Rabu, 12 Oktober 2011

SOFT SKILL
       
Visi Kemdiknas sampai tahun 2025, yaitu menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif.  Cerdas yang dimaksud  adalah kecerdasan yang meliputi 3 ranah, yaitu kecerdasan intelektual (olah pikir), kecerdasan emosional (olah rasa) dan kecerdasan spiritual (olah hati). Kecerdasan emosi merupakan kemampuan olah rasa kepada orang lain, dalam bentuk tenggang rasa, menghargai pendapat, berempati, yang pada ujungnya menampilkan kemampuan pengendalian diri yang baik.  Kecerdasan intelektual tinggi tanpa dibarengi kecerdasan emosional yang memadai, akan membentuk pribadi yang egois, mementingkan diri sendiri,  tidak bisa menghargai pendapat orang lain, tidak mampu berempati,  tidak mampu bekerja sama, yang pada ujungnya merupakan wujud manusia yang gagal.  Namun hanya dengan kecerdasan emosional, sering menampilkan perilaku berpura-pura atau munafik.  Misalnya pura-pura berperilaku tenggang rasa, loyalitas, empati dan sebagainya, hanya dilakukan jika ada maunya atau menyangkut kepentingannya.  Ibarat berenang dengan gaya katak, dia julurkan kedua tangannya ke depan, tetapi setelah itu dia hempaskan kedua tangannya ke samping dengan kuat-kuat serta secara bersamaan dia jejakan kedua kakinya ke belakang. Perilaku tersebut memberi pelajaran bahwa demi kepentingan dirinya maka dia mencari muka kepada atasannya, dengan tidak sungkan-sungkan untuk mengorbankan bawahan dan koleganya. Oleh karena itu kecerdasan intelektual dan emosional perlu dikendalikan oleh kecerdasan spiritual atau kecerdasan nurani.  Kecerdasan intelektual dan emosional yang dikendalikan oleh kecerdasan nurani, maka semua perilaku akan berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan, yang mengarah kepada semangat penghambaan yang bermakna sebagai amal ibadah. Dengan demikian semua yang dilakukan atas dasar keikhlasan. 
Dengan membina ketiga kecerdasan tersebut secara baik, berlanjut, dan proporsional, diharapkan akan dihasilkan insan Indonesia yang kompetitif atau berdaya saing tinggi dalam aspek pengetahuan, keterampilan, dan karakter, baik di tingkat lokal maupun global.  .Insan Indonesia yang kompetitif harus diperjuangkan melalui individu-individu yang ingin selalu mengejar keunggulan, dengan belajar dan bekerja penuh disiplin, semangat tinggi, mampu bekerja sama atau mandiri, inovatif, kreatif, dan bisa menjadi agen perubahan.  Ini perlu dilakukan mengingat dalam hal daya saing bangsa, Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Indek  Pembangunan Manusia Indonesia yang dikeluarkan secara tahunan oleh UNDP dan digunakan sebagai indikator tingkat daya saing bangsa masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, apalagi Singapura.  Demikian juga rangking Perguruan Tinggi  sebagai dapurnya SDM yang berkualitas, baik versi Times Higher Education Supplement dan Webometric, Indonesia masih belum berbicara banyak baik di tingkat Asean, Asia, apalagi dunia.   Dengan demikian sangatlah tepat Visi Pembangunan Kemdiknas sampai tahun 2025, untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.  Banyak pihak yang seharusnya ikut mengawal tingkat pencapaian visi pembangunan Kemdiknas ini, salah satunya adalah satuan pendidikan khususnya perguruan tinggi.  Berdasarkan fakta di lapangan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi, hanya pinter secara akademik tetapi tidak cakap bekerja apalagi cakap dalam menjalani hidup. Anggapan ini tentu sebagai masukan berharga bagi para pengelola perguruan tinggi dalam membina peserta didiknya, sehingga menghasilkan insan yang cerdas dan kompetitif.   Agar hasil didik dari perguruan tinggi memiliki kecakapan menjalani hidup, maka harus bisa menjamin bahwa hasil didik dapat memiliki dan mengembangkan hard skill dan soft skill.  Oleh karena itu pengelolaan perguruan tinggi harus bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk visi tersebut.  Menurut Berthal, bahwa soft skill merupakan perilaku personal ataupun antar personal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerjanya.   Dari batasan tersebut terlihat bahwa soft skill berada pada ranah afektif dan psikomotorik, yang juga merupakan wujud dari pengotimalan ketiga kecerdasan yang dimiliki manusia. Soft skill berbeda dengan hard skill yang merupakan ketrampilan teknis seseorang. Seorang pilot yang mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam mengemudikan pesawat terbang dalam cuaca buruk adalah hard skill. Tetapi jika pilot memutuskan untuk go around  karena pertimbangan ada parameter pendaratan yang kurang, dan jika diputuskan tetap  mendarat kemungkinan akan terjadi kegagalan, maka kemampuan memutuskan dalam kondisi kritis tersebut adalah soft skill.  Pemain bola yang mampu mengoper bola secara akurat adalah hard skill, tetapi jika pemain bola tersebut juga mampu memompa semangat bagi timnya untuk memperoleh kemenangan, maka itulah soft skill.
Nah, sekarang bagaimana pembinaan soft skill di perguruan tinggi?  Berdasarkan survey dan sekaligus kondisi faktual di lapangan, bahwa sistem pendidikan kita memberikan 90% pendidikan hard skill dan hanya 10% pendidikan soft skill. Kondisi ini sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa keberhasilan seseorang di dunia kerja ditentukan oleh 90% soft skill dan hanya 10%  hard skill.   Pada dasarnya pembinaan soft skill di perguruan tinggi dilakukan melalui proses pembelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler serta ko-kurikuler.
Pembinaan soft skill melalui proses pembelajaran, menuntut dosen bisa berperan secara optimal.  Peran tersebut mulai dari perilaku dosen, metode pembelajaran, dan mengoptimalkan substansi mata kuliah yang diampu baik dari sisi hard skill maupun soft skill. Yang dimaksud perilaku dosen adalah perilaku yang melekat pada diri dosen yang pantas menjadi tauladan bagi mahasiswa.  Misalnya dosen harus berpakaian pantas pada saat mengajar.  Kalau dosen memakai kemeja berdasi yang rapi, mudah-mudahan mahasiswanya akan malu jika memakai kaos oblong dan sandal.  Jika dosen hadir 5 menit sebelum jadwal kuliah dimulai dan berani menegur kepada mereka yang terlambat, diyakini pada jadwal kuliah berikutnya mahasiswa akan lebih menepati waktu. Dari keteladanan ini paling tidak akan merangsang mahasiswa untuk mengenal perilaku disiplin, yang merupakan dasar tumbuh berkembangnya perilaku positif lainnya.  Demikian juga pada saat menyampaikan perkuliahan, dosen harus memperhatikan aspek soft skill.  Dalam setiap bahasan materi mata kuliah selalu mengandung nilai untuk pembentukan pribadi yang baik.  Tidak peduli itu mata kuliah kelompok eksakta, sosial, teknik, dan sebagainya.  Seyogyanya dosen berkemampuan untuk mengangkat nilai itu guna merangsang pembentukan afektif mahasiswa. Selanjutnya dosen juga harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator dan motivator, yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek pembelajaran.  Metode pembelajaran yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek pembelajaran antara lain dilakukan dengan membiasakan mahasiswa berlatih untuk berkomunikasi lewat oral ataupun tertulis. Kegiatan ini dilakukan melalui penugasan pembuatan makalah secara tertulis dan dipresentasikan baik secara individu ataupun kelompok.  Kegiatan ini akan melatih mahasiswa untuk bekerja mandiri ataupun kelompok, melatih untuk menggunakan berbagai sumber belajar, serta membangun interaksi positif antar mahasiswa maupun dengan dosen.  Selanjutnya pembentukan soft skill yang paling efektif adalah melalui extrakurikuler, antara lain melalui pengalaman berorganisasi mulai dari Senat Mahasiswa, BEM, HMJ, UKM ataupun organisasi lainnya yang ada di sebuah perguruan tinggi. Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan ini sangat dominan, karena mereka sebagai subyek.  Mereka yang merencanakan, mengorganisir, merencanakan, mengendalikan dan sekaligus mengawasi dan mengevaluasi, yang berarti fungsi manajemen berada di tangan mereka.  Dengan demikian mereka melakukan “learning by doing” yang dalam tataran efektifitas belajar adalah yang paling tinggi.  Salah satu cara yang dianggap tidak efektif dalam pembentukan soft skill adalah dengan mengemasnya dalam bentuk mata kuliah.  Kecenderungan mahasiswa bukan pada nilai substantif mata kuliah tersebut, tetapi cenderung hanya mendapatkan nilai akademik yang baik.  Hal ini untuk lebih menegaskan bahwa pembentukan soft skill lebih dititik beratkan pada aspek afektif dan psikomotorik.  Perguruan tinggi sebagai penghasil SDM terdidik, mesti harus mengupayakan pembinaan soft skill yang optimal bagi anak didiknya.  Citra perguruan tinggi akan dinilai baik oleh masyarakat, jika perguruan tinggi tersebut berhasil melaksanakan  pembinaan soft skill secara baik bagi anak didiknya.  Nah inilah tantangan yang harus dihadapi bagi setiap perguruan tinggi, agar tetap eksis dalam menghadapi persaingan perguruan tinggi yang semakin ketat pada dewasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar