Jumat, 30 Oktober 2015

WISATA "BACKPACKINGAN" 4 HARI KE CHIANG MAI DAN CHIANG RAI (Bagian 2)


Setelah check in hotel selesai kami segera mengawali kunjungan ke berbagai obyek sesuai dengan itinerary, meskipun di hari pertama ini  tidak bisa penuh karena baru  dimulai menjelang tengah hari. Obyek pertama yang kami kunjungi adalah Bhuping Palace, yang ditempuh melalui jalan menanjak karena letaknya di suatu bukit. Bucking Palace adalah tempat peristirahatan raja pada saat berkunjung ke Thailand Utara, sekaligus sebagai tempat menerima tamu negara. Istana ini dibangun pada tahun 1961 dan berada pada ketinggian 1500 m di atas permukaan air laut,  sehingga memberikan kesejukan udara bagi keluarga kerajaan ataupun para tamu negara yang sedang tinggal. Tempat ini cukup asri dengan taman-taman bunga yang sangat terpelihara. Untuk menikmati keindahan taman yang luas ini, para pengunjung biasanya hanya berjalan kaki.  Kalau ingin bisa meliput area taman lebih luas dengan cara yang nyaman, pengelola taman menyediakan battery car yang bisa digunakan para pemain golf dengan sewa 400 Bath perjam.


Dengan menggunakan golf car seperti ini bisa mengelilingi taman istana  dengan nyaman
Berfoto ria di depan istana Buphing Palace



Kemudian pada saat kembali dari Bhuping Palace kami mampir ke Wat Phratap Doi Suthep yang terletak di bawahnya. Untuk menuju lokasi kuil, pengunjung harus menaiki tangga kepala naga yang jumlahnya 302 tanjakan. Kami yang rata-rata sudah sepuh, tentu ini sangat riskan. Jangan-jangan pulang dari tempat ini penyakit OA di lutut saya jadi kambuh. Oleh karena itu kami menggunakan lift. Dari penampakan fisiknya,  lift ini merupakan hasil rekayasa Thailand sendiri dengan track miring menelusuri punggung bukit Doi Suthep.  Kuil ini dibangun pada abad 14 yang konon menurut legenda,  penentuan lokasi kuil ditentukan oleh seekor gajah putih. Relic atau bentuk yang diyakini sebagai kuil peninggalan kuno diikat di punggung gajah putih, dan selanjutnya gajah dilepas bebas masuk hutan. Ternyata dia menaiki ke gunung Suthep (Doi Suthep) yang saat itu namanya adalah  Doi Aoy Chang (Sugar Elephant Mountain).  Sampai pada suatu lokasi si Gajah Putih berhenti, kemudian melenguh tiga kali selanjutnya menjatuhkan diri dan mati di tempat itu. Lokasi rubuh dan matinya sang gajah dimaknai oleh raja sebagai tempat yang paling tepat untuk pembangunan kuil, yang selanjutnya dinamakan Wat Phratap Doi Suthep yang artinya kuil Phratap di Gunung Suthep. Yah ini sekedar legenda, yang biasanya menyertai keberadaan bangunan-bangunan bersejarah. Tidak terkecuali di Indonesia, bangunan Candi Prambanan kita mengenal tentang legenda Bandung Bondowoso.  Itu semua tidak harus dipercayai, tetapi lebih menambah nilai jual komoditi wisata yang bersangkutan.  Nah "Gajah Putih" yang dilegendakan itu diabadikan dalam bentuk patung yang menjadi bagian dari kuil ini. Pemandangan kuil biasa didominasi dengan warna kuning keemasan khususnya bangunan-bangunan stupa. Dari pelataran kuil ini, kita bisa memandang kota Chiang Mai dari ketinggian 1300 m. Kebetulan bulan Agustus ini masih masa musim hujan di Chiang Mai, sehingga kota Chiang Mai nampak sangat jelas. Pada puncak musim kemarau biasanya bulan April, diceritakan banyak  petani perkebunan yang membakar lahan sehingga udara Chiang Mai menjadi keruh yang mengganggu pemandangan. Wah ternyata masyarakat kita dan Thailand ada kesamaan dalam hobi, yaitu “membakar-bakar” dengan alasan pembukaan lahan dengan alasan biaya murah.  Cuma bedanya kalau negeri kita sampai berdampak sangat luas pada aspek ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Dari pada OA saya kambuh, lebih baik naik lift saja dari pada menaiki dragon stairs yang jumlahnya 302 tratagan



Halaman depan kuil



Bangunan stupa (chedi) berlapis emas
 
Situasi dalam kuil


Patung Gajah Putih yang dilegendakan


Dari plataran kuil bisa melihat pemandangan kota Chiang Mai, namun pada musim kering pemandangan terhalang oleh keruhnya udara karena pembakaran lahan 


Dari Wat Phratap Doi Suthep kami turun gunung dan  menuju Kampaeng dan Borsang tempat kerajinan tenun sutra dan payung. Tidak lama kami berada di tempat ini, karena banyaknya obyek yang harus dikunjungi pada hari pertama. Sebelum ke obyek berikutnya, kami makan siang di rumah makan halal. Namun pada kenyataannya RM ini hanya menyediakan menu halal, dan bukan RM yang halal.  Alasannya pada daftar menu yang berbeda tetap dijual makanan yang diragukan kehalalannya. Tapi apa boleh buat, dalam agama yang harampun bisa menjadi halal kalau kondisi terpaksa. Dari pada di antara kami ada yang maagnya kambuh, masuk angin atau gangguan kesehatan lainnya, ya akhirnya dengan “Bismillah” dan "astaghfirulloh" ini pilihan terakhir. Kita yakini saja bahwa proses masakan yang kami pesan terbebas dari jenis makanan yang diragukan.  Setelah perut terisi, perjalanan kami lanjutkan ke sebuah taman yang tidak jauh dari kota Chiang Mai.  

Refueling alias tambah bahan bakar supaya lebih berenergi lagi
 
Pada tahun tahun 2006 pemerintah kerajaan Thailand menyelenggarakan pameran taman bunga dalam rangka memperingati 60 tahun penobatan Raja Bhumibol Adulyadej, sekaligus merayakan ulang tahun Sang Raja yang ke 80.   Pameran tersebut dianggap sangat sukses karena berhasil menghadirkan pengunjung lebih dari 3 juta orang.  Taman seluas 200 hektar tersebut akhirnya dijadikan pusat studi agrikultur, obyek agro-wisata dan budaya tingkat internasional.  Pada tanggal 23 Januari 2010, Raja memberikan nama “The Royal Park Rajapruek”. Dari sekian keindahan berbagai macam bunga dan tatanan artistiknya, saya sangat tertarik dengan area  situs taman anggrek, khususnya anggrek yang ditanam dalam  rumah tertutup beratap plastik transparan (green house).  Pada saat kami datang pintu dalam kondisi tertutup, dan saya mencari barang kali ada penjaga taman yang bisa membantu kami untuk masuk dan melihatnya. Ternyata setelah kami tepat berada di depan pintu, maka pintu bergeser membuka secara otomatis persis seperti mall-mall di Yogya. Dengan terbukanya pintu maka kami merasakan tiupan udara dingin dari dalam green house yang sangat menyejukkan.


Berfoto ria di depan gate Royal Rajapruek

Berkeliling taman dengan mobil odong-odong


Situasi dalam green house yang ber AC serta blower yang membuat udara sangat sejuk dan nyaman


Pemandangan di dalam green house sangat membuat orang terkagum-kagum dengan bunga anggrek yang diselang-seling dengan bunga2 biasa yang berwarna-warni. Anehnya lagi mengapa di dalam green house  dilengkapi AC dan banyak blower angin? Kelihatannya blower-blower itu sengaja untuk mendistribusikan udara dingin dari AC ke berbagai arah dalam green house ini.  Kami berlama-lama di tempat itu karena selain menikmati pemandangan yang indah, sekaligus juga merasakan sejuknya udara yang sangat kontradiktif dengan udara Chiang Mai yang cukup panas. Oh ya, untuk mengelilingi taman yang sangat luas ini pengelola taman menyediakaan fasilitas mobil odong-odong dengan bayaran 90 Bath termasuk tiket masuk.  Tanpa disadari kami berada di taman tersebut sudah menjelang sore hari. Sebenarnya ada satu obyek lagi yang tidak bisa terkunjungi pada hari itu, yaitu Quen Sirikit Botanical Garden.  Namun karena tempatnya yang cukup jauh, maka lupakan saja Quen Sirikit Botanic Garden! 
Perjalanan hari pertama ini termasuk berat.  Semalam pukul 01.00 sudah bangun untuk keberangkatan ke KLIA2 mengejar flight pagi ke Chiang Mai.  Begitu tiba di Chiang Mai langsung ke hotel untuk check in dan setelah "drop luggage” langsung menuju beberapa obyek wisata.  Biasanya saat bepergian itu rasa lelah tidak dirasa. Malahan masing-masing sering berkomentar, “kalau cuma mau tidur, ya di Yogya saja! Ngapain harus pergi jauh-jauh ke Thailand! Akhirnya setelah makan, semua anggota rombongan pergi jalan-jalan ke Night Bazaar yang tidak jauh dari hotel untuk sekedar mencari souvenir katanya.  Yah …biar saja pada capek, agar malam ini tidur kami bisa pulas untuk memulihkan kebugaran guna melaksanakan perjalanan panjang  besok pagi yang juga cukup berat, yaitu menuju obyek wisata ke wilayah "Chiang Rai". Pingin lanjutan ceritanya? Sampai ketemu di tulisan Wisata "Backpackingan" 4 hari di Thailand Utara bagian 3.




Selasa, 27 Oktober 2015

WISATA BACKPACKINGAN 4 HARI DI CHIANGMAI & CHIANG RAI (Bagian 1)


Ini adalah kali yang ke tiga saya ke Thailand dan kali yang ke dua perjalanan kami untuk berwisata agro ke Thailand. Pertama kali ke Thailand saat masih aktif di TNI AU pada tahun 1994 dalam rangka pertukaran kunjungan perwira (officers exchange visit) TNI AU dengan RTAF. Tahun lalu kami berenam ke Thailand Selatan dengan obyek agrowisata ke Supattra Land di Provinsi Rayong dan Silver Lake di Propinsi Chonburry, termasuk melihat Bangkok dan Pattaya. Di Supattra Land kami meninjau perkebunan buah seperti durian, jambu, mangga, kelengkeng, manggis, anggur dan sebagainya. Sedangkan di Silver Lake utamanya adalah perkebunan anggur, disamping ada buah labu, buah naga serta taman bunga yang cukup luas dan tertata sangat indah. Pada bulan Agustus kemarin kami bersepuluh kembali meninjau berbagai obyek wisata khususnya yang berhubungan dengan perkebunan dan pertanaman (agriculture and plantation) di provinsi Chiang Mai dan Chiang Rai Thailand Utara. Rombongan kami hampir semuanya pakar tanaman, mereka adalah dosen pertanian ataupun pengusaha perkebunan khususnya kelengkeng yang sudah “go national”.  Hanya saya yang awam pengetahuan dan pengalaman tentang agrikultur dan juga pertanaman, kecuali hanya sebagai orang yang bisa menikmati saja. 
Kami bersepuluh menamakan diri “Komunitas Jalan-jalan Yogya”, karena semuanya asli Yogya yang mempunyai hobi jalan-jalan.  Namun “jalan-jalan” yang kami lakukan sangatlah mandiri, mulai dari perencanaan, menentukan obyek yang akan dikunjungi, menyusun itinerary (jadwal perjalanan), pengelolaan biaya, dan semuanya berbasis “backpackers”. Artinya semua dilaksanakan dengan dasar “low budgeter” alias dana terbatas. Saya pernah menulis di blog ini tentang “Wisata Backpackers” yang memuat kiat-kiat yang saya lakukan agar bisa jalan-jalan dengan biaya murah.  Semua komponen wisata mulai dari transportasi udara, transportasi lokal, tempat tinggal dan makan harus ditekan seminim mungkin, tetapi tetap pada batas aman, sehat dan nyaman. Perjalanan ini memang baru kali ke dua kami lakukan secara rombongan. Sebelumnya saya lakukan berdua saja dengan isteri, seperti ke Singapore, Malaysia, Hongkong, Macau, Shenzhen, Jepang, Australia, Taiwan dan Turki. Tapi dengan bertambahnya usia terasa ada penurunan kepercayaan diri kalau bepergian jauh, sehingga butuh teman. Dan ternyata ada yang bersedia menemani bepergian dengan model seperti ini. Menyadari karena usia sudah sepuh, belakangan ini pada setiap perjalanan saya selalu menggunakan travel insurance. 


Sebelum masuk ke ruang keberangkatan di Terminal B Bandara Adisutjipto

Ayo cepet-cepet boarding


Situasi Cabin Airbus 320 AirAsia saat selesai boarding
Terhitung mulai 17 Agustus 2015, Bandara Adi menggunakan terminal baru (Terminal B) untuk penerbangan internasional.  Yah lumayan luas dan lebih nyaman dari pada terminal A yang untuk penerbangan internasionalnya cukup sempit dan terkesan acak-acakan.  Kami meninggalkan Yogya pada hari Sabtu tanggal 22 Agustus 2015 pukul 12.00, yang hanya terlambat beberapa menit dari jadwal pukul 11.45.  Tidak ada penerbangan langsung dari Yogya ke Chiang Mai, oleh karena itu kami transit dulu di Kuala Lumpur dan baru keesokan harinya menuju Chiang Mai.  Sejak 9 Mei 2014, semua penerbangan berbiaya murah di Kuala Lumpur dipindahkan dari LCCT (Low Cost Carrier Terminal) ke KLIA2 (Kuala Lumpur International Airport 2).  Teminal bandara ini mengklaim sebagai terminal “low cost carrier” paling besar di dunia yang mampu menampung 13 juta penumpang pertahun dan dirancang sebagai Mall Airport, karena di dalamnya terdapat 220 outlet pertokoan termasuk kuliner.  Penerbangan dari Yogya ke KLIA2 berdurasi 2 jam 15 menit dan tepat pukul 15.15 waktu lokal, pesawat mendarat dengan mulus. Meskipun sama-sama terminal penerbangan biaya murah, layanan di KLIA2 jauh lebih bagus dari LCCT.  Di LCCT tidak ada aerobridge, minim eskalator, dan untuk menuju ke arrival hall lewat selasar yang jauh dan terbuka sehingga jika hujan mungkin akan kena percikan air dan tiupan angin. Kalau di KLIA2 tersedia aerobridge cukup dan lewat di ruang tertutup ber AC dan tersedia eskalator termasuk lift untuk orang-orang tua ataupun cacat.      
Setelah melalui proses imigrasi kami bersepuluh segera berangkat ke KL Sentral yang berjarak 1 jam perjalanan dengan Skybus.  Hotel yang kami booking lewat Agoda hanya berjarak 300 meter dari stasiun KL Sentral, dan tanpa mengalami masalah kami sampai tujuan dengan berjalan kaki.   

Semangaaat! Karena jalan cukup jauh ke konter imigrasi dan baggage claim



Menara kembar Petronas sebagai bangunan tertinggi ke 4 di dunia
  
Air mancur di halaman Petronas

Duduk santai sambil menghilangkan stress di depan  "Suria Mall" di tlapakannya Petronas
Mejeng di depan Suria Mall dlamakannya Petronas

 Malam itu sesuai rencana kami habiskan untuk menikmati bangunan tertinggi urutan ke 4 dunia yaitu Petronas.  Menuju Petronas cukup mudah dengan menggunakan KRL dari KL Sentral mengambil arah Jambek Line, dan setelah melewati 4 stasiun yang berjarak pendek-pendek maka pada stasiun ke 5 yaitu di stasiun KLCC kami turun. Selanjutnya dengan mengikuti arah Suria Mall maka sampailah di lantai dasar Petronas. Karena waktu sudah malam, maka tidak banyak yang kami lakukan kecuali menikmati pemandangan malam hari di halaman Petronas.  Dinding luar Petronas yang merupakan paduan struktur baja alumunium dan kaca, pada malam hari terlihat begitu bright  dan anggun karena cahaya lampu.  Sebenarnya banyak atraksi di Petronas, antara lain kita bisa ke Petroscience yaitu semacam taman pintarnya Yogya namun jauh lebih luas dan lengkap.  Juga kita bisa jalan-jalan ke skybridge atau melihat pemandangan Kuala Lumpur dari atas melalui deck observasi di lantai 86. Tetapi konon tiket yang dijual seharga 80 Ringgit (sekitar 250 ribu rupiah), dan itu hanya dibatasi 1200 lembar perhari dan biasanya sudah habis terjual.  Karena itu waktu yang hanya sekitar 2 jam kami habiskan untuk menikmati air mancur menari dengan iringan musik dan sinar lampu yang berwarna-warni. Meskipun pertunjukkan itu hanya berlangsung sekitar 15 menit, tetapi sudah cukup menghibur.   
Mejeng dulu sebelum naik KRL
Meski berdesakan di dalam KRL dan harus bergentayungan yang penting tetep happy
 
Pukul 22.00 kami meninggalkan Petronas kembali ke hotel, namun lebih dahulu makan di RM India yang bersebelahan dengan hotel kami menginap.  Pada hari pertama ini memang agak berat, karena paling lambat pukul 03.00 dini hari kami harus sudah meninggalkan hotel menuju KLIA2 untuk penerbangan pagi menuju ke Chiang Mai pukul 06.50. Apabila naik bus maka saya kasihan para peserta yang sebagian besar sudah usia 50 tahun ke atas dan saya sendiri sudah lebih dari 66 tahun, harus berjalan dengan mendorong koper menuju KL Sentral pukul 02.00 pagi.  Karena itu beberapa minggu sebelum berangkat, saya sudah booking Van kapasitas 14 seat. Malam itu saya tidak sempat tidur sedikitpun, dan pukul 02.00 tepat saya turun ke lobby untuk mengecek apakah mobil Van sudah siap. 

Menunggu mobil Van di lobby hotel untuk ke KLIA2 pukul 02.00 dini hari

Ternyata belum! Maka segera saya menelepon sopirnya, tetapi tidak diangkat. Wah saya mulai curiga, dan saya langsung menghubungi kantornya.  Setelah dicek dikatakan bahwa driver sedang on the way, saya disuruh nunggu sekitar 30 menit lagi.  Setelah beberapa kali saya konfirm posisi si driver, maka baru pukul 02.45 dia datang.  Perjalanan menuju KLIA2 sekitar 1 jam, namun dalam perjalanan si driver mampir untuk refueling dulu.  Saya mbatin “wah ini sopir nggak profesional banget, apalagi pelanggan dari negara lain yang mestinya harus dilayani lebih baik”.  Akhirnya menjelang pukul 03.00 kami sudah tiba di lantai 3  hall keberangkatan KLIA2.   
Tepat pukul 07.00 pesawat A-320 AirAsia lepas landas menuju Chiang Mai yang ditempuh sekitar 2 jam 50 menit. Karena waktu Kuala Lumpur mendahului 1 jam dari waktu di Chiang Mai yang sama dengan WIB, maka pesawat direncanakan mendarat pukul 08.50 waktu lokal.  Sesuai rencana dalam perjalanan pagi yang penuh resiko ketinggalan penerbangan, maka kami tidak merencanakan makan pagi kecuali di dalam pesawat.  Karena itu kami sudah memesan makanan secara online dengan menu yang bervariasi yang setiap anggota rombongan telah memilih secara demokratis. 

Lha ini menu Nasi Lemak Pak Naser kelihatannya yang paling populer dan disukai rombongan
 
Lha inilah mengapa AirAsia itu bisa menjual tiket murah. Sebenarnya  tiket yang dibayar itu sebut saja sebagai “bare thicket”, itu ya hanya tiket untuk orang dan bawaan dalam kabin sebanyak 2 tentengan seberat 7 kg dan tas tangan atau tas laptop.  Kalau kita membawa barang lebih banyak ya harus beli bagasi minimal 20 kg untuk penerbangan internasional, dan kalau ingin dapat makan ya harus beli!  Termasuk kalau ingin duduk di kursi yang lebih enak dan lega (kursi premium) ya harus nambah.  Pokoknya nggak ada yang gratis! Jadi kalau pingin irit betul, ya bawa tas kabin saja, tidak usah makan, terus terima saja kursi yang sudah diset oleh komputer saat check in dan mencetak boarding secara online. Mudah-mudahan AirAsia yang ingin menambah fee, tidak mengharuskan pemakai toilet di pesawat untuk membayar dengan “kencleng”! Ha...kalau ini terjadi, ya “TERLALUU” kata Bang Haji...!

Appron Chiang Mai International Airport


Bergaya di aerobridge Chiang Mai airport
 
Mobil Toyota Commuter yang akan melayani selama di Chiang Mai dan Chiang Rai

Penerbangan kali ini rupanya dapat tail wind sehingga pesawat mendarat pukul 08.30 waktu lokal atau 20 menit lebih awal.  Bandara Internasional Chiang Mai cukup kecil, sehingga jarak antara tempat parkir pesawat dengan hall kedatangan cukup dekat.  Setelah pemeriksaan imigrasi dan mengambil bagasi serta membeli pulsa lokal untuk komunikasi selama di Thailand, di depan pintu ke luar terlihat salah seorang penjemput mengacungkan papan nama saya “Suyitmadi”. Wah ini Mr. John (mungkin nama samaran), yaitu driver yang sudah saya booking jauh hari sebelumnya untuk menemani kami menjalankan itinerary di Chiang Mai ataupun Chiang Rai  selama 3 hari.  Mobil relatif baru merk Commuter Toyota yang diset untuk 10 penumpang, dan terasa cukup lega.
Jarak antara bandara dengan pusat kota (old city) termasuk CH Hotel di daerah Night Bazaar yang sudah kami booking, hanya sekitar 15 menit.  Biasanya hotel di LN ketat dalam waktu check in yang biasanya di atas pukul 12.00.  Namun reception tetap menerima kami meskipun  waktu baru pukul 10.00. Setelah drop luggage kami segera berangkat ke berbagai obyek (bersambung ke bagian 2).   

Senin, 14 April 2014

MENGINTIP DEMO DI NEGERI TETANGGA




 Latar Belakang.   Kekacauan politik telah berlangsung lama di Thailand, yang dimulai dari mosi tidak percaya kepada pemerintahan yang berkuasa di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Yingluck Sinawatra.  Yingluck Sinawatra adalah adik bungsu Taksin Sinawatra mantan perdana menteri Thailand yang terguling melalui cupdetat  militer pada tahun 2006.  Saat ini Taksin Sinawatra berada di pelariannya di luar negeri, karena saat dilengserkan dia sedang berada di New York dalam rangka menghadiri sidang PBB.  Dia dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang, sehingga dihukum dua tahun penjara melalui pengadilan inabsensia.  Yingluck menduduki kursi perdana menteri pada tahun 2011 setelah menang dalam pemilu atas lawan politiknya yang saat itu sebagai calon dari incumbant yaitu Abhisit Vejjajiva.  Dia tercatat sebagai perdana menteri wanita pertama dan termuda di negaranya.  Namun perjalanan karier Yingluck dalam menjalankan roda pemerintahan tidak semulus kariernya dalam memimpin Partai Pheu Thai yang membesarkannya.  Dalam perjalanan waktu pemerintahan Yingluck dianggap sebagai perpanjangan tangan atau boneka dari kakaknya yaitu Taksin Sinawatra yang ada dalam pelarian serta tuduhan sebagai pemerintahan yang korup.  Sikap anti pemerintahan Yingluck lebih dipicu lagi dengan rencana pemberlakuan undang-undang tentang amnesti.  Jika undang-undang tersebut diberlakukan, maka sang kakak yang berstatus pelarian dan telah diputus bersalah dan dihukum, akan dapat melenggang pulang kembali ke negerinya tanpa tuntutan hukum apapun. Inilah yang melatarbelakangi semakin keruhnya situasi politik di negeri gajah putih ini,  yang ditandai dengan semakin maraknya demonstrasi anti pemerintahan yang dipimpin oleh Suthep yang juga sebagai mantan Wakil Perdana Menteri sebelum pemerintahan Yingluck.  Tuntutan para demonstran adalah agar Yingluck Sinawatra mundur  dan menyerahkan kepemimpinan pemerintahan kepada Dewan Rakyat, setelah itu dilakukan reformasi tatanan politik yang saat ini dianggap melestarikan dinasti Sinawatra untuk berkuasa di negeri ini. Dalam rangka meredakan ketegangan politik seperti itu, Yingluck mempercepat Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014, yang ternyata rencana itu juga ditentang oleh lawan politiknya. Puncak dari demonstrasi besar-besaran  dilakukan pada tanggal 13 Januari 2014 dengan slogan “Shutdown Bangkok” atau lumpuhkan Bangkok.  Mereka mengancam akan menduduki jalan-jalan strategis, menduduki pusat-pusat pemerintahan bahkan akan memutus aliran listrik dan air guna mencegah beraktivitasnya roda pemerintahan Yingluck Sinawatra. Menghadapi kondisi tersebut pemerintahan Yingluck mengeluarkan kondisi darurat yang berlaku mulai tanggal 22 Januari 2014 sampai 60 hari ke depan. Dengan pemberlakukan keadaan darurat, berarti pemerintah berhak melarang pertemuan publik yang dihadiri lebih dari lima orang, menahan seorang tersangka lebih dari 30 hari tanpa tuduhan dan menyensor pemberitaan media.  Tujuan pemberlakuan kondisi darurat agar pemerintah bisa mengendalikan situasi keamanan dengan lebih efektif.  Pelaksanaan Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014 yang dikawal lebih dari 130 ribu polisi dan 5000 tentara telah dapat terlaksana dengan aman meskipun diboikot oleh partai oposisi, sementara beberapa distrik terpaksa ditunda akibat diblokirnya pusat logistik Pemilu oleh para demonstran.  Kondisi pasca Pemilu ternyata tidak mengendurkan semangat para demonstran untuk memperjuangkan tuntutan mereka.  Bahkan beberapa hari terakhir eskalasi politik semakin memanas dengan terjadinya beberapa tindak kekerasan dan korban jiwa.
Kiat Mendatangi Daerah Pendudukan Para Demonstran.  Pada tanggal 10 sampai dengan 13 Februari 2014 (selama 4 hari 3 malam) saya dengan rombongan berenam yang terdiri dari  keluarga (2 pasang suami isteri dan sepasang bapak dan anak) berkunjung ke Bangkok.  Mengingat banyaknya pemberitaan tentang situasi politik dan keamanan di Bangkok yang kurang kondusif, maka sebelum keberangkatan kami banyak meminta informasi perkembangan terkini situasi politik di sana baik ke Atud (Atase Udara) langsung  ataupun stafnya.  Selain itu kami berhubungan dengan Komunitas Indonesia di Thailand dan orang-orang yang sangat paham tentang Thailand melalui jejaring sosial yang ada.

Para pendemo membangun panggung besar di perempatan strategis di kota Bangkok


Salah satu informasi yang diberikan oleh Atud, bahwa hotel tempat kami menginap saat nanti di Bangkok masuk daerah pendudukan para demonstran. Kemudian dari staf Atud serta Komunitas Indonesia di Thailand maupun teman-teman yang berbagi informasi di jejaring sosial, menyarankan agar kami memilih transportasi seperti Skytrain/BTS, MRT, atau transportasi sungai (perahu).  Alasannya moda transportasi tersebut tidak diganggu oleh para demonstran. Skytrain atau BTS (Bangkok Transit System) adalah moda transportasi kereta api cepat dengan rail track berada di atas yang melintas antara gedung bertingkat di kota Bangkok.  Moda transportasi berikutnya adalah MRT (Mass Rapid Transit) adalah kereta api cepat dengan rail track melalui bawah tanah (under ground), sedangkan tranportasi air yang dimaksud adalah menggunakan boat (kapal) yang melewati Sungai Chao Phraya. Memilih moda transportasi taksi/mobil dikhawatirkan akan terjebak kemacetan akibat diblokirnya beberapa ruas jalan strategis di kota Bangkok.  Itulah informasi awal yang saya terima dari Atase Pertahanan Udara (Atud) ataupun staf Atud.  Berdasarkan informasi tersebut, maka saya selaku yang dituakan dalam rombongan berusaha untuk mencari berbagai alternatif dari setiap kontinjensi yang akan terjadi.  Meskipun hotel yang akan kami tempati diduduki oleh para demonstran, namun lokasinya yang begitu dekat dengan stasiun BTS National Stadium maka dipastikan dapat dijangkau dengan menggunakan skytrain.  Maskapai penerbangan yang kami gunakan adalah AirAsia yang merupakan penerbangan murah atau LCC (low cost carrier). Destinasinya di bandara Don Mueang yang belum tersedia moda transportasi sebaik yang ada di Swarnabumi. Untuk menyambung ke BTS (Skytrain), maka kami harus menggunakan bus dari bandara menuju ke Stasiun BTS Mochit, selanjutnya berganti skytrain menuju ke Stasiun BTS National Stadium.  Dari informasi yang saya peroleh bahwa naik bus di Bangkok khususnya pada jam sibuk, sangat repot kalau harus membawa bawaan besar dan berat (koper), karena dalam bus tidak tersedia fasilitas penyimpanan koper. Nah untuk itu saya mengambil insiatif untuk menggunakan “flunyesak” atau karung tentara yang terbuat dari kain yang liat dan kuat.  Sedangkan barang bawaan yang harus masuk check baggage masing-masing keluarga hanya dua tas punggung saja, yang nantinya harus dimasukkan dalam “plunyesak”.  Pada saat sudah sampai di Don Mueang, kedua tas punggung dikeluarkan dari “plunyesak” dan digendong di punggung guna memudahkan pergerakan.  Ini penting karena dalam setiap kondisi darurat kita perlu pergerakan yang cepat, dan ini bisa dilakukan jika kita tidak membawa barang dengan ukuran besar dan berat.  Disamping itu saat menuju ke Stasiun BTS/Skytrain, kita harus naik cukup tinggi dan tidak semua Stasiun BTS tersedia eskalator.  Bayangkan bagaimana repotnya membawa bawaan ukuran besar dan berat untuk menaiki tangga yang cukup tinggi secara manual.  Pasti akan repot!  Karena itulah menggunakan “plunyesak” adalah sebuah skenario yang paling tepat untuk menghadapi semua itu, meskipun nampak seperti tentara yang mau berangkat tugas operasi militer.  Untuk memastikan bahwa hotel dimana kami tinggal nantinya aman dari gangguan para demonstran, maka seminggu sebelum kepergian saya menelpon ke Hotel Muangphol Mansion.  Ada rasa tenang dan lebih meningkatkan rasa percaya diri, setelah memperoleh  jawaban dari sana : “Don’t worry, no problem” katanya.
Nah dalam pelaksanaannya ternyata tidak berbeda dengan rencana yang sudah dibuat. Begitu kami turun dari Skytrain yang kami tumpangi di destinasi terakhir yaitu di Stasiun National Stadium, kami disuguhi pemandangan yang dalam istilah Jawa disebut “ora jamak lumrahe” yang artinya pemandangan yang tidak lazim. Dari flatform stasiun kami melihat beratus tenda-tenda kecil yang seragam dan berbaris rapi didirikan di tengah jalan utama termasuk perempatan strategis di sekitar stasiun. Disamping itu juga terdapat beberapa tenda yang sangat besar.  Sejenak baru tersadar bahwa inilah tenda-tenda para demonstran yang menduduki lokasi-lokasi strategis di kota Bangkok.  Setelah mengaambil gambar sesuatu yang kurang lazim tadi, kami berusaha keluar melalui exit nomor 3 untuk mendapatkan gang (soi) yang menuju hotel seperti petunjuk arah yang saya terima.  Ternyata semua exit ditutup oleh pendemo. Wah lewat mana ini? Ternyata ada sebuah jalan menuju ke sebuah mall besar yaitu Mahboonkrong (MBK), dan itu ternyata satu-satunya jalan untuk keluar dari Stasiun.  Dan ternyata benar saat kami menuruni tangga jalan keluar tersebut, di ujung tangga disapa oleh salah seorang demontran dan minta ijin untuk melihat isi tas punggung saya. Dia hanya melihat secara sekilas dan langsung mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan. 
Cara Demo di Thailand.  Hotel dimana kami tinggal berada dalam wilayah pendudukan para demonstran, sehingga jalan menuju ke hotelpun ditutup dan dijaga oleh para demonstran dengan cara buka tutup.  Hasil pengamatan kami selama 3 hari di sana, terlihat bahwa pola berdemo mereka dengan cara menduduki lokasi-lokasi strategis antara lain perempatan jalan-jalan utama ataupun tempat-tempat strategis lainya. Pendudukan lokasi-lokasi tersebut tidak hanya berjalan dalam hitungan hari, namun telah berlangsung  bulanan.  Mereka mendirikan tenda-tenda untuk berteduh pada siang hari ataupun tidur pada malam hari.  Bentuk tenda-tenda mereka sangat seragam dan disusun berbaris rapi di sepanjang jalan ataupun ruang-ruang kosong.  Disamping itu mereka membuat panggung besar untuk orasi politik dan acara musik untuk mengisi waktu sela.  Mereka bukan komunitas yang berpenampilan garang dan seram menakutkan, tetapi berperilaku ramah apalagi terhadap para wisatawan yang memang juga bukan target mereka.  Bahkan dalam perjalanan ke dan dari hotel kami selalu melewati dapur umum mereka, dan tidak jarang kami ditawari untuk mencicipi makanan yang disediakan para pendemo.  Dengan pendudukan yang berlangsung sekian lama, maka lokasi para pendemo berubah seperti pasar tumpah karena tidak urung mendatangkan para penjaja makanan dan minuman, souvenirs, pakaian atribut demo dan sebagainya.  Tujuan mereka untuk memberikan tekanan fisik ataupun psikologis, sehingga pemerintahan yang ditentang akan menuruti tuntutan mereka.  Dalam mencapai tujuan, mereka tidak vandalish ataupun bersifat merusak.  Tidak ada corat-coret di sekitar daerah demonstan, tidak ada perusakan fasilitas umum, dan tidak ada perilaku para demonstran yang liar, misalnya berteriak-teriak histreris, memanjat pagar pembatas jalan,  membakar ban, melakukan agitasi, provokasi dan sebagainya.  Para pendemo rajin menjaga kebersihannya dengan mengumpulkan sampah-sampah dalam kantong plastik besar ataupun dalam tong-tong yang besar, dan setiap pagi petugas kebersihan mengambil sampah tersebut dengan aman.  Bahkan saya menyaksikan seorang demonstran memunguti bekas-bekas puntung rokok yang ada di sela-sela hamparan kerikil yang ada di jalan pemisah dua jalur.  Mungkin mereka paham betul mana yang berhubungan dengan kepentingan negara dan mana yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah yang ditentangnya.   Bahkan pada saat pukul 08.00 pagi dimana di setiap fasilitas umum diperdengarkan lagu Kebangsaan Thailand, maka dengan semangat nasionalisme yang tinggi mereka berdiri untuk memberi penghormatan.  Karena demonstrasi di sana bukan sesuatu yang seram menakutkan, maka kegiatan masyarakat berjalan seperti biasa, pusat-pusat perbelanjaan, rumah makan, tempat-tempat hiburan dan mall besar seperti MBK tetap buka sampai pukul 22.00 seperti biasanya.

Kemah kecil dan seragam berjejer rapi di sekitar National Stadium


Bagaimana Berdemo di Negeri Kita.   Demo dimanapun biasanya yang ditentang adalah kebijakan penguasa yang dalam hal ini pemerintah. Mereka melakukan tekanan fisik dan psikologis terhadap pemerintah yang berkuasa, sehingga pemerintah akan menuruti tuntutan para pendemo.  Seperti yang terjadi di Thailand mereka memblokir jalan strategis dan juga pusat kegiatan pemerintahan agar roda pemerintahan tidak berjalan.  Dalam melakukan aksi ini mereka tidak merusak  fasilitas umum yang nota bene itu milik negara.  Tetapi bagaimana dengan demo di negeri kita? Kita sering bingung untuk mencari jawab, apa hubungan antara pintu dan pembatas jalan tol dengan tujuan demonstrasi? Apa salahnya mobil berplat merah, sehingga ia harus dirusak dan dibakar? Bukankah itu semua dibangun dan dibeli dengan uang negara yang notabene juga uang kita semua? Mengapa demo harus selalu dibarengi dengan penampilan wajah serem dan garang, perilaku yang destruktif, agitatif dan provokatif menakutkan.  

Para demonstran membangun kemah besar dan kemah-kemah kecil,
 namun kebersihan tetap  terjaga
       Hampir dipastikan pada saat terjadi demo, maka pusat-pusat layanan publik apakah itu toko, tempat hiburan, rumah makan dan sejenisnya memilih untuk menutup usahanya dari pada resiko terkena dampak dari para pendemo yang biasanya vandalish.  Ini memang perilaku massa yang gampang diprovokasi menjadi suatu kemarahan massa. Tetapi kelihatannya massa demonstran di negeri kita gampang sekali tersulut oleh hasutan para provokator, atau bisa jadi para demonstran yang militan tersebut sebelumnya sudah menyimpan potensi marah.  Dengan demikian demonstrasi yang semula berlangsung secara damai, mudah berubah menjadi demonstrasi yang anarkis. Meskipun demonstrasi selalu mengatasnamakan  aspirasi rakyat, namun cara demonstrasi yang demikian sering malahan tidak memperoleh simpati dari rakyat yang diwakilinya.......