Selasa, 27 Oktober 2015

WISATA BACKPACKINGAN 4 HARI DI CHIANGMAI & CHIANG RAI (Bagian 1)


Ini adalah kali yang ke tiga saya ke Thailand dan kali yang ke dua perjalanan kami untuk berwisata agro ke Thailand. Pertama kali ke Thailand saat masih aktif di TNI AU pada tahun 1994 dalam rangka pertukaran kunjungan perwira (officers exchange visit) TNI AU dengan RTAF. Tahun lalu kami berenam ke Thailand Selatan dengan obyek agrowisata ke Supattra Land di Provinsi Rayong dan Silver Lake di Propinsi Chonburry, termasuk melihat Bangkok dan Pattaya. Di Supattra Land kami meninjau perkebunan buah seperti durian, jambu, mangga, kelengkeng, manggis, anggur dan sebagainya. Sedangkan di Silver Lake utamanya adalah perkebunan anggur, disamping ada buah labu, buah naga serta taman bunga yang cukup luas dan tertata sangat indah. Pada bulan Agustus kemarin kami bersepuluh kembali meninjau berbagai obyek wisata khususnya yang berhubungan dengan perkebunan dan pertanaman (agriculture and plantation) di provinsi Chiang Mai dan Chiang Rai Thailand Utara. Rombongan kami hampir semuanya pakar tanaman, mereka adalah dosen pertanian ataupun pengusaha perkebunan khususnya kelengkeng yang sudah “go national”.  Hanya saya yang awam pengetahuan dan pengalaman tentang agrikultur dan juga pertanaman, kecuali hanya sebagai orang yang bisa menikmati saja. 
Kami bersepuluh menamakan diri “Komunitas Jalan-jalan Yogya”, karena semuanya asli Yogya yang mempunyai hobi jalan-jalan.  Namun “jalan-jalan” yang kami lakukan sangatlah mandiri, mulai dari perencanaan, menentukan obyek yang akan dikunjungi, menyusun itinerary (jadwal perjalanan), pengelolaan biaya, dan semuanya berbasis “backpackers”. Artinya semua dilaksanakan dengan dasar “low budgeter” alias dana terbatas. Saya pernah menulis di blog ini tentang “Wisata Backpackers” yang memuat kiat-kiat yang saya lakukan agar bisa jalan-jalan dengan biaya murah.  Semua komponen wisata mulai dari transportasi udara, transportasi lokal, tempat tinggal dan makan harus ditekan seminim mungkin, tetapi tetap pada batas aman, sehat dan nyaman. Perjalanan ini memang baru kali ke dua kami lakukan secara rombongan. Sebelumnya saya lakukan berdua saja dengan isteri, seperti ke Singapore, Malaysia, Hongkong, Macau, Shenzhen, Jepang, Australia, Taiwan dan Turki. Tapi dengan bertambahnya usia terasa ada penurunan kepercayaan diri kalau bepergian jauh, sehingga butuh teman. Dan ternyata ada yang bersedia menemani bepergian dengan model seperti ini. Menyadari karena usia sudah sepuh, belakangan ini pada setiap perjalanan saya selalu menggunakan travel insurance. 


Sebelum masuk ke ruang keberangkatan di Terminal B Bandara Adisutjipto

Ayo cepet-cepet boarding


Situasi Cabin Airbus 320 AirAsia saat selesai boarding
Terhitung mulai 17 Agustus 2015, Bandara Adi menggunakan terminal baru (Terminal B) untuk penerbangan internasional.  Yah lumayan luas dan lebih nyaman dari pada terminal A yang untuk penerbangan internasionalnya cukup sempit dan terkesan acak-acakan.  Kami meninggalkan Yogya pada hari Sabtu tanggal 22 Agustus 2015 pukul 12.00, yang hanya terlambat beberapa menit dari jadwal pukul 11.45.  Tidak ada penerbangan langsung dari Yogya ke Chiang Mai, oleh karena itu kami transit dulu di Kuala Lumpur dan baru keesokan harinya menuju Chiang Mai.  Sejak 9 Mei 2014, semua penerbangan berbiaya murah di Kuala Lumpur dipindahkan dari LCCT (Low Cost Carrier Terminal) ke KLIA2 (Kuala Lumpur International Airport 2).  Teminal bandara ini mengklaim sebagai terminal “low cost carrier” paling besar di dunia yang mampu menampung 13 juta penumpang pertahun dan dirancang sebagai Mall Airport, karena di dalamnya terdapat 220 outlet pertokoan termasuk kuliner.  Penerbangan dari Yogya ke KLIA2 berdurasi 2 jam 15 menit dan tepat pukul 15.15 waktu lokal, pesawat mendarat dengan mulus. Meskipun sama-sama terminal penerbangan biaya murah, layanan di KLIA2 jauh lebih bagus dari LCCT.  Di LCCT tidak ada aerobridge, minim eskalator, dan untuk menuju ke arrival hall lewat selasar yang jauh dan terbuka sehingga jika hujan mungkin akan kena percikan air dan tiupan angin. Kalau di KLIA2 tersedia aerobridge cukup dan lewat di ruang tertutup ber AC dan tersedia eskalator termasuk lift untuk orang-orang tua ataupun cacat.      
Setelah melalui proses imigrasi kami bersepuluh segera berangkat ke KL Sentral yang berjarak 1 jam perjalanan dengan Skybus.  Hotel yang kami booking lewat Agoda hanya berjarak 300 meter dari stasiun KL Sentral, dan tanpa mengalami masalah kami sampai tujuan dengan berjalan kaki.   

Semangaaat! Karena jalan cukup jauh ke konter imigrasi dan baggage claim



Menara kembar Petronas sebagai bangunan tertinggi ke 4 di dunia
  
Air mancur di halaman Petronas

Duduk santai sambil menghilangkan stress di depan  "Suria Mall" di tlapakannya Petronas
Mejeng di depan Suria Mall dlamakannya Petronas

 Malam itu sesuai rencana kami habiskan untuk menikmati bangunan tertinggi urutan ke 4 dunia yaitu Petronas.  Menuju Petronas cukup mudah dengan menggunakan KRL dari KL Sentral mengambil arah Jambek Line, dan setelah melewati 4 stasiun yang berjarak pendek-pendek maka pada stasiun ke 5 yaitu di stasiun KLCC kami turun. Selanjutnya dengan mengikuti arah Suria Mall maka sampailah di lantai dasar Petronas. Karena waktu sudah malam, maka tidak banyak yang kami lakukan kecuali menikmati pemandangan malam hari di halaman Petronas.  Dinding luar Petronas yang merupakan paduan struktur baja alumunium dan kaca, pada malam hari terlihat begitu bright  dan anggun karena cahaya lampu.  Sebenarnya banyak atraksi di Petronas, antara lain kita bisa ke Petroscience yaitu semacam taman pintarnya Yogya namun jauh lebih luas dan lengkap.  Juga kita bisa jalan-jalan ke skybridge atau melihat pemandangan Kuala Lumpur dari atas melalui deck observasi di lantai 86. Tetapi konon tiket yang dijual seharga 80 Ringgit (sekitar 250 ribu rupiah), dan itu hanya dibatasi 1200 lembar perhari dan biasanya sudah habis terjual.  Karena itu waktu yang hanya sekitar 2 jam kami habiskan untuk menikmati air mancur menari dengan iringan musik dan sinar lampu yang berwarna-warni. Meskipun pertunjukkan itu hanya berlangsung sekitar 15 menit, tetapi sudah cukup menghibur.   
Mejeng dulu sebelum naik KRL
Meski berdesakan di dalam KRL dan harus bergentayungan yang penting tetep happy
 
Pukul 22.00 kami meninggalkan Petronas kembali ke hotel, namun lebih dahulu makan di RM India yang bersebelahan dengan hotel kami menginap.  Pada hari pertama ini memang agak berat, karena paling lambat pukul 03.00 dini hari kami harus sudah meninggalkan hotel menuju KLIA2 untuk penerbangan pagi menuju ke Chiang Mai pukul 06.50. Apabila naik bus maka saya kasihan para peserta yang sebagian besar sudah usia 50 tahun ke atas dan saya sendiri sudah lebih dari 66 tahun, harus berjalan dengan mendorong koper menuju KL Sentral pukul 02.00 pagi.  Karena itu beberapa minggu sebelum berangkat, saya sudah booking Van kapasitas 14 seat. Malam itu saya tidak sempat tidur sedikitpun, dan pukul 02.00 tepat saya turun ke lobby untuk mengecek apakah mobil Van sudah siap. 

Menunggu mobil Van di lobby hotel untuk ke KLIA2 pukul 02.00 dini hari

Ternyata belum! Maka segera saya menelepon sopirnya, tetapi tidak diangkat. Wah saya mulai curiga, dan saya langsung menghubungi kantornya.  Setelah dicek dikatakan bahwa driver sedang on the way, saya disuruh nunggu sekitar 30 menit lagi.  Setelah beberapa kali saya konfirm posisi si driver, maka baru pukul 02.45 dia datang.  Perjalanan menuju KLIA2 sekitar 1 jam, namun dalam perjalanan si driver mampir untuk refueling dulu.  Saya mbatin “wah ini sopir nggak profesional banget, apalagi pelanggan dari negara lain yang mestinya harus dilayani lebih baik”.  Akhirnya menjelang pukul 03.00 kami sudah tiba di lantai 3  hall keberangkatan KLIA2.   
Tepat pukul 07.00 pesawat A-320 AirAsia lepas landas menuju Chiang Mai yang ditempuh sekitar 2 jam 50 menit. Karena waktu Kuala Lumpur mendahului 1 jam dari waktu di Chiang Mai yang sama dengan WIB, maka pesawat direncanakan mendarat pukul 08.50 waktu lokal.  Sesuai rencana dalam perjalanan pagi yang penuh resiko ketinggalan penerbangan, maka kami tidak merencanakan makan pagi kecuali di dalam pesawat.  Karena itu kami sudah memesan makanan secara online dengan menu yang bervariasi yang setiap anggota rombongan telah memilih secara demokratis. 

Lha ini menu Nasi Lemak Pak Naser kelihatannya yang paling populer dan disukai rombongan
 
Lha inilah mengapa AirAsia itu bisa menjual tiket murah. Sebenarnya  tiket yang dibayar itu sebut saja sebagai “bare thicket”, itu ya hanya tiket untuk orang dan bawaan dalam kabin sebanyak 2 tentengan seberat 7 kg dan tas tangan atau tas laptop.  Kalau kita membawa barang lebih banyak ya harus beli bagasi minimal 20 kg untuk penerbangan internasional, dan kalau ingin dapat makan ya harus beli!  Termasuk kalau ingin duduk di kursi yang lebih enak dan lega (kursi premium) ya harus nambah.  Pokoknya nggak ada yang gratis! Jadi kalau pingin irit betul, ya bawa tas kabin saja, tidak usah makan, terus terima saja kursi yang sudah diset oleh komputer saat check in dan mencetak boarding secara online. Mudah-mudahan AirAsia yang ingin menambah fee, tidak mengharuskan pemakai toilet di pesawat untuk membayar dengan “kencleng”! Ha...kalau ini terjadi, ya “TERLALUU” kata Bang Haji...!

Appron Chiang Mai International Airport


Bergaya di aerobridge Chiang Mai airport
 
Mobil Toyota Commuter yang akan melayani selama di Chiang Mai dan Chiang Rai

Penerbangan kali ini rupanya dapat tail wind sehingga pesawat mendarat pukul 08.30 waktu lokal atau 20 menit lebih awal.  Bandara Internasional Chiang Mai cukup kecil, sehingga jarak antara tempat parkir pesawat dengan hall kedatangan cukup dekat.  Setelah pemeriksaan imigrasi dan mengambil bagasi serta membeli pulsa lokal untuk komunikasi selama di Thailand, di depan pintu ke luar terlihat salah seorang penjemput mengacungkan papan nama saya “Suyitmadi”. Wah ini Mr. John (mungkin nama samaran), yaitu driver yang sudah saya booking jauh hari sebelumnya untuk menemani kami menjalankan itinerary di Chiang Mai ataupun Chiang Rai  selama 3 hari.  Mobil relatif baru merk Commuter Toyota yang diset untuk 10 penumpang, dan terasa cukup lega.
Jarak antara bandara dengan pusat kota (old city) termasuk CH Hotel di daerah Night Bazaar yang sudah kami booking, hanya sekitar 15 menit.  Biasanya hotel di LN ketat dalam waktu check in yang biasanya di atas pukul 12.00.  Namun reception tetap menerima kami meskipun  waktu baru pukul 10.00. Setelah drop luggage kami segera berangkat ke berbagai obyek (bersambung ke bagian 2).   

Senin, 14 April 2014

MENGINTIP DEMO DI NEGERI TETANGGA




 Latar Belakang.   Kekacauan politik telah berlangsung lama di Thailand, yang dimulai dari mosi tidak percaya kepada pemerintahan yang berkuasa di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Yingluck Sinawatra.  Yingluck Sinawatra adalah adik bungsu Taksin Sinawatra mantan perdana menteri Thailand yang terguling melalui cupdetat  militer pada tahun 2006.  Saat ini Taksin Sinawatra berada di pelariannya di luar negeri, karena saat dilengserkan dia sedang berada di New York dalam rangka menghadiri sidang PBB.  Dia dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang, sehingga dihukum dua tahun penjara melalui pengadilan inabsensia.  Yingluck menduduki kursi perdana menteri pada tahun 2011 setelah menang dalam pemilu atas lawan politiknya yang saat itu sebagai calon dari incumbant yaitu Abhisit Vejjajiva.  Dia tercatat sebagai perdana menteri wanita pertama dan termuda di negaranya.  Namun perjalanan karier Yingluck dalam menjalankan roda pemerintahan tidak semulus kariernya dalam memimpin Partai Pheu Thai yang membesarkannya.  Dalam perjalanan waktu pemerintahan Yingluck dianggap sebagai perpanjangan tangan atau boneka dari kakaknya yaitu Taksin Sinawatra yang ada dalam pelarian serta tuduhan sebagai pemerintahan yang korup.  Sikap anti pemerintahan Yingluck lebih dipicu lagi dengan rencana pemberlakuan undang-undang tentang amnesti.  Jika undang-undang tersebut diberlakukan, maka sang kakak yang berstatus pelarian dan telah diputus bersalah dan dihukum, akan dapat melenggang pulang kembali ke negerinya tanpa tuntutan hukum apapun. Inilah yang melatarbelakangi semakin keruhnya situasi politik di negeri gajah putih ini,  yang ditandai dengan semakin maraknya demonstrasi anti pemerintahan yang dipimpin oleh Suthep yang juga sebagai mantan Wakil Perdana Menteri sebelum pemerintahan Yingluck.  Tuntutan para demonstran adalah agar Yingluck Sinawatra mundur  dan menyerahkan kepemimpinan pemerintahan kepada Dewan Rakyat, setelah itu dilakukan reformasi tatanan politik yang saat ini dianggap melestarikan dinasti Sinawatra untuk berkuasa di negeri ini. Dalam rangka meredakan ketegangan politik seperti itu, Yingluck mempercepat Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014, yang ternyata rencana itu juga ditentang oleh lawan politiknya. Puncak dari demonstrasi besar-besaran  dilakukan pada tanggal 13 Januari 2014 dengan slogan “Shutdown Bangkok” atau lumpuhkan Bangkok.  Mereka mengancam akan menduduki jalan-jalan strategis, menduduki pusat-pusat pemerintahan bahkan akan memutus aliran listrik dan air guna mencegah beraktivitasnya roda pemerintahan Yingluck Sinawatra. Menghadapi kondisi tersebut pemerintahan Yingluck mengeluarkan kondisi darurat yang berlaku mulai tanggal 22 Januari 2014 sampai 60 hari ke depan. Dengan pemberlakukan keadaan darurat, berarti pemerintah berhak melarang pertemuan publik yang dihadiri lebih dari lima orang, menahan seorang tersangka lebih dari 30 hari tanpa tuduhan dan menyensor pemberitaan media.  Tujuan pemberlakuan kondisi darurat agar pemerintah bisa mengendalikan situasi keamanan dengan lebih efektif.  Pelaksanaan Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014 yang dikawal lebih dari 130 ribu polisi dan 5000 tentara telah dapat terlaksana dengan aman meskipun diboikot oleh partai oposisi, sementara beberapa distrik terpaksa ditunda akibat diblokirnya pusat logistik Pemilu oleh para demonstran.  Kondisi pasca Pemilu ternyata tidak mengendurkan semangat para demonstran untuk memperjuangkan tuntutan mereka.  Bahkan beberapa hari terakhir eskalasi politik semakin memanas dengan terjadinya beberapa tindak kekerasan dan korban jiwa.
Kiat Mendatangi Daerah Pendudukan Para Demonstran.  Pada tanggal 10 sampai dengan 13 Februari 2014 (selama 4 hari 3 malam) saya dengan rombongan berenam yang terdiri dari  keluarga (2 pasang suami isteri dan sepasang bapak dan anak) berkunjung ke Bangkok.  Mengingat banyaknya pemberitaan tentang situasi politik dan keamanan di Bangkok yang kurang kondusif, maka sebelum keberangkatan kami banyak meminta informasi perkembangan terkini situasi politik di sana baik ke Atud (Atase Udara) langsung  ataupun stafnya.  Selain itu kami berhubungan dengan Komunitas Indonesia di Thailand dan orang-orang yang sangat paham tentang Thailand melalui jejaring sosial yang ada.

Para pendemo membangun panggung besar di perempatan strategis di kota Bangkok


Salah satu informasi yang diberikan oleh Atud, bahwa hotel tempat kami menginap saat nanti di Bangkok masuk daerah pendudukan para demonstran. Kemudian dari staf Atud serta Komunitas Indonesia di Thailand maupun teman-teman yang berbagi informasi di jejaring sosial, menyarankan agar kami memilih transportasi seperti Skytrain/BTS, MRT, atau transportasi sungai (perahu).  Alasannya moda transportasi tersebut tidak diganggu oleh para demonstran. Skytrain atau BTS (Bangkok Transit System) adalah moda transportasi kereta api cepat dengan rail track berada di atas yang melintas antara gedung bertingkat di kota Bangkok.  Moda transportasi berikutnya adalah MRT (Mass Rapid Transit) adalah kereta api cepat dengan rail track melalui bawah tanah (under ground), sedangkan tranportasi air yang dimaksud adalah menggunakan boat (kapal) yang melewati Sungai Chao Phraya. Memilih moda transportasi taksi/mobil dikhawatirkan akan terjebak kemacetan akibat diblokirnya beberapa ruas jalan strategis di kota Bangkok.  Itulah informasi awal yang saya terima dari Atase Pertahanan Udara (Atud) ataupun staf Atud.  Berdasarkan informasi tersebut, maka saya selaku yang dituakan dalam rombongan berusaha untuk mencari berbagai alternatif dari setiap kontinjensi yang akan terjadi.  Meskipun hotel yang akan kami tempati diduduki oleh para demonstran, namun lokasinya yang begitu dekat dengan stasiun BTS National Stadium maka dipastikan dapat dijangkau dengan menggunakan skytrain.  Maskapai penerbangan yang kami gunakan adalah AirAsia yang merupakan penerbangan murah atau LCC (low cost carrier). Destinasinya di bandara Don Mueang yang belum tersedia moda transportasi sebaik yang ada di Swarnabumi. Untuk menyambung ke BTS (Skytrain), maka kami harus menggunakan bus dari bandara menuju ke Stasiun BTS Mochit, selanjutnya berganti skytrain menuju ke Stasiun BTS National Stadium.  Dari informasi yang saya peroleh bahwa naik bus di Bangkok khususnya pada jam sibuk, sangat repot kalau harus membawa bawaan besar dan berat (koper), karena dalam bus tidak tersedia fasilitas penyimpanan koper. Nah untuk itu saya mengambil insiatif untuk menggunakan “flunyesak” atau karung tentara yang terbuat dari kain yang liat dan kuat.  Sedangkan barang bawaan yang harus masuk check baggage masing-masing keluarga hanya dua tas punggung saja, yang nantinya harus dimasukkan dalam “plunyesak”.  Pada saat sudah sampai di Don Mueang, kedua tas punggung dikeluarkan dari “plunyesak” dan digendong di punggung guna memudahkan pergerakan.  Ini penting karena dalam setiap kondisi darurat kita perlu pergerakan yang cepat, dan ini bisa dilakukan jika kita tidak membawa barang dengan ukuran besar dan berat.  Disamping itu saat menuju ke Stasiun BTS/Skytrain, kita harus naik cukup tinggi dan tidak semua Stasiun BTS tersedia eskalator.  Bayangkan bagaimana repotnya membawa bawaan ukuran besar dan berat untuk menaiki tangga yang cukup tinggi secara manual.  Pasti akan repot!  Karena itulah menggunakan “plunyesak” adalah sebuah skenario yang paling tepat untuk menghadapi semua itu, meskipun nampak seperti tentara yang mau berangkat tugas operasi militer.  Untuk memastikan bahwa hotel dimana kami tinggal nantinya aman dari gangguan para demonstran, maka seminggu sebelum kepergian saya menelpon ke Hotel Muangphol Mansion.  Ada rasa tenang dan lebih meningkatkan rasa percaya diri, setelah memperoleh  jawaban dari sana : “Don’t worry, no problem” katanya.
Nah dalam pelaksanaannya ternyata tidak berbeda dengan rencana yang sudah dibuat. Begitu kami turun dari Skytrain yang kami tumpangi di destinasi terakhir yaitu di Stasiun National Stadium, kami disuguhi pemandangan yang dalam istilah Jawa disebut “ora jamak lumrahe” yang artinya pemandangan yang tidak lazim. Dari flatform stasiun kami melihat beratus tenda-tenda kecil yang seragam dan berbaris rapi didirikan di tengah jalan utama termasuk perempatan strategis di sekitar stasiun. Disamping itu juga terdapat beberapa tenda yang sangat besar.  Sejenak baru tersadar bahwa inilah tenda-tenda para demonstran yang menduduki lokasi-lokasi strategis di kota Bangkok.  Setelah mengaambil gambar sesuatu yang kurang lazim tadi, kami berusaha keluar melalui exit nomor 3 untuk mendapatkan gang (soi) yang menuju hotel seperti petunjuk arah yang saya terima.  Ternyata semua exit ditutup oleh pendemo. Wah lewat mana ini? Ternyata ada sebuah jalan menuju ke sebuah mall besar yaitu Mahboonkrong (MBK), dan itu ternyata satu-satunya jalan untuk keluar dari Stasiun.  Dan ternyata benar saat kami menuruni tangga jalan keluar tersebut, di ujung tangga disapa oleh salah seorang demontran dan minta ijin untuk melihat isi tas punggung saya. Dia hanya melihat secara sekilas dan langsung mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan. 
Cara Demo di Thailand.  Hotel dimana kami tinggal berada dalam wilayah pendudukan para demonstran, sehingga jalan menuju ke hotelpun ditutup dan dijaga oleh para demonstran dengan cara buka tutup.  Hasil pengamatan kami selama 3 hari di sana, terlihat bahwa pola berdemo mereka dengan cara menduduki lokasi-lokasi strategis antara lain perempatan jalan-jalan utama ataupun tempat-tempat strategis lainya. Pendudukan lokasi-lokasi tersebut tidak hanya berjalan dalam hitungan hari, namun telah berlangsung  bulanan.  Mereka mendirikan tenda-tenda untuk berteduh pada siang hari ataupun tidur pada malam hari.  Bentuk tenda-tenda mereka sangat seragam dan disusun berbaris rapi di sepanjang jalan ataupun ruang-ruang kosong.  Disamping itu mereka membuat panggung besar untuk orasi politik dan acara musik untuk mengisi waktu sela.  Mereka bukan komunitas yang berpenampilan garang dan seram menakutkan, tetapi berperilaku ramah apalagi terhadap para wisatawan yang memang juga bukan target mereka.  Bahkan dalam perjalanan ke dan dari hotel kami selalu melewati dapur umum mereka, dan tidak jarang kami ditawari untuk mencicipi makanan yang disediakan para pendemo.  Dengan pendudukan yang berlangsung sekian lama, maka lokasi para pendemo berubah seperti pasar tumpah karena tidak urung mendatangkan para penjaja makanan dan minuman, souvenirs, pakaian atribut demo dan sebagainya.  Tujuan mereka untuk memberikan tekanan fisik ataupun psikologis, sehingga pemerintahan yang ditentang akan menuruti tuntutan mereka.  Dalam mencapai tujuan, mereka tidak vandalish ataupun bersifat merusak.  Tidak ada corat-coret di sekitar daerah demonstan, tidak ada perusakan fasilitas umum, dan tidak ada perilaku para demonstran yang liar, misalnya berteriak-teriak histreris, memanjat pagar pembatas jalan,  membakar ban, melakukan agitasi, provokasi dan sebagainya.  Para pendemo rajin menjaga kebersihannya dengan mengumpulkan sampah-sampah dalam kantong plastik besar ataupun dalam tong-tong yang besar, dan setiap pagi petugas kebersihan mengambil sampah tersebut dengan aman.  Bahkan saya menyaksikan seorang demonstran memunguti bekas-bekas puntung rokok yang ada di sela-sela hamparan kerikil yang ada di jalan pemisah dua jalur.  Mungkin mereka paham betul mana yang berhubungan dengan kepentingan negara dan mana yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah yang ditentangnya.   Bahkan pada saat pukul 08.00 pagi dimana di setiap fasilitas umum diperdengarkan lagu Kebangsaan Thailand, maka dengan semangat nasionalisme yang tinggi mereka berdiri untuk memberi penghormatan.  Karena demonstrasi di sana bukan sesuatu yang seram menakutkan, maka kegiatan masyarakat berjalan seperti biasa, pusat-pusat perbelanjaan, rumah makan, tempat-tempat hiburan dan mall besar seperti MBK tetap buka sampai pukul 22.00 seperti biasanya.

Kemah kecil dan seragam berjejer rapi di sekitar National Stadium


Bagaimana Berdemo di Negeri Kita.   Demo dimanapun biasanya yang ditentang adalah kebijakan penguasa yang dalam hal ini pemerintah. Mereka melakukan tekanan fisik dan psikologis terhadap pemerintah yang berkuasa, sehingga pemerintah akan menuruti tuntutan para pendemo.  Seperti yang terjadi di Thailand mereka memblokir jalan strategis dan juga pusat kegiatan pemerintahan agar roda pemerintahan tidak berjalan.  Dalam melakukan aksi ini mereka tidak merusak  fasilitas umum yang nota bene itu milik negara.  Tetapi bagaimana dengan demo di negeri kita? Kita sering bingung untuk mencari jawab, apa hubungan antara pintu dan pembatas jalan tol dengan tujuan demonstrasi? Apa salahnya mobil berplat merah, sehingga ia harus dirusak dan dibakar? Bukankah itu semua dibangun dan dibeli dengan uang negara yang notabene juga uang kita semua? Mengapa demo harus selalu dibarengi dengan penampilan wajah serem dan garang, perilaku yang destruktif, agitatif dan provokatif menakutkan.  

Para demonstran membangun kemah besar dan kemah-kemah kecil,
 namun kebersihan tetap  terjaga
       Hampir dipastikan pada saat terjadi demo, maka pusat-pusat layanan publik apakah itu toko, tempat hiburan, rumah makan dan sejenisnya memilih untuk menutup usahanya dari pada resiko terkena dampak dari para pendemo yang biasanya vandalish.  Ini memang perilaku massa yang gampang diprovokasi menjadi suatu kemarahan massa. Tetapi kelihatannya massa demonstran di negeri kita gampang sekali tersulut oleh hasutan para provokator, atau bisa jadi para demonstran yang militan tersebut sebelumnya sudah menyimpan potensi marah.  Dengan demikian demonstrasi yang semula berlangsung secara damai, mudah berubah menjadi demonstrasi yang anarkis. Meskipun demonstrasi selalu mengatasnamakan  aspirasi rakyat, namun cara demonstrasi yang demikian sering malahan tidak memperoleh simpati dari rakyat yang diwakilinya.......





Minggu, 26 Januari 2014

MENJELANG BACKPACKINGAN KE THAILAND

ANTARA HARAPAN DAN KEGALAUAN



Pada tanggal 10 Februari sampai dengan 13 Februari 2014 (berarti 4 hari dan 3 malam) saya akan backpackingan ke Bangkok, Pattaya dan Provinsi Rayong.  Harapan saya semoga perjalanan singkat tersebut bisa berlangsung secara aman, lancar, menyenangkan dan tidak ada halangan apapun.  Itulah harapan, namun di ujung harapan terbersit suatu kegalauan setelah mengikuti perkembangan situasi politik di Thailand.  Pemerintah yang syah didesak mundur oleh lawan politiknya, dengan alasan sang Perdana Menteri dituduh sebagai boneka Taksin Sinawatra yaitu sang perdana menteri yang terguling dalam suatu kudeta tahun 2006. Peningkatan suhu politik di Thailand juga dipicu oleh Rencana Undang-undang Amnesti, yang apabila disahkan maka Taksin Sinawatra yang berada di pelarian akan bisa kembali ke Thailand tanpa adanya tuntutan hukum.  Yah saya tidak tahu kebenarannya di mana, dan saya berkeyakinan bahwa di dunia  politik itu bukan tempat yang pas untuk mencari kebenaran.  Dengan kondisi tersebut saya rajin mengikuti perkembangan situasi politik di Thailand, baik melalui internet, media  cetak ataupun televisi.  Saya merasa khawatir jika terjadi tindak kekerasan terhadap salah satu  pihak, akan memicu timbulnya kekerasan baru.  Pada awal Januari 2014, saya membaca berita akan adanya demo besar-besaran yang dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2014 dengan tujuan untuk melumpuhkan Bangkok (Bangkok shutdown).  Sasaran demonstrasi adalah menduduki pusat-pusat pemerintahan, memblokir  jalan-jalan untuk menghambat para pegawai pemerintahan yang akan menuju kantornya, bahkan mengancam akan memutus aliran listrik dan air ke pusat-pusat pemerintahan.  Mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat demonstrasi tersebut, salah satu atraksi kolosal spektakuler yang sangat diminati oleh wisatawan yaitu Siam Niramit  menyatakan akan meniadakan pertunjukkan pada tanggal tersebut. Alasannya karena pertimbangan keamanan dan transportasi.  Syukur alhamdulillah demo besar-besaran yang di lancarkan oleh kelompok oposisi tersebut berlangsung damai tanpa insiden yang berarti.  Terakhir saat blok ini saya tulis, perdana menteri mengeluarkan pernyataan bahwa Bangkok dalam kondisi darurat sampai 60 hari ke depan. Dengan pemberlakukan keadaan darurat, berarti pemerintah berhak melarang pertemuan publik yang dihadiri lebih dari lima orang, menahan seorang tersangka lebih dari 30 hari tanpa tuduhan dan menyensor pemberitaan media-media.  Tujuan pemberlakuan kondisi darurat agar pemerintah bisa mengendalikan situasi keamanan dengan lebih efektif.  Tapi beberapa hari belakangan ini kondisi Bangkok dan sekitarnya juga masih menjadi tanda tanya.  Meski kondisi darurat mulai diberlakukan sejak 21 Januari kemarin, namun teror tindak kekerasan berupa penembakan terhadap orang-orang tertentu dari kedua belah pihak yang bertikai juga masih sering terjadi.  Selanjutnya kemauan keras pemerintah untuk melaksanakaan Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014 yang ditentang pihak oposisi, juga terus memicu ketegangan baru. Kondisi ini telah menurunkan jumlah wisatawan ke Thailand, yang ditandai antara lain SQ membatalkan beberapa jadwal penerbangan ke Bangkok karena menurunnya penumpang (ZonaAero Informasi Penerbangan dan Periwisata tanggal Kamis, 23 Januari 2014).  Kemudian beberapa negara antara lain AS, Kanada, Brasil, Meksiko, Jerman, Austria, Spanyol, Yunani, Taiwan, Korsel, UEA, Kuwait,  Hongkong dan banyak lagi negara yang mengeluarkan travel warning kepada warganegaranya untuk sementara tidak mengunjungi Thailand (ranahberita.com Kamis 16 Januari 2014).  Yah ... tiket Jakarta Don Muang, hotel, serta beberapa tiket pertunjukkan sudah dibooking, tetapi kondisi di sana masih banyak misteri yang membuat kegalauan.  Kami akan menjauhi tempat-tempat konsentrasi massa, serta tidak memakai atribut yang menggambarkan identitas dari kelompok-kelompok  yang bertikai, yaitu baju atau kaos warna merah dan kuning. Pada tanggal 28 Januari 2014 saya mendapat e-mail dari KBRI di Thailand, yang mengatakan bahwa kondisi Bangkok cukup terkendali. Demikian juga di Rayong dan Pattaya. Meskipun demikian belum bisa dikatakan kondusif, menyusul masih terjadinya beberapa tindak kekerasan seperti penembakan dan peledakan granat yang memakan korban jiwa. Berita terakhir ada penembakan yang menewaskan seorang pemimpin demo pada hari Minggu 26 Januari 2014. Kemudian pada sore hari tanggal 28 Januari 2014, kami mendapatkan e-mail dari Atase Pertahanan Udara (Atud) di Bangkok, tentang situasi politik terkini di Thailand khususnya Bangkok. Yang membikin hati menjadi kecut bahwa di suatu titik di dekat Hotel Muangphol Mansion tempat kami akan tinggal selama di Bangkok diduduki para demonstran. Saran dari Atud agar kami pindah dari Hotel Muangphol Mansion ke hotel-hotel lain yang jauh dari titik-titik berkumpulnya para demonstran.  Dalam hal ini Atud menyarankan agar mencari hotel-hotel di dekat KBRI (Petchbury road) yang relatif lebih aman. Dengan kondisi keamanan Bangkok yang kurang kondusif, menyebabkan jumlah wisatawan ke negeri ini turun drastis, sehingga banyak hotel-hotel yang menawarkan harga promo. Kemudian e-mail dari salah satu staf Atud, menyampaikan beberapa informasi penting yang berhubungan dengan situasi terkini di kota Bangkok termasuk untuk mengikuti jejaring sosial "Komunitas Indonesia di Thailand". Ternyata dengan mengikuti jejaring sosial ini, kami bisa mengikuti dan meminta informasi perkembangan situasi terkini di Bangkok. Saya menghargai setingi-tingginya atas respon KBRI yang begitu cepat dan komprehensif melalui Atud dalam rangka melindungi keselamatan para WNI di negeri ini. Yah ...tujuan backpackers seperti kami-kami ini dengan mereka yang terlibat dalam pertikaian politik di negeri ini memang bak bumi sama langit.  Mereka yang bertikai bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dengan pembenaran logika politiknya masing-masing, sedangkan para backpackers bertujuan untuk mencari pengalaman baru dalam hidup, mengenal negeri dengan berbagai seluk budayanya (li ta arofu), dan sejenisnya. Pokoknya yang sejuk-sejuk, damai dan menyenangkan. Kunjungan yang akan datang ini merupakan yang ke dua kalinya. Yang pertama dulu merupakan kunjungan kedinasan (sebagai tamu Royal Thai Air Force) yang semuanya dikendalikan secara protokoler, namun kunjungan kali ini adalah pribadi dengan cara backpackingan. Dengan cara backpackingan akan memperkaya pengalaman, karena mulai dari perencanaan dan pelaksanaan kami sendiri yang melakukan. Termasuk kekisruhan politik di Thailand yang sedikit banyak berpengaruh pada keamanan para backpackers, tentu akan lebih memperkaya pengalaman khususnya dalam menyusun kiat untuk melakukan kegiatan dalam situasi konflik namun tetap aman dan selamat.  Semoga di tengah kegalauan ini tetap terbuka harapan untuk mengunjungi Bangkok, Rayong dan Pattaya dengan lancar, aman, selamat dan menyenangkan. Amin.......