Fase penerbangan dimulai
dari take off (tinggal landas), dan berakhir dengan landing (mendarat). Jika siklus
hidup bisa diibaratkan seperti fase-fase
dlm penerbangan, maka setiap tahapan umur manusia akan bisa dipetakan keberadaannya. Dari fase penerbangan tersebut,
yang menarik untuk dibahas adalah fase climbing, cruise dan descend.
Saat masih di sekolah
umum dan berlanjut mengikuti pendidikan militer termasuk getul-getulnya meniti
karier di TNI AU, maka bisa dikatakan kita berada pada fase climbing. Climbing
merupakan fase terbang menanjak untuk mencapai ketinggian terbang jelajah, dan
kalau ditransformasikan dalam hidup manusia adalah masa di mana kita berjuang
untuk mewujudkan cita-cita yang diimpikan.
Dalam aerodinamika yang saya tahu ada yang
disebut "absolute ceiling" dan
“service ceiling”. “Absolute ceiling” itu ketinggian di mana pesawat sudah
"mentok" nggak bisa naik lagi, dan pesawat jarang terbang pada
ketinggian ini karena kurang efisien. Terus “service ceiling” adalah ketinggian
terbang di mana pesawat hanya mampu menanjak dengan rate of climb 100 ft/menit. Menurut
“poro winasis” bahwa kemampuan "absolute/service ceiling" itu sudah ditentukan
sejak design awal dari pabrik lewat uji, yaitu faktor daya mesin dan luas
sayap. Daya mesin tinggi menjadikan absolute ceiling tinggi, misalnya
“Concorde” absolute ceiling mencapai 68000 kaki (21 km). Pengalaman saat “ndompleng” Airbus 330-300 dari
Kuala Lumpur ke Busan Korsel, karena banyak turbulensi di atas Laut China
Selatan akhirnya diijinkan untuk menambah ketinggian sampai 41000 kaki. Kata
pilot itu adalah batas kemampuan terbang di mana pesawat tidak mampu lagi
menambah ketinggian. Dan ternyata sesuai spesifikasi data yang saya baca bahwa Airbus A330-300 itu kemampuan "absolute ceiling"
nya 41000 feet (hampir 13 km). Pesawat yang terbang jelajah pada altitude yang
tinggi, memperoleh banyak keuntungan. Antara lain hemat bensin, relatif
bebas cuaca buruk, kerja engine lebih
efisien, true airspeed lebih kencang, dan syukur-syukur dapat "jet stream" yang mendorong pesawat
melaju lebih cepat. Satu hal lagi
keuntungan terbang tinggi yaitu jika terjadi kondisi darurat, maka pilot punya
waktu cukup banyak untuk melakukan tindakan keselamatan. Misalnya mesin
mati, maka ada cukup waktu untuk gliding dan mampu menempuh jarak luncur yang
lebih jauh. Ingat incident Boeing 747-200 flight no 9 British Airways dari
Heathrow London ke Auckland NZ. Pesawat dengan 263 penumpang onboard pada tahun
1982 saat melintas di atas Pelabuhan Ratu, tiba-tiba 4 mesinnya mati gara-gara "keselek nyedot" debu vulkanik Galunggung
yang "njeblug" saat itu. Meski 4 mesin semuanya mati saat cruising
pada 36000 kaki, namun pesawat masih
bisa gliding (meluncur) dan mendarat di Halim P. yang berjarak sekitar 160 km dengan
selamat. Kita berhandai-handai jika engine mati terjadi pada ketinggian
rendah, tentu probabilitas keselamatan tidak sebaik itu. Kemudian
bagaimana mentransformasikan pada kehidupan manusia? Memang menyambungnya agak
“kewuhan”! Tadi sudah disampaikan bahwa kemampuan "absolute/service
ceiling" pesawat sudah ditentukan saat design awal. Lha kalau manusia
selain design awal berupa "talenta", juga masih harus disertai upaya
pemberdayaan diri secara berlanjut. Meningkatkan daya mesin bisa diartikan sebagai
upaya pemberdayaan daya nalar/akal/pikir yang didukung academic skill ataupun
technical skill yang diterima di pendidikan. Kalau memperluas sayap bisa
diartikan sebagai pemberdayaan kemampuan soft skill atau life skill, yang
intinya sebuah ketrampilan untuk membangun interaksi sosial juga loyalitas yang
baik. Dalam menjalani hidup, memilih "absolute/service celing" itu
pilihan! Misalnya seseorang kepingin memilih pada level yang rendahan saja!
Cuma harus siap karena pada ketinggian ini rentan gangguan cuaca buruk, boros
fuel, malah salah-salah bisa juga bisa
menabrak obstacle tinggi atau kemasukan FOD,
dsbnya.
Fase cruising apalagi climbing bagi sebagian besar
purnawirawan, pada dasarnya sudah berakhir dan kini tinggal kenangan. Terus dimanakah kita saat
ini? Mungkin yang paling pas adalah
ibarat pesawat yang berada pada fase descend, alias sudah meninggalkan
ketinggian cruising menuju fase terakhir dalam penerbangan yaitu landing
sebagai destinasi terakhir. Pada setiap fase penerbangan harus dijalani dengan
kehati-hatian dan tetap mengacu pada standard "safety/keselamatan" yang sudah
ditetapkan. Demikian juga dalam hidup kita. Banyak yang mengalami kegagalan
pada setiap fase kehidupan. Meskipun itu
bisa jadi sudah menjadi takdir, tetapi bukankah takdir bisa berubah karena do'a
dan usaha? Terus usaha apa yang harus dilakukan jika merasa sudah berada di
fase descend. Secara manusiawi setiap orang kepingin hidup lebih lama tetapi
tetap sehat dan syukur-syukur masih bisa bermanfaat bagi sesama. Terus
bagaimana menganalogikan keinginan manusia untuk hidup lebih lama tersebut,
dengan pesawat yang berada pada fase descend untuk bertahan terbang lebih lama
dan lama lagi. Kenyataan yang ada bahwa ketinggian terbang akan terus
menurun dan semakin mendekati daratan. Tetapi agar laju turunnya (descent rate) itu secara
perlahan, maka yang terbaik adalah berupaya seoptimal mungkin mengelola glide
angle (sudut luncur) yang serendah mungkin. Dengan kata lain energi potensial
tinggi yang masih dimiliki pesawat karena berada di altitude tinggi, harus dikelola secara optimal dengan
merubahnya secara gradual ke bentuk energi kinetik berupa kecepatan luncur yang
rendah tetapi aman tidak “stall”. Selain itu juga berdoa semoga lalu lintas
penerbangan di bandara tempat destinasi terakhir cukup sibuk/crowded. Dg demikian kita juga
disuruh mengantri dengan holding di udara lebih lama dan lama lagi. Tetapi
harus diingat bahwa landing adalah keniscayaan/kepastian! Tidak mungkin holding
di udara terus menerus karena bahan bakar yang dibawapun terbatas jumlahnya.
Mengelola glide angle untuk mengkonversi energi potensial menjadi energi
kinetik secara gradual untuk
menghasilkan kecepatan yang aman, serta mengharap agar berlama-lama holding di
udara itu "sanepo/perumpamaan". Kalau ditrapkan dalam kehidupan
yang nyata bagaimana? Telah banyak “wedar sabdo” yang disampaikan oleh para
ulama/ahli agama, juga “poro winasis” di FB, WA, Tweeter, dan media sosial
lainnya. Yaitu jalani gaya hidup sehat, ibadah/do'a yang khusyuk, rajin bersilaturohmi,
rajin sedekah, hindari stress dan lain-lain. Tentang silaturohmi bagi para
purnawirawan, wadahnya sudah ada dan
dijamin dari aspek “chemistry” sangat cocok yaitu PPAU karena komunitasnya
sudah saling mengenal sangat lama.
Kehidupan setiap orang memang semuanya akan berakhir, sebagaimana
pesawat yang harus mendarat dan siap proses “phase out” untuk "static
display" di ground selamanya. Harapan akhir setiap fase penerbangan adalah
pesawat bisa mendarat di destinasi yang dituju dengan “smooth”, sebagaimana
do’a dan upaya kita agar perjalanan hidup ini juga berakhir dengan baik atau
“husnul khotimah”. Untuk itu agar tidak vertigo atau disorientasi dalam
menjalani hidup, maka sebaiknya selalu sadar dalam menetapkan posisi “Dimana Kita Saat Ini?”……
ijin share yah kak
BalasHapusjual pengawet makanan