SOFT SKILL
Visi Kemdiknas sampai tahun 2025, yaitu menghasilkan
insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Cerdas yang dimaksud adalah
kecerdasan yang meliputi 3 ranah, yaitu kecerdasan intelektual (olah
pikir), kecerdasan emosional (olah rasa) dan kecerdasan spiritual (olah
hati). Kecerdasan emosi merupakan kemampuan olah rasa kepada orang lain,
dalam bentuk tenggang rasa, menghargai pendapat, berempati, yang pada
ujungnya menampilkan kemampuan pengendalian diri yang baik. Kecerdasan
intelektual tinggi tanpa dibarengi kecerdasan emosional yang memadai,
akan membentuk pribadi yang egois, mementingkan diri sendiri, tidak
bisa menghargai pendapat orang lain, tidak mampu berempati, tidak mampu
bekerja sama, yang pada ujungnya merupakan wujud manusia yang gagal.
Namun hanya dengan kecerdasan emosional, sering menampilkan perilaku
berpura-pura atau munafik. Misalnya pura-pura berperilaku tenggang
rasa, loyalitas, empati dan sebagainya, hanya dilakukan jika ada maunya
atau menyangkut kepentingannya. Ibarat berenang dengan gaya katak, dia
julurkan kedua tangannya ke depan, tetapi setelah itu dia hempaskan
kedua tangannya ke samping dengan kuat-kuat serta secara bersamaan dia
jejakan kedua kakinya ke belakang. Perilaku tersebut memberi pelajaran
bahwa demi kepentingan dirinya maka dia mencari muka kepada atasannya,
dengan tidak sungkan-sungkan untuk mengorbankan bawahan dan koleganya.
Oleh karena itu kecerdasan intelektual dan emosional perlu dikendalikan
oleh kecerdasan spiritual atau kecerdasan nurani. Kecerdasan
intelektual dan emosional yang dikendalikan oleh kecerdasan nurani, maka
semua perilaku akan berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan, yang
mengarah kepada semangat penghambaan yang bermakna sebagai amal ibadah.
Dengan demikian semua yang dilakukan atas dasar keikhlasan.
Dengan membina ketiga kecerdasan
tersebut secara baik, berlanjut, dan proporsional, diharapkan akan
dihasilkan insan Indonesia yang kompetitif atau berdaya saing tinggi
dalam aspek pengetahuan, keterampilan, dan karakter, baik di tingkat
lokal maupun global. .Insan Indonesia yang kompetitif harus
diperjuangkan melalui individu-individu yang ingin selalu mengejar
keunggulan, dengan belajar dan bekerja penuh disiplin, semangat tinggi,
mampu bekerja sama atau mandiri, inovatif, kreatif, dan bisa menjadi
agen perubahan. Ini perlu dilakukan mengingat dalam hal daya saing
bangsa, Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding dengan bangsa-bangsa
lain. Indek Pembangunan Manusia Indonesia yang dikeluarkan secara
tahunan oleh UNDP dan digunakan sebagai indikator tingkat daya saing
bangsa masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Thailand, Malaysia, apalagi Singapura. Demikian juga rangking
Perguruan Tinggi sebagai dapurnya SDM yang berkualitas, baik versi
Times Higher Education Supplement dan Webometric, Indonesia masih belum
berbicara banyak baik di tingkat Asean, Asia, apalagi dunia. Dengan
demikian sangatlah tepat Visi Pembangunan Kemdiknas sampai tahun 2025,
untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Banyak
pihak yang seharusnya ikut mengawal tingkat pencapaian visi pembangunan
Kemdiknas ini, salah satunya adalah satuan pendidikan khususnya
perguruan tinggi. Berdasarkan fakta di lapangan bahwa banyak lulusan
perguruan tinggi, hanya pinter secara akademik tetapi tidak cakap
bekerja apalagi cakap dalam menjalani hidup. Anggapan ini tentu sebagai
masukan berharga bagi para pengelola perguruan tinggi dalam membina
peserta didiknya, sehingga menghasilkan insan yang cerdas dan
kompetitif. Agar hasil didik dari perguruan tinggi memiliki kecakapan
menjalani hidup, maka harus bisa menjamin bahwa hasil didik dapat
memiliki dan mengembangkan hard skill dan soft skill. Oleh karena itu
pengelolaan perguruan tinggi harus bisa mengoptimalkan sumber daya yang
ada untuk visi tersebut. Menurut Berthal, bahwa soft skill merupakan
perilaku personal ataupun antar personal yang dapat mengembangkan dan
memaksimalkan kinerjanya. Dari batasan tersebut terlihat bahwa soft
skill berada pada ranah afektif dan psikomotorik, yang juga merupakan
wujud dari pengotimalan ketiga kecerdasan yang dimiliki manusia. Soft
skill berbeda dengan hard skill yang merupakan ketrampilan teknis
seseorang. Seorang pilot yang mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam
mengemudikan pesawat terbang dalam cuaca buruk adalah hard skill. Tetapi
jika pilot memutuskan untuk go around karena pertimbangan ada
parameter pendaratan yang kurang, dan jika diputuskan tetap mendarat
kemungkinan akan terjadi kegagalan, maka kemampuan memutuskan dalam
kondisi kritis tersebut adalah soft skill. Pemain bola yang mampu
mengoper bola secara akurat adalah hard skill, tetapi jika pemain bola
tersebut juga mampu memompa semangat bagi timnya untuk memperoleh
kemenangan, maka itulah soft skill.
Nah, sekarang bagaimana pembinaan soft skill di perguruan
tinggi? Berdasarkan survey dan sekaligus kondisi faktual di lapangan,
bahwa sistem pendidikan kita memberikan 90% pendidikan hard skill dan
hanya 10% pendidikan soft skill. Kondisi ini sangat bertentangan dengan
kenyataan bahwa keberhasilan seseorang di dunia kerja ditentukan oleh
90% soft skill dan hanya 10% hard skill. Pada dasarnya pembinaan soft
skill di perguruan tinggi dilakukan melalui proses pembelajaran dan
kegiatan ekstra kurikuler serta ko-kurikuler.
Pembinaan soft skill melalui proses
pembelajaran, menuntut dosen bisa berperan secara optimal. Peran
tersebut mulai dari perilaku dosen, metode pembelajaran, dan
mengoptimalkan substansi mata kuliah yang diampu baik dari sisi hard
skill maupun soft skill. Yang dimaksud perilaku dosen adalah perilaku
yang melekat pada diri dosen yang pantas menjadi tauladan bagi
mahasiswa. Misalnya dosen harus berpakaian pantas pada saat mengajar.
Kalau dosen memakai kemeja berdasi yang rapi, mudah-mudahan mahasiswanya
akan malu jika memakai kaos oblong dan sandal. Jika dosen hadir 5
menit sebelum jadwal kuliah dimulai dan berani menegur kepada mereka
yang terlambat, diyakini pada jadwal kuliah berikutnya mahasiswa akan
lebih menepati waktu. Dari keteladanan ini paling tidak akan merangsang
mahasiswa untuk mengenal perilaku disiplin, yang merupakan dasar tumbuh
berkembangnya perilaku positif lainnya. Demikian juga pada saat
menyampaikan perkuliahan, dosen harus memperhatikan aspek soft skill.
Dalam setiap bahasan materi mata kuliah selalu mengandung nilai untuk
pembentukan pribadi yang baik. Tidak peduli itu mata kuliah kelompok
eksakta, sosial, teknik, dan sebagainya. Seyogyanya dosen berkemampuan
untuk mengangkat nilai itu guna merangsang pembentukan afektif
mahasiswa. Selanjutnya dosen juga harus mampu menempatkan dirinya
sebagai fasilitator dan motivator, yang menempatkan mahasiswa sebagai
subyek pembelajaran. Metode pembelajaran yang menempatkan mahasiswa
sebagai subyek pembelajaran antara lain dilakukan dengan membiasakan
mahasiswa berlatih untuk berkomunikasi lewat oral ataupun tertulis.
Kegiatan ini dilakukan melalui penugasan pembuatan makalah secara
tertulis dan dipresentasikan baik secara individu ataupun kelompok.
Kegiatan ini akan melatih mahasiswa untuk bekerja mandiri ataupun
kelompok, melatih untuk menggunakan berbagai sumber belajar, serta
membangun interaksi positif antar mahasiswa maupun dengan dosen.
Selanjutnya pembentukan soft skill yang paling efektif adalah melalui
extrakurikuler, antara lain melalui pengalaman berorganisasi mulai dari
Senat Mahasiswa, BEM, HMJ, UKM ataupun organisasi lainnya yang ada di
sebuah perguruan tinggi. Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan ini
sangat dominan, karena mereka sebagai subyek. Mereka yang merencanakan,
mengorganisir, merencanakan, mengendalikan dan sekaligus mengawasi dan
mengevaluasi, yang berarti fungsi manajemen berada di tangan mereka.
Dengan demikian mereka melakukan “learning by doing” yang dalam tataran
efektifitas belajar adalah yang paling tinggi. Salah satu cara yang
dianggap tidak efektif dalam pembentukan soft skill adalah dengan
mengemasnya dalam bentuk mata kuliah. Kecenderungan mahasiswa bukan
pada nilai substantif mata kuliah tersebut, tetapi cenderung hanya
mendapatkan nilai akademik yang baik. Hal ini untuk lebih menegaskan
bahwa pembentukan soft skill lebih dititik beratkan pada aspek afektif
dan psikomotorik. Perguruan tinggi sebagai penghasil SDM terdidik,
mesti harus mengupayakan pembinaan soft skill yang optimal bagi anak
didiknya. Citra perguruan tinggi akan dinilai baik oleh masyarakat,
jika perguruan tinggi tersebut berhasil melaksanakan pembinaan soft
skill secara baik bagi anak didiknya. Nah inilah tantangan yang harus
dihadapi bagi setiap perguruan tinggi, agar tetap eksis dalam menghadapi
persaingan perguruan tinggi yang semakin ketat pada dewasa ini.