasarkan aspek sejarah sebenarnya Indonesia telah memiliki pesawat kepresidenan semenjak era presiden pertama, sehingga keinginan memiliki pesawat kepresidenan pada era presiden sekarang merupakan hal yang wajar.

Aspek Keamanan

Meskipun standar pengamanan seorang presiden selalu disesuaikan dengan eskalasi ancaman terhadap negara yang bersangkutan, namun standar minimal pengamanan selalu diberikan bagi seorang kepala negara.  Pengamanan tersebut diberikan dalam berbagai hal tidak terkecuali alat transportasi yang digunakan termasuk pesawat terbang.  Pesawat terbang kepresidenan akan memberikan jaminan keamanan yang lebih baik dari pada pesawat sewaan.  Berbagai alasan karena pemeliharaan dan pengoperasian pesawat bisa dilakukan oleh SDM dengan integritas, kompetensi, dan security awareness yang tinggi. Dengan demikian peluang terjadinya ancaman terhadap keamanan presiden melalui wahana transportasi udara berupa pesawat terbang kepresidenan akan menjadi lebih kecil dari pada jika menggunakan pesawat sewaan. Disamping itu pesawat kepresidenan juga dilengkapi peralatan keamanan misalnya badan pesawat yang dirancang anti peluru, pemasangan anti jamming guna melindungi sistem komunikasi pesawat dari gangguan lawan, dan sebagainya.  Dengan demikian seorang kepala negara yang sarat dengan tugas-tugas kenegaraan harus juga diberikan jaminan keamanan yang lebih baik dalam penerbangan. Keamanan dalam penerbangan bagi seorang kepala negara akan lebih terjamin jika memiliki pesawat kepresidenan sendiri.  
    
Penggunaan Pesawat Kepresidenan Lebih Efisien dan Optimal

Berdasarkan penjelasaan dari Sekretaris Kemensesneg Lambock  Nahattands bahwa biaya sewa pesawat terbang pada tahun 2005 s/d 2009 sebesar  90,4 juta dollar AS, dengan kenaikan biaya sewa setiap tahun sebesar 10%.  Adapun jika membeli pesawat BBJ2 dengan harga 91,2 juta dollar AS, biaya perawatan dan operasional selama 5 tahun sebesar 36,5 juta dollar AS. Kemudian jika diperhitungkan depresiasi pesawat selama 5 tahun senilai 10,423 juta dollar AS dan nilai buku aset pesawat sebesar 80,785 juta dollar AS, maka akan diperoleh penghematan 32,136 juta dollar AS. Gambaran di atas merupakan penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan pemilikan sendiri dibanding dengan sewa selama 5 tahun. Penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan cara memiliki sendiri dibanding dengan cara sewa pesawat akan terus bertambah seiring dengan semakin lamanya usia pemakaian pesawat.  Selanjutnya pemakaian pesawat juga akan lebih optimal, karena tingkat kesiapan (readiness rate) yang lebih tinggi.
Berdasarkan catatan di atas, maka sebaiknya pengadaan pesawat kepresidenan tidak perlu diributkan lagi.  Proses pengadaan ini sudah dimulai sejak tahun 2010 dan sudah dibayar lunas dengan cara pembayaran dicicil tiga kali.  Secara prosedural menurut aturan pengadaan barang yang dibiayai APBN sudah benar yang dimulai antara lain penentuan spesifikasi teknik, persetujuan DPR, proses tender dan sebagainya.  Namun proses pengadaan baru pada pembayaran harga “green aircraft” sebesar 58,6 juta dollar AS. Yang dimaksud “green aircraft” adalah pesawat kosong belum termasuk interior kabin dan sistem keamanan.  Pengadaan interior kabin dianggarkan sebesar 27 juta dollar, sistem keamanan sebesar 4,5 juta dollar, dan biaya administrasi sekitar 1,1 juta dollar AS.  Menurut Sekretaris Kemensetneg, pengadaan interior kabin dan sistem keamanan saat ini dalam proses pelelangan yang pemenangnya ditentukan pada akhir Februari ini.  Dengan adanya reaksi keras dari masyarakat terhadap pengadaan pesawat terbang kepresidenan ini, diharapkan dapat menekan harga pengadaan interior kabin dan sistem keamanan menjadi lebih rendah dari pada pagu yang dianggarkan.
Kemudian ada beberapa pertanyaan mengapa pesawat kepresidenan tidak menggunakan produksi dalam negeri.  Kebutuhan pesawat terbang kepresidenan tentu disesuaikan dengan luas wilayah geografi Indonesia, juga termasuk pemetaan jarak negara-negara yang akan dikunjungi.  Oleh karena itu dibutuhkan pesawat yang bisa terbang cepat dan stamina terbang (flight endurance) yang tinggi, sehingga jarak capai penerbangan menjadi lebih jauh.  Selain itu kapasitas penumpang juga harus disesuaikan dengan jumlah rombongan presiden pada setiap kunjungan baik di dalam maupun ke luar negeri.  Pesawat dengan spesifikasi teknik tersebut belum dibuat di PTDI sampai saat ini.  Pesawat transport produksi PTDI yang sudah banyak digunakan baik sebagai angkut militer maupun sipil di beberapa negara adalah CN 235. Pesawat CN 235 merupakan pesawat transport ukuran sedang bermesin turboprop dengan kecepatan jelajah sekitar 450 km/jam, sedangkan kapasitas hanya 44 penumpang. Bandingkan dengan kecepatan pesawat BBJ 2 yang terbang dengan kecepatan lebih dari dua kali CN 235, serta mempunyai flight endurance sekitar 9 jam. Kapasitas penumpang CN 235 hanya 44 orang, sedangkan kapasitas pesawat BBJ2 lebih dari 150 penumpang.  Namun kapasitas pesawat BBJ 2 setelah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan konfigurasi pesawat kepresidenan, maka jumlah tempat duduk bisa berkurang menjadi sekitar setengahnya. Pengurangan jumlah tempat duduk tersebut antara lain karena ruangan diambil untuk penyediaan ruang tidur, ruang rapat, dan sebagainya. Memang kadang kita lupa dengan menganggap bahwa presiden adalah manusia super. Padahal seorang presiden kurang lebih juga sama dengan kita dalam hal ketahanan fisik, apalagi usia seorang presiden biasanya sudah tergolong “senior”. Dalam penerbangan yang lama, ia butuh istirahat, santai, dan ingin memanfaatkan setiap peluang untuk hal-hal yang berhubungan dengan tugas kepresidennya, misalnya bisa melakukan rapat, jumpa pers, atau bisa memberikan perintah atau arahan kepada para pejabat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar jika pesawat kepresidenan dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk mendukung keperluan tersebut.  
Dalam rangka menjangkau seluruh wilayah Indonesia, memang belum cukup kalau hanya menggunakan BBJ2 sebagai pesawat kepresidenan, karena pesawat ini tentu tidak bisa mendarat pada landasan pendek semacam lapangan terbang perintis.  Oleh karena itu, idealnya selain pesawat BBJ2 masih harus didukung pesawat sejenis CN 235 yang mampu mendarat pada landasan pendek, dan juga helikopter untuk mengunjungi daerah-daerah yang jauh dari lapangan terbang.
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebaiknya pembelian pesawat kepresidenan ini tidak usah dihebohkan, karena semua telah dilakukan dengan pertimbangan berbagai aspek termasuk prosedur pengadaannya.  Hal ini perlu agar atmosfer negeri ini tidak bertambah semakin keruh, yang pada akhirnya hanya akan menurunkan kinerja kita sebagai komponen bangsa.

Selasa, 20 Desember 2011

PERJALANAN BACKPACKERS

-->
PERJALANAN BACKPACKERS KE MACAU, HONGKONG, DAN SHENZHEN (BAGIAN TERAKHIR) 


Tepat pukul 12.00 kami checkout dari Hostel Mapple Leaf, terus menuju ke stasiun East Tsim Sha Tsui dengan jalan kaki yang jaraknya lumayan jauh.  Yah hitung-hitung untuk membakar lemak, agar sedikit langsing.  Posisi stasiun Hunghom merupakan pemberhentian berikutnya dari  stasiun East Tsim Sha Tsui. Dari Hunghom statiun, kami berganti kereta KCR (Kowloon-Canton Railway) menuju ke stasiun Lowu sebagai stasiun terakhir (terminus) untuk menuju ke Shenzhen.  Perjalanan menuju Senzhen ditempuh sekitar satu jam.  Berbeda dengan lintas MTR di Hongkong yang bisa melalui jalur bawah tanah atau bawah laut, maka untuk lintas kereta menuju Senzhen banyak di permukaan daratan, sehingga bisa melihat pemandangan di sekitar lintasan kereta dengan baik. 

Sabtu, 10 Desember 2011

THRUST AUGMENTATION

 




THRUST AUGMENTATION ( PEMBESARAN THRUST)





Pembesaran thrust pada turbojet engine sangat diperlukan dalam kondisi tertentu, antara lain pada saat tinggal landas pada cuaca panas  atau untuk kepentingan manoeuvre bagi pesawat tempur.  Besarnya  thrust pada jet engine ditentukan oleh jumlah laju massa udara yang dihisap kompresor (m), kecepatan aliran gas hasil pembakaran yang disemburkan dari nosel (Cj), dan kecepatan udara masuk melalui inlet nozzle (Ca),  yang bisa dinyatakan :

F = m (Cj - Ca)

Turbojet engine merupakan mesin konversi energi yang merubah energi panas menjadi thrust.  Berdasarkan rumus thrust,  besarnya Cj dipengaruhi oleh suhu maksimum yang dihasilkan dalam siklus turbojet engine.  Semakin tinggi suhu maksimum berarti semakin besar harga Cj. Oleh karena itu salah satu cara memperbesar thrust pada turbojet engine dengan cara meningkatkan suhu maksimum pada siklus engine.  Cara lain dalam meningkatkan thrust sesuai rumus di atas adalah dengan memperbesar laju aliran massa (m). Pesawat yang mampu menghasilkan thrust yang besar akan memperpendek jarak take-off,  laju terbang menanjak yang tinggi (high climb rate), dan mampu manoeuvre dengan lincah khususnya untuk pesawat militer.  Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada 3 cara pembesaran thrust dalam turbojet engine, yaitu menggunakan afterburner, water injection, dan bleedoff.

Rabu, 12 Oktober 2011

C-130/HERCULES SANG PERKASA

C-130/HERCULES SANG PERKASA



Pesawat C-130/Hercules adalah pesawat angkut militer yang diproduksi oleh Lockheed AS. Proses pembuatan pesawat ini merupakan hasil kemenangan dari suatu kompetisi dengan melibatkan beberapa industri penerbangan, yang diadakan oleh Departemen Pertahanan AS tentang kebutuhan pesawat angkut militer. Kriteria jenis pesawat angkut militer yang diinginkan oleh Departemen Pertahanan AS tersebut, akhirnya diwujudkan dengan pembuatan 2 prototype YC-130 yang diuji terbang pertama kali dengan sukses pada tanggal 23 Agustus 1954. Setelah proses uji prototype selesai dan memulai produksi, maka pabrik pesawat dialihkan dari Lockheed di Burbank California ke Lockheed di Marietta Georgia. Sampai saat telah lebih dari 2.000 pesawat C-130 dibuat, dan telah digunakan oleh lebih dari 60 negara di dunia. Model pertama yang dibuat adalah jenis C-130A pada tahun 1956, yang menggunakan tenaga pendorong 4 mesin turboprop T56-A-9 buatan Allison dengan propeller 3 blades (bilah) buatan Hamilton Standard. Turboprop merupakan kepanjangan dari turbo-propeller, yang berarti mesinnya adalah jenis gas turbin, namun daya yang dihasilkan merupakan daya poros untuk memutar propeller guna menghasilkan daya dorong. Pada tahun 1959 mulai diproduksi seri yang lebih baru, yaitu C-130B yang menggunakan 4 mesin pendorong T56-A-7 dengan propeller 4 blades. Sekitar 134 pesawat Hercules model B digunakan oleh Angkatan Udara AS, sedangkan Indonesia tercatat sebagai pembeli C-130B pertama di luar AS (the first overseas customer). Memang pengguna pesawat Hercules di luar AS adalah Australia, namun jenis yang dibeli adalah tipe C-130A. Pembelian C-130B oleh Indonesia terkait erat dengan kepiawaian diplomasi presiden pertama RI Bung Karno, sebagai kompensasi pembebasan pilot AS bernama Allan Pope. Sebanyak 10 pesawat yang tadinya diprioritaskan untuk keperluan Tactical Air Command (TAC) Angkatan Udara AS dialihkan untuk Indonesia. Ini membuat iri banyak negara karena Indonesia seolah-olah mendapat prioritas istimewa, sehingga tetangga AS, yaitu Kanada, baru mendapat giliran sesudah Indonesia. Pesawat C-130B saat ini masuk sebagai armada angkut TNI AU dan ditempatkan di Skadron 32 Lanud Abdulrachman Saleh Malang. Selanjutnya pada tahun 1980, kembali Indonesia membeli pesawat C-130H sebanyak 12 buah. Pesawat ini menggunakan mesin pendorong seri T56-A-15 dengan daya dorong 4.591 shp (shaft horse power), berarti lebih besar dari pada mesin yang digunakan tipe A dan B yaitu 4.200 shp. Disamping itu ada peningkatan berupa redesign pada outer wing, peralatan avionic yang lebih update, serta beberapa improvisasi minor lainnya. Dibanding dengan tipe B, Hercules tipe H yang diterima TNI AU mempunyai ukuran badan lebih panjang dibanding ukuran aslinya (stretched version), sehingga C-130H sering disebut Hercules “long body”. Pesawat C-130H saat ini masuk Skadron 31 yang merupakan skadron pesawat angkut berat yang berkedudukan di Lanud Halim Perdanakusumah. Sebagai jenis model terbaru adalah C-130J, yang meskipun secara fisik serupa dengan model Hercules sebelumnya, namun sebenarnya mempunyai perbedaan secara signifikan. Perbedaan tersebut terdapat pada mesin pendorong yang lebih besar yaitu Rolls Royce AE2100D3 dengan daya 4.700 shp serta propeller Dowty R391 dengan 6 blades terbuat dari bahan komposit, dan dilengkapi digital avionics. Disamping itu performance C-130J lebih unggul diantara model sebelumnya, antara lain kemampuan angkut beban/penumpang lebih besar, kecepatan terbang lebih tinggi, jarak tempuh lebih jauh, dan operating cost 27% lebih rendah. Dalam hal penggunaan crew, C-130J lebih efisien karena hanya diawaki oleh kapten pilot, co-pilot, dan load master, sedangkan model sebelumnya diawaki oleh 5 crew (2 pilot, navigator, flight engineer, dan load master). Ada model C-130/Hercules lain yang dibuat Lockheed, antara lain C-130D dan C-130E. Pesawat C-130D adalah C-130A yang dimodifikasi dengan memasang alat pendarat berupa ski, yang digunakan di Antartika. Kemudian untuk memudahkan proses tinggal landas dengan ski, maka pada C-130D dipasang mesin penghasil daya dorong tambahan yang disebut JATO (Jet Assisted TakeOff). Selanjutnya C-130E adalah pengembangan C-130B dengan penggantian mesin berdaya dorong lebih besar yaitu T56-A-7A, serta penambahan sepasang tangki eksternal (drop tanks) berisi 1.360 gallon. Versi C-130/Hercules yang lain adalah KC130 yang merupakan pesawat tanker yang mampu melakukan air refueling (pengisian bahan bakar di udara). Pesawat ini dilengkapi dengan tangki stainless steel berisi 3.600 US gallon, yang dapat dibongkar pasang dalam ruang cargo pesawat KC-130. Pesawat KC-130 mampu melakukan air refueling terhadap dua pesawat sekaligus dengan laju aliran bahan bakar 300 US gallon atau 13.626 liter permenit. Dalam latihan air refueling , ternyata pesawat tanker TNI AU yaitu Hercules KC-130 dari Skadron 32 mampu melakukan air refueling terhadap dua pesawat Hawk di wilayah udara Lanud Iswahyudi Madiun. Hercules, nama pahlawan Yunani kuno yang dilegendakan di dunia mitologi yang melambangkan kekuatan dan keperkasaan, sesuai benar dengan kemampuan pesawat buatan Lockheed ini. Kemampuan C-130/ Hercules sebagai pesawat angkut militer terbukti sangat berhasil di berbagai belahan dunia. Pesawat ini mampu mendarat dan tinggal landas pada landasan pacu yang cukup pendek, dan landasan yang tidak dipersiapkan (unprepared runways). Pesawat C-130 merupakan pesawat yang mampu melaksanakan fungsi yang banyak (multi roles), antara lain pesawat ini dengan mudah dan cepat untuk dirubah konfigurasinya, misalnya untuk angkut penumpang, pasukan, angkut VIP, angkut pasien dalam rangka medevac (medical evacuation), ataupun cargo. Selain itu pesawat ini juga mampu ditugaskan untuk air refueling, search end rescue, patroli maritim, dan pemadam kebakaran suatu medan terbuka. Bahkan pesawat ini juga mampu dipersenjatai untuk penyerangan udara (airborn attack). Oleh karena itu C-130/Hercules merupakan pesawat yang mumpuni digunakan baik untuk misi perang dan selain perang. Kemampuan C-130/Hercules dalam mengangkut pasukan (troop carrier) dan logistik tidak usah diragukan lagi. Demikian juga dalam melaksanakan operasi selain perang, misalnya misi kemanusiaan dalam rangka penanggulangan bencana alam C-130/Hercules telah membuktikannya. Pesawat C-130/Hercules sebagai sang perkasa, merupakan pesawat yang handal dan aman dalam pengoperasiannya. Sejak pesawat C-130/Hercules dimiliki TNI AU tercatat mengalami enam kali kecelakaan yang berakibat total lost. Pada tanggal 3 September 1964, pesawat C-130B nomor ekor T-1307 jatuh di Selat Malaka, yang dicurigai tertembak musuh saat Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Selanjutnya pada tanggal 16 September 1965, pesawat C-130B nomor ekor T-1306 jatuh di Kalimantan Timur. Sedangkan pesawat C-130H telah mengalami empat kali kecelakaan. Dua kecelakaan terjadi di Sumatra, yaitu pesawat C-130H nomor ekor T-1322 jatuh di Gunung Sibayak pada tanggal 21 Nopember 1985, dan pesawat jenis L-100 TNI AU mendarat overshoot di Lanud Malikul Saleh NAD dan terbakar pada tanggal 20 Desember 2001. Dua kejadian di Jawa masing-masing pesawat dengan nomor ekor A-1324 yang jatuh dan terbakar di Condet Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991, dan yang baru saja terjadi pesawat dengan nomor ekor A-1325 jatuh dan terbakar pada tanggal 20 Mei 2009 di daerah persawahan Magetan sekitar 8 km dari landasan Lanud Iswahyudi Madiun. Pesawat C-130/Hercules telah memperkuat armada TNI AU hampir setengah abad lamanya, dan selama itu telah mampu melaksanakan fungsinya sebagai pesawat angkut untuk misi militer maupun selain militer. Misi strategis telah dilakukannya dengan sukses antara lain Operasi Trikora di Papua, Operasi Dwikora, operasi keamanan di dalam negeri, latihan-latihan gabungan ataupun latihan militer bersama antar bangsa, melakukan patroli di perairan kita, melakukan misi kemanusiaan, bahkan pernah digunakan operasi jembatan udara pada saat penerbangan sipil mogok terbang, dan lain-lain. Pendek kata itulah gambaran C-130/Hercules Sang Perkasa. Lama pengabdian pesawat yang hampir setengah abad, menjadikan C-130/Hercules sang perkasa ini telah memasuki usia udzur. Tentu saja perhatian harus diberikan secara lebih, dan perhatian itu adalah bentuk pemeliharaan yang memadai. Kecelakaan pesawat terbang TNI AU yang terjadi secara beruntun belakangan ini, diyakini telah menjadi perhatian serius bagi TNI AU dan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pemeliharaan yang selama ini diterapkan. Semoga !!!!

Suyitmadi,

SOFT SKILL
       
Visi Kemdiknas sampai tahun 2025, yaitu menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif.  Cerdas yang dimaksud  adalah kecerdasan yang meliputi 3 ranah, yaitu kecerdasan intelektual (olah pikir), kecerdasan emosional (olah rasa) dan kecerdasan spiritual (olah hati). Kecerdasan emosi merupakan kemampuan olah rasa kepada orang lain, dalam bentuk tenggang rasa, menghargai pendapat, berempati, yang pada ujungnya menampilkan kemampuan pengendalian diri yang baik.  Kecerdasan intelektual tinggi tanpa dibarengi kecerdasan emosional yang memadai, akan membentuk pribadi yang egois, mementingkan diri sendiri,  tidak bisa menghargai pendapat orang lain, tidak mampu berempati,  tidak mampu bekerja sama, yang pada ujungnya merupakan wujud manusia yang gagal.  Namun hanya dengan kecerdasan emosional, sering menampilkan perilaku berpura-pura atau munafik.  Misalnya pura-pura berperilaku tenggang rasa, loyalitas, empati dan sebagainya, hanya dilakukan jika ada maunya atau menyangkut kepentingannya.  Ibarat berenang dengan gaya katak, dia julurkan kedua tangannya ke depan, tetapi setelah itu dia hempaskan kedua tangannya ke samping dengan kuat-kuat serta secara bersamaan dia jejakan kedua kakinya ke belakang. Perilaku tersebut memberi pelajaran bahwa demi kepentingan dirinya maka dia mencari muka kepada atasannya, dengan tidak sungkan-sungkan untuk mengorbankan bawahan dan koleganya. Oleh karena itu kecerdasan intelektual dan emosional perlu dikendalikan oleh kecerdasan spiritual atau kecerdasan nurani.  Kecerdasan intelektual dan emosional yang dikendalikan oleh kecerdasan nurani, maka semua perilaku akan berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan, yang mengarah kepada semangat penghambaan yang bermakna sebagai amal ibadah. Dengan demikian semua yang dilakukan atas dasar keikhlasan. 
Dengan membina ketiga kecerdasan tersebut secara baik, berlanjut, dan proporsional, diharapkan akan dihasilkan insan Indonesia yang kompetitif atau berdaya saing tinggi dalam aspek pengetahuan, keterampilan, dan karakter, baik di tingkat lokal maupun global.  .Insan Indonesia yang kompetitif harus diperjuangkan melalui individu-individu yang ingin selalu mengejar keunggulan, dengan belajar dan bekerja penuh disiplin, semangat tinggi, mampu bekerja sama atau mandiri, inovatif, kreatif, dan bisa menjadi agen perubahan.  Ini perlu dilakukan mengingat dalam hal daya saing bangsa, Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Indek  Pembangunan Manusia Indonesia yang dikeluarkan secara tahunan oleh UNDP dan digunakan sebagai indikator tingkat daya saing bangsa masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, apalagi Singapura.  Demikian juga rangking Perguruan Tinggi  sebagai dapurnya SDM yang berkualitas, baik versi Times Higher Education Supplement dan Webometric, Indonesia masih belum berbicara banyak baik di tingkat Asean, Asia, apalagi dunia.   Dengan demikian sangatlah tepat Visi Pembangunan Kemdiknas sampai tahun 2025, untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.  Banyak pihak yang seharusnya ikut mengawal tingkat pencapaian visi pembangunan Kemdiknas ini, salah satunya adalah satuan pendidikan khususnya perguruan tinggi.  Berdasarkan fakta di lapangan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi, hanya pinter secara akademik tetapi tidak cakap bekerja apalagi cakap dalam menjalani hidup. Anggapan ini tentu sebagai masukan berharga bagi para pengelola perguruan tinggi dalam membina peserta didiknya, sehingga menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif.   Agar hasil didik dari perguruan tinggi memiliki kecakapan menjalani hidup, maka harus bisa menjamin bahwa hasil didik dapat memiliki dan mengembangkan hard skill dan soft skill.  Oleh karena itu pengelolaan perguruan tinggi harus bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk visi tersebut.  Menurut Berthal, bahwa soft skill merupakan perilaku personal ataupun antar personal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerjanya.   Dari batasan tersebut terlihat bahwa soft skill berada pada ranah afektif dan psikomotorik, yang juga merupakan wujud dari pengotimalan ketiga kecerdasan yang dimiliki manusia. Soft skill berbeda dengan hard skill yang merupakan ketrampilan teknis seseorang. Seorang pilot yang mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam mengemudikan pesawat terbang dalam cuaca buruk adalah hard skill. Tetapi jika pilot memutuskan untuk go around  karena pertimbangan ada parameter pendaratan yang kurang, dan jika diputuskan tetap  mendarat kemungkinan akan terjadi kegagalan, maka kemampuan memutuskan dalam kondisi kritis tersebut adalah soft skill.  Pemain bola yang mampu mengoper bola secara akurat adalah hard skill, tetapi jika pemain bola tersebut juga mampu memompa semangat bagi timnya untuk memperoleh kemenangan, maka itulah soft skill.
Nah, sekarang bagaimana pembinaan soft skill di perguruan tinggi?  Berdasarkan survey dan sekaligus kondisi faktual di lapangan, bahwa sistem pendidikan kita memberikan 90% pendidikan hard skill dan hanya 10% pendidikan soft skill. Kondisi ini sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa keberhasilan seseorang di dunia kerja ditentukan oleh 90% soft skill dan hanya 10%  hard skill.   Pada dasarnya pembinaan soft skill di perguruan tinggi dilakukan melalui proses pembelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler serta ko-kurikuler.
Pembinaan soft skill melalui proses pembelajaran, menuntut dosen bisa berperan secara optimal.  Peran tersebut mulai dari perilaku dosen, metode pembelajaran, dan mengoptimalkan substansi mata kuliah yang diampu baik dari sisi hard skill maupun soft skill. Yang dimaksud perilaku dosen adalah perilaku yang melekat pada diri dosen yang pantas menjadi tauladan bagi mahasiswa.  Misalnya dosen harus berpakaian pantas pada saat mengajar.  Kalau dosen memakai kemeja berdasi yang rapi, mudah-mudahan mahasiswanya akan malu jika memakai kaos oblong dan sandal.  Jika dosen hadir 5 menit sebelum jadwal kuliah dimulai dan berani menegur kepada mereka yang terlambat, diyakini pada jadwal kuliah berikutnya mahasiswa akan lebih menepati waktu. Dari keteladanan ini paling tidak akan merangsang mahasiswa untuk mengenal perilaku disiplin, yang merupakan dasar tumbuh berkembangnya perilaku positif lainnya.  Demikian juga pada saat menyampaikan perkuliahan, dosen harus memperhatikan aspek soft skill.  Dalam setiap bahasan materi mata kuliah selalu mengandung nilai untuk pembentukan pribadi yang baik.  Tidak peduli itu mata kuliah kelompok eksakta, sosial, teknik, dan sebagainya.  Seyogyanya dosen berkemampuan untuk mengangkat nilai itu guna merangsang pembentukan afektif mahasiswa. Selanjutnya dosen juga harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan motivator, yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek pembelajaran.  Metode pembelajaran yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek pembelajaran antara lain dilakukan dengan membiasakan mahasiswa berlatih untuk berkomunikasi lewat oral ataupun tertulis. Kegiatan ini dilakukan melalui penugasan pembuatan makalah secara tertulis dan dipresentasikan baik secara individu ataupun kelompok.  Kegiatan ini akan melatih mahasiswa untuk bekerja mandiri ataupun kelompok, melatih untuk menggunakan berbagai sumber belajar, serta membangun interaksi positif antar mahasiswa maupun dengan dosen.  Selanjutnya pembentukan soft skill yang paling efektif adalah melalui extrakurikuler, antara lain melalui pengalaman berorganisasi mulai dari Senat Mahasiswa, BEM, HMJ, UKM ataupun organisasi lainnya yang ada di sebuah perguruan tinggi. Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan ini sangat dominan, karena mereka sebagai subyek.  Mereka yang merencanakan, mengorganisir, merencanakan, mengendalikan dan sekaligus mengawasi dan mengevaluasi, yang berarti fungsi manajemen berada di tangan mereka.  Dengan demikian mereka melakukan “learning by doing” yang dalam tataran efektifitas belajar adalah yang paling tinggi.  Salah satu cara yang dianggap tidak efektif dalam pembentukan soft skill adalah dengan mengemasnya dalam bentuk mata kuliah.  Kecenderungan mahasiswa bukan pada nilai substantif mata kuliah tersebut, tetapi cenderung hanya mendapatkan nilai akademik yang baik.  Hal ini untuk lebih menegaskan bahwa pembentukan soft skill lebih dititik beratkan pada aspek afektif dan psikomotorik.  Perguruan tinggi sebagai penghasil SDM terdidik, mesti harus mengupayakan pembinaan soft skill yang optimal bagi anak didiknya.  Citra perguruan tinggi akan dinilai baik oleh masyarakat, jika perguruan tinggi tersebut berhasil melaksanakan  pembinaan soft skill secara baik bagi anak didiknya.  Nah inilah tantangan yang harus dihadapi bagi setiap perguruan tinggi, agar tetap eksis dalam menghadapi persaingan perguruan tinggi yang semakin ketat pada dewasa ini.

PEMERINGKATAN PERGURUAN TINGGI VERSI WEBOMETRICS


PEMERINGKATAN  PERGURUAN TINGGI VERSI  WEBOMETRICS


Webometrics periode Juli 2011 telah dipublikasikan dan menempatkan 149 perguruan tinggi (PT) dari Indonesia masuk dalam peringkat 12.000 PT dunia.  Webometrics merupakan sebuah lembaga pemeringkatan perguruan tinggi  yang didirikan atas inisiatif Cybermetrics Lab, yaitu sebuah lembaga penelitian terbesar di Spanyol yang dimiliki Consejo Superior de Investigaciones Cientificas (CSIC). Pemeringkatan versi Webometrics telah dilakukan sejak tahun 2004, dan merupakan kegiatan tengah tahunan yang dipublikasikan di bulan Januari dan Juli.  Data untuk penentuan peringkat dikumpulkan pada minggu pertama dari bulan-bulan tersebut, dan hasilnya dipublikasikan pada setiap akhir bulan Januari dan Juli.  Webometrics melakukan pemeringkatan sampai 12.000 dari 20.000 perguruan tinggi yang diamati di seluruh dunia. Pemeringkatan Webometrics bertujuan untuk mempromosikan dan membuka akses publikasi ilmiah, guna meningkatkan kehadiran institusi akademik dan lembaga-lembaga penelitian di di jejaring jagad jembar (WWW). Dengan demikian Webometrics melakukan pemeringkatan PT berskala internasional yang mengacu pada eksistensi suatu perguruan tinggi  di ranah dunia maya. 

Sabtu, 03 September 2011

MENGANGKAT NILAI I'DUL FITRI



MENGANGKAT NILAI IDUL FITRI

Ada sementara orang yang memaknai “idul fitri” sebagai sebagai akhir dari ibadah puasa. Pendapat ini didukung oleh suatu pemahaman bahwa “fitri” berasal dari kata “fithr (fathoro-yafthuru-ifthor) yang artinya ‘berbuka’. Dengan demikian “idul fitri” hanya sekedar tanda berakhirnya bulan Romadhan yang berarti pula berakhirnya seseorang untuk melaksanakan kewajiban berpuasa.  Di kalangan masyarakat Jawa istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa “wis bar (sudah selesai)”, maksudnya sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Ini pula yang dirayakan sebagai hari kemenangan dengan berbagai cara, antara lain bersilaturohmi dengan keluarga disertai acara pesta makan ketupat-opor ayam dan kue lebaran. Untuk kepentingan silaturohmi ini, anggota keluarga yang dari jauhpun dengan berbagai kesulitan yang dialami datang mudik ke kampung halamannya.  Mereka datang dengan berbagai atribut yang dibawanya antara lain kebanggaan hidup di perantauan, pakaian baru, kendaraan baru, yang mengarah ke sifat riya’ atau pamer. Memang silaturohmi dalam bentuk berkumpul atau pertemuan keluarga (semacam pertemuan “trah”) merupakan kegiatan yang sangat manfaat sejauh  ekses “pamer” tersebut bisa diminimalisir.