Jumat, 20 Juli 2018
Sabtu, 17 Februari 2018
DIMANAKAH KITA SAAT INI?
Fase penerbangan dimulai
dari take off (tinggal landas), dan berakhir dengan landing (mendarat). Jika siklus
hidup bisa diibaratkan seperti fase-fase
dlm penerbangan, maka setiap tahapan umur manusia akan bisa dipetakan keberadaannya. Dari fase penerbangan tersebut,
yang menarik untuk dibahas adalah fase climbing, cruise dan descend.
Saat masih di sekolah
umum dan berlanjut mengikuti pendidikan militer termasuk getul-getulnya meniti
karier di TNI AU, maka bisa dikatakan kita berada pada fase climbing. Climbing
merupakan fase terbang menanjak untuk mencapai ketinggian terbang jelajah, dan
kalau ditransformasikan dalam hidup manusia adalah masa di mana kita berjuang
untuk mewujudkan cita-cita yang diimpikan.
Dalam aerodinamika yang saya tahu ada yang
disebut "absolute ceiling" dan
“service ceiling”. “Absolute ceiling” itu ketinggian di mana pesawat sudah
"mentok" nggak bisa naik lagi, dan pesawat jarang terbang pada
ketinggian ini karena kurang efisien. Terus “service ceiling” adalah ketinggian
terbang di mana pesawat hanya mampu menanjak dengan rate of climb 100 ft/menit. Menurut
“poro winasis” bahwa kemampuan "absolute/service ceiling" itu sudah ditentukan
sejak design awal dari pabrik lewat uji, yaitu faktor daya mesin dan luas
sayap. Daya mesin tinggi menjadikan absolute ceiling tinggi, misalnya
“Concorde” absolute ceiling mencapai 68000 kaki (21 km). Pengalaman saat “ndompleng” Airbus 330-300 dari
Kuala Lumpur ke Busan Korsel, karena banyak turbulensi di atas Laut China
Selatan akhirnya diijinkan untuk menambah ketinggian sampai 41000 kaki. Kata
pilot itu adalah batas kemampuan terbang di mana pesawat tidak mampu lagi
menambah ketinggian. Dan ternyata sesuai spesifikasi data yang saya baca bahwa Airbus A330-300 itu kemampuan "absolute ceiling"
nya 41000 feet (hampir 13 km). Pesawat yang terbang jelajah pada altitude yang
tinggi, memperoleh banyak keuntungan. Antara lain hemat bensin, relatif
bebas cuaca buruk, kerja engine lebih
efisien, true airspeed lebih kencang, dan syukur-syukur dapat "jet stream" yang mendorong pesawat
melaju lebih cepat. Satu hal lagi
keuntungan terbang tinggi yaitu jika terjadi kondisi darurat, maka pilot punya
waktu cukup banyak untuk melakukan tindakan keselamatan. Misalnya mesin
mati, maka ada cukup waktu untuk gliding dan mampu menempuh jarak luncur yang
lebih jauh. Ingat incident Boeing 747-200 flight no 9 British Airways dari
Heathrow London ke Auckland NZ. Pesawat dengan 263 penumpang onboard pada tahun
1982 saat melintas di atas Pelabuhan Ratu, tiba-tiba 4 mesinnya mati gara-gara "keselek nyedot" debu vulkanik Galunggung
yang "njeblug" saat itu. Meski 4 mesin semuanya mati saat cruising
pada 36000 kaki, namun pesawat masih
bisa gliding (meluncur) dan mendarat di Halim P. yang berjarak sekitar 160 km dengan
selamat. Kita berhandai-handai jika engine mati terjadi pada ketinggian
rendah, tentu probabilitas keselamatan tidak sebaik itu. Kemudian
bagaimana mentransformasikan pada kehidupan manusia? Memang menyambungnya agak
“kewuhan”! Tadi sudah disampaikan bahwa kemampuan "absolute/service
ceiling" pesawat sudah ditentukan saat design awal. Lha kalau manusia
selain design awal berupa "talenta", juga masih harus disertai upaya
pemberdayaan diri secara berlanjut. Meningkatkan daya mesin bisa diartikan sebagai
upaya pemberdayaan daya nalar/akal/pikir yang didukung academic skill ataupun
technical skill yang diterima di pendidikan. Kalau memperluas sayap bisa
diartikan sebagai pemberdayaan kemampuan soft skill atau life skill, yang
intinya sebuah ketrampilan untuk membangun interaksi sosial juga loyalitas yang
baik. Dalam menjalani hidup, memilih "absolute/service celing" itu
pilihan! Misalnya seseorang kepingin memilih pada level yang rendahan saja!
Cuma harus siap karena pada ketinggian ini rentan gangguan cuaca buruk, boros
fuel, malah salah-salah bisa juga bisa
menabrak obstacle tinggi atau kemasukan FOD,
dsbnya.
Fase cruising apalagi climbing bagi sebagian besar
purnawirawan, pada dasarnya sudah berakhir dan kini tinggal kenangan. Terus dimanakah kita saat
ini? Mungkin yang paling pas adalah
ibarat pesawat yang berada pada fase descend, alias sudah meninggalkan
ketinggian cruising menuju fase terakhir dalam penerbangan yaitu landing
sebagai destinasi terakhir. Pada setiap fase penerbangan harus dijalani dengan
kehati-hatian dan tetap mengacu pada standard "safety/keselamatan" yang sudah
ditetapkan. Demikian juga dalam hidup kita. Banyak yang mengalami kegagalan
pada setiap fase kehidupan. Meskipun itu
bisa jadi sudah menjadi takdir, tetapi bukankah takdir bisa berubah karena do'a
dan usaha? Terus usaha apa yang harus dilakukan jika merasa sudah berada di
fase descend. Secara manusiawi setiap orang kepingin hidup lebih lama tetapi
tetap sehat dan syukur-syukur masih bisa bermanfaat bagi sesama. Terus
bagaimana menganalogikan keinginan manusia untuk hidup lebih lama tersebut,
dengan pesawat yang berada pada fase descend untuk bertahan terbang lebih lama
dan lama lagi. Kenyataan yang ada bahwa ketinggian terbang akan terus
menurun dan semakin mendekati daratan. Tetapi agar laju turunnya (descent rate) itu secara
perlahan, maka yang terbaik adalah berupaya seoptimal mungkin mengelola glide
angle (sudut luncur) yang serendah mungkin. Dengan kata lain energi potensial
tinggi yang masih dimiliki pesawat karena berada di altitude tinggi, harus dikelola secara optimal dengan
merubahnya secara gradual ke bentuk energi kinetik berupa kecepatan luncur yang
rendah tetapi aman tidak “stall”. Selain itu juga berdoa semoga lalu lintas
penerbangan di bandara tempat destinasi terakhir cukup sibuk/crowded. Dg demikian kita juga
disuruh mengantri dengan holding di udara lebih lama dan lama lagi. Tetapi
harus diingat bahwa landing adalah keniscayaan/kepastian! Tidak mungkin holding
di udara terus menerus karena bahan bakar yang dibawapun terbatas jumlahnya.
Mengelola glide angle untuk mengkonversi energi potensial menjadi energi
kinetik secara gradual untuk
menghasilkan kecepatan yang aman, serta mengharap agar berlama-lama holding di
udara itu "sanepo/perumpamaan". Kalau ditrapkan dalam kehidupan
yang nyata bagaimana? Telah banyak “wedar sabdo” yang disampaikan oleh para
ulama/ahli agama, juga “poro winasis” di FB, WA, Tweeter, dan media sosial
lainnya. Yaitu jalani gaya hidup sehat, ibadah/do'a yang khusyuk, rajin bersilaturohmi,
rajin sedekah, hindari stress dan lain-lain. Tentang silaturohmi bagi para
purnawirawan, wadahnya sudah ada dan
dijamin dari aspek “chemistry” sangat cocok yaitu PPAU karena komunitasnya
sudah saling mengenal sangat lama.
Kehidupan setiap orang memang semuanya akan berakhir, sebagaimana
pesawat yang harus mendarat dan siap proses “phase out” untuk "static
display" di ground selamanya. Harapan akhir setiap fase penerbangan adalah
pesawat bisa mendarat di destinasi yang dituju dengan “smooth”, sebagaimana
do’a dan upaya kita agar perjalanan hidup ini juga berakhir dengan baik atau
“husnul khotimah”. Untuk itu agar tidak vertigo atau disorientasi dalam
menjalani hidup, maka sebaiknya selalu sadar dalam menetapkan posisi “Dimana Kita Saat Ini?”……
Rabu, 09 Agustus 2017
LANGKAH
Gerakan salah satu
kaki ke depan secara bergantian disebut langkah atau melangkah. Akumulasi dari
melangkah disebut gerakan berjalan. Kalau akumulasi langkah menjadi gerakan
jalan kaki, manfaatnya bagi kesehatan sudah banyak dibahas di berbagai media. Dari sekian banyak manfaat dari jalan kaki antara lain bisa
menurunkan berat badan, membuat tidur
nyenyak, mengurangi hipertensi/serangan jantung/stroke, mengurangi stress,
meningkatkan stamina tubuh, meningkatkan gairah seksual, sebagai sarana meditasi
guna mencari solusi permasalahan hidup, dan bisa menambah pintar (can make you
smarter). Tidak ada batasan pasti yang direkomendasikan, namun ada yang
berpendapat bahwa olah raga jalan kaki yang berdampak pada pemeliharaan
kesemaptaan adalah sekitar 7000 langkah lebih.
Berbicara tentang “jalan kaki”
dan “langkah”, ini ada sebuah surve yang
menarik. Berdasarkan hasil surve
terhadap 46 negara baru-baru ini yang
dilakukan oleh Stanford University, bahwa manusia bumi ini berjalan kaki
rata-rata 4961 langkah. Adapun jumlah
langkah berkisar dari 3513 langkah sampai dengan 6880 langkah. Yang tertinggi (6880 langkah) adalah jalan
kaki rata-ratanya orang Hongkong/China. Terus masyarakat dari negara manakah
yang jumlah langkah rata-ratanya paling rendah (3513 langkah)? Suka atau tidak
suka yang terendah itu adalah kita. Kita masyarakat Indonesia! Dalam hal
berjalan kaki, kita dijuluki sebagai masyarakat yang paling malas (the laziest).
Hasil surve jumlah langkah perhari dari 46 negara |
Tetapi sebaiknya jangan
keburu ikut-ikutan memvonis diri sendiri sebagai orang-orang paling malas
berjalan kaki. Semua mesti ada sebab musababnya! Menurut saya salah satu
sebabnya adalah bahwa selama ini kita kurang pas dalam menerapkan kebijakan di
bidang transportasi. Nampaknya pendapat saya ini sekilas agak kurang nyambung
ya? Lha masalah rakyat yang malas jalan kaki kok disangkutkan dengan kebijakan transportasi.
Selama ini sistem transportasi kita kurang berorientasi pada penyediaan moda angkutan
umum atau transportasi massa. Transportasi
massa yang selama ini ada seperti bus dan kereta api, belum bisa melayani
secara cukup, cepat, nyaman, aman dan tepat waktu, baik untuk angkutan lokal
ataupun jarak jauh. Berbeda dengan Hongkong/China yang menduduki rangking
tertingi dalam jumlah langkah berjalan kaki.. Untuk angkutan lokal seperti kereta
api atau MRT, jadwal datang dan pergi hanya dengan interval kurang dari 5 menit. Bahkan
pada saat puncak kesibukan (jam berangkat atau pulang kerja), intervalnya lebih
pendek lagi. Untuk angkutan jarak jauh
tersedia kereta api cepat atau “bullet train” yang melaju 300 km/jam, dengan
interval datang dan pergi hanya sekitar
15 menit. Nah kondisi seperti itu menjadikan “mindset” orang sono terhadap moda
transportasi berbeda dengan kita. Mereka berpendapat “ngapain punya mobil”! Lha
wong transportasi umum tersedia dengan jumlah cukup, cepat, aman, nyaman dan
lebih murah. Memiliki mobil pribadi? Wah belinya mahal, merawatnya ribet, bensin mahal, parkir mahal,
nggak ada garasi karena nggak ada lahan, dan seabreg
kerepotan lainnya. Tapi semuanya ada konsekuensinya. Mereka harus berjalan kaki
dari tempat tinggal ke stasiun terdekat, yang jaraknya beberapa ratus meter, 1
km atau bahkan lebih. Dengan dasar
tersebut maka mereka harus berjalan lumayan jauh, sehingga angka rata-rata
mereka dalam jumlah “langkah” menduduki
urutan tertinggi. Kemudian pengaruh dari pilihan transportasi umum dibanding transportasi
pribadi, menjadikan jalan-jalan di sana tidak terlalu crowded. Angkutan massa memang
jauh lebih irit ruang dibanding angkutan pribadi. Misalnya MRT dengan 8 gerbong
berkapasitas total 400 penumpang (bisa
berlipat) dan interval waktu keberangkatan
5 menit. Maka dalam 1 jam bisa
mengangkut hampir 5000 orang, sehingga tidak berlebihan kalau pengguna MTR
(MRT) di Hongkong mencapai lebih dari 3 juta penumpang perhari. Daerah operasi
MRT berikut stasiunnya biasanya di bawah tanah (under ground), yang sangat
mengurangi hiruk pikuknya pergerakan manusia di permukan tanah (on
ground). Bayangkan kalau 5000 orang
tersebut harus diangkut dengan mobil pribadi berkapasitas 4 orang misalnya. Berapa
mobil dan juga ruang yang dibutuhkan oleh mobil-mobil tersebut! Wah … tentu banyak
sekali dan jalan menjadi jubel-riyel! Kondisi jalan yang tidak terlalu crowded
dengan kendaraan, maka akan menyisakan ruang
untuk memanjakan para pejalan kaki (pedestriants) dalam bentuk trotoir yang
nyaman dan aman. Makanya para pejalan kaki di sana sangat merasa nyaman dan ramah
pada para pejalan kaki (pedestriant friendly).
Mereka sudah terbiasa dengan angkutan massa yang penuh sesak (MRT) |
Lain halnya dengan
negeri kita yang menurut saya belum pas dalam tata kelola transportasi. Belum
tersedianya angkutan massa secara cukup, cepat, aman dan nyaman, maka
masyarakat menggantungkan pada angkutan pribadi. Ditambah lagi dengan kemudahan
dalam memperoleh kendaraan pribadi. Dengan
DP 500 ribu rupiah atau bahkan dengan “nyekolahin Skep”, sudah bisa membawa motor baru ke rumah.
Keinginan untuk memiliki mobil juga sama mudahnya dengan motor. Belum lagi
dengan adanya mobil murah, menjadikaan lalu lintas di kota-kota besar menjadi
penuh dan macet. Karena demikian
banyaknya kendaraan pribadi yang boros ruang, menjadikan fasilitas pejalan kaki
menjadi korban. Trotoir sudah beralih fungsi untuk parkir ataupun tempat jualan
pedagang kaki 5. Akhirnya berjalan kaki menjadi sangat tidak nyaman dan
beresiko. Untuk mengurangi
kekhawatiran “disrudug” kendaraan dari
belakang, maka saya biasanya berjalan kaki pada posisi melawan arus. Dengan begitu akan mudah menghindar jika ada
kendaraan yang nyelonong ke arah kita. Dengan alasan itu menjadikan kita sangat
tergantung dengan kendaraan pribadi.
Menyuruh anak untuk membeli garam ke warung dengan jarak 200 meter saja,
mereka malas jalan kaki dan lebih memilih
menggunakan motor.
Jalan kaki merupakan
olah raga yang murah dan pas bagi purnawirawan. Bukan saja latihan fisik yang
didapat, tetapi juga sebagai “refreshing
jiwa” dan pembebas rasa kejenuhan dan rutinitas. Untuk memenuhi target banyak
langkah saat berjalan kaki, kita bisa menghitungnya dengan menggunakan aplikasi
“runtastic pedometer” yang bisa diunduh dari HP.
Monggo dengan
berjalan kaki semoga kita lebih sehat dan nampak bugar, serta sekaligus
memperbaiki agar terhindar dari citra sebagai bangsa yang “termalas” dalam berjalan
kaki ……..
Langganan:
Postingan (Atom)