Kamis, 05 November 2015

WISATA "BACKPACKINGAN" 4 HARI KE CHIANG MAI DAN CHIANG RAI (Bagian 4)



Sampai hari ke 3 ini, kebiasaan “joging” di negeri sendiri juga konsisiten saya lakukan di Thailand. Jalanan sepi pada pagi hari dan selagi suhu belum panas, melakukan “joging” terasa begitu nyaman.  Apalagi usai jalan pagi, telah disiapkan makan pagi hasil masakan sendiri.  Makan hasil masakan sendiri menjadi penawar keraguan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan makanan. Selain itu dengan masak sendiri akan jauh lebih hemat, cocok dengan visi “backpackingan” itu sendiri.  Apa sih visi “backpackingan” itu? “Njajah deso milang kori, mbedah negoro nelukke donya kanti bioyo sing prasojo”. Ha…ha…ha…ini karangan saya sendiri, jangan tanya artinya karena saya sendiri juga bingung menjelaskannya! Ya memang harga makan di Thailand apalagi  di wilayah Chiang Mai/Chiang Rai tidak terlalu mahal. Tapi bagaimana kalau kita wisata ke negara yang living cost nya tinggi seperti Jepang, Singapore, atau Australia? Tentu dengan memasak sendiri akan menekan biaya pengeluaran yang cukup signifikan. 

Makan di tangga dengan duduk saling "ungkur-ungkuran" hanya terjadi di wisata "backpackingan"


Acara hari ke tiga akan dimulai dengan mengunjungi perbatasan wilayah 3 negara yaitu Thailand, Myanmar dan Laos  yang lebih dikenal dengan Golden Triangle (segitiga emas). Daerah ini dulunya merupakan produsen dan perdagangan opium dan senjata gelap.  Kebun opium di wilayah perbukitan Doi Tung konon bisa memenuhi 70% kebutuhan dunia.  Tempat ini sangat strategis karena langsung berhubungan dengan daratan tiga negara yang hanya berbatasan dengan sungai. Tetapi sekali lagi saya membayangkan betapa seremnya daerah ini karena perdagangan dua komoditi kharam ini tentu akan mengundang berbagai kejahatan. Namun di sisi lain kita merasa salut kepada pemerintah Thailand yang konon menggunakan strategi bukan “hard power” melainkan “soft power”.  Pemerintah Thailand tidak merusak perkebunan opium mereka, juga tidak mencaci maki profesi penanam opium, dan tindak-tindak kekerasan lainnya.  Mereka hanya melakukan pendekatan persuasif dengan merebut hati dan mengisi perut mereka. Usaha tersebut  secara perlahan tetapi pasti, telah menjadikan tempat ini dan budaya masyarakat sekitar menjadi berubah 180 derajad.   Thailand dan Myanmar dibatasi oleh Ruak River, Myanmar dan Laos demikian juga antara Laos dan Thailand dibatasi oleh sungai besar yang cukup terkenal yaitu Maekhong River. Jadi ada dua pertemuan antara Ruak River yang mengalir ke Maekhong River, dan sekaligus membatasi ke tiga negara tersebut.  Daratan Myanmar terlihat sangat dekat dari wilayah Thailand di  tepian Maekhong, demikian juga wilayah Laos.  Cuma yang agak geli, bangunan menyolok yang pertama kali terlihat di daratan Laos dan Myanmar itu adalah Gedung “Casino”.  Sementara kalau di Thailand ditandai dengan patung besar berwarna keemasan Phra That Doi Pu Khao yang duduk di atas kapal.  Apa ini artinya Laos dan Myanmar memaklumatkan sebagai negara yang melegalkan judi, sedangkan Thailand mensimbolkan sebagai negara yang religeous? Wah logika ini tentu tidak pas, dan semuanya bisa jadi hanya kebetulan saja. 

Sungai Ruak yang mengalir ke sungai Maekhong menjadi batas tiga negara sekaligus
 

 
Patung Phra That Doi Pu Khao Khao di atas kapal

Bangunan Casino di Laos

Bangunan Casino di Myanmar

Ini  "Komunitas Jalan-jalan Yogya" atau Tim SAR ya?

"Selamat Datang" di Don Sao Laos
Londo nya ikut shelfie


Kwartet yang mau manggung di Don Sao Laos
  
Foto di dermaga Don Sao sebelum meninggalkan Laos lengkap dengan "life vest" di badannya

Kegiatan yang kami lakukan di Golden Triangle adalah menelusuri Maekhong ke perbatasan Myanmar terus menyeberang sungai untuk masuk ke wilayah Laos. Maekhong tercatat sebagai sungai terpanjang nomor 12 dunia dan sungai dengan debit air terbesar ke 10 dunia, yang berhulu dari Tibet kemudian melewati beberapa negara seperti China (provinsi Yunan), Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam.  Sungai Maekhong cukub lebar dan air nampak berlimpah dengan gelombang yang lumayan, sehingga perahu motor melaju dengan hidung terangguk-angguk karena melawan arus. Pertama kali tujuan perahu mendekati wilayah Myanmar tempat bangunan Casino yang diceritakan tadi, tetapi memang kami tidak boleh masuk ke wilayah tersebut. Setelah potret sana potret sini, perahu menyeberang ke tepian yang berbeda dan selanjutnya menyelusuri pinggiran sungai yang berdekatan dengan daratan Laos.  Perahu akhirnya merapat di dermaga kecil di Pasar Don Sao wilayah Laos.   Pasar yang memperdagangkan souvenir hasil kerajinan lokal ini berukuran tidak luas, namun cukup banyak turis yang datang untuk membelanjakan uangnya. Rombongan kamipun tak terkecuali, karena berpendapat kapan lagi mendapatkan souvenir berlogo Laos di tempatnya kalau tidak sekarang. Kalau diperhatikan mulai dari daratan, tanaman yang tumbuh serta profil orang-orang Laos, ya tak ada bedanya dengan kita orang Indonesia dan Asean pada umumnya.  Laos secara geografis merupakan negara yang hanya terdiri dari daratan dan tidak punya laut!  Negara yang berpenduduk kurang dari 7 juta ini wilayahnya terkurung oleh daratan.  Sebelah barat laut berbatasan dengan Tiongkok, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Vietnam, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Thailand. Saya teringat dengan sejarah Laos yang terimbas perang Vietnam, sehingga gerilyawan komunis Laos militan yang menamakan diri “Pathet Lao” yang didukung Uni Sovyet saat itu, berhasil memenangkan perang dan merubah sistem pemerintahan monarki menjadi Republik Demokratik Rakyat Laos di tahun 1975. Yah perjalanan pagi sampai siang ini bisa dibilang paling seru, karena melihat Myanmar secara dekat dan masuk menelusup ke pinggiran negara Laos meskipun hanya sebuah pasar yang bernama Don Sao.       

Obyek wisata di kawasaan Golden Triangle yang kami kunjungi selanjutnya yaitu Museum Opium,  yang jaraknya hanya 5 menit dari dermaga penyeberangan. Nampaknya rombongan tidak terlalu interest dengan museum yang menyimpan koleksi tentang opium seperti gambaran kawasan Golden Triangle saat masih menjadi ladang dan perdagangan opium, alat-alat yang digunakan oleh para pecandu, jenis-jenis tanaman opium dan sebagainya.  Memang museum itu tidak hanya sekedar menyimpan benda bersejarah, tetapi juga harus dipadu dengan misi edukatif (pendidikan) dan “amusement” atau hiburan yang membuat pengunjung senang. Lha ini museum yang hanya menyimpan koleksi yang berhubungan dengan narkoba, tentu bagi yang tidak berdekatan dengan dunia seperti ini ya merasa serba asing dan malah merasa “seram”.  Oleh karena itu kami tidak terlalu lama berada di tempat itu.
Tidak terasa perut sudah mulai keroncongan, karena matahari sudah nampak tergelincir dari titik kulminasinya. Kami dibawa oleh Mas John (driver) ke rumah makan yang diklaim berpredikat halal.  Sekitar 15 menit perjalanan sampailah ke tempat yg dituju, dan alhamdulillah nampaknya ini betul-betul halal mulai dari menu sampai dengan prosesnya.  Menunya  mirip dengan makanan Indonesia seperti sayur lodeh, semur patin atau mangut lele, serta modelnya “self service”. Ternyata tempat, suasana, dan kondisi lapar, telah memicu selera sehingga makan siang saat itu bisa ternikmati dengan predikat “memuaskan”.  Kemudian dari karyawan rumah makan tersebut, kami mendapatkan informasi tentang keberadaan masjid terdekat. Karena itu begitu selesai makan siang kami bisa menemukan masjid yang lokasinya harus masuk gang yang tidak terlalu lebar.  Karena status kami adalah musafir, maka  kami memanfaatkan dispensasi yang diberikan Tuhan yaitu bisa menjamak sholat Dhuhur dan Ashar masing-masing 2 raka’at.  Keberadaan masjid di suatu negara yang muslimnya minoritas, itu gampang timbul perasaan yang demikian dekat. Karena itu saat bertemu dengan salah satu jamaah masjid yang berkebangsaan Pakistan, rasanya seperti bertemu saudara dekat.

Berkomunikasi tanpa kata tapi bisa diraba maksudnya : "alhamdulillah aman!"
Makan siang di RM Halal

Masjid di wilayah Chiang Rai


Perjalanan berikutnya adalah kembali ke Chiang Mai, namun dalam perjalanan balik ada 2 obyek wisata lagi yang akan kami kunjungi yaitu Wat Rhong Kun dan Hot Spring Wiang Pa Pao.  Wat Rhong Khun merupakan kuil terbaru di Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan kebanyakan kuil lainnya. Kuil yang berwarna serba putih  ini dibangun oleh seorang artis kelahiran Chiang Rai bernama Chalermchai Kositpipat dari koceknya sendiri yang konon menghabiskan biaya 140 juta Bath. Kuil mulai dibangun pada tahun 1997 dan dibuka untuk umum secara gratis mulai tahun 2009. Untuk memasuki bangunan utama yang disebut “ubosot” harus melewati sebuah jembatan yang disebut “siklus kelahiran kembali” atau “the cycle of rebirth”. “Ubosot” adalah bangunan utama kuil yang merupakan ruang suci untuk berdoa dan juga tempat “pentasbihan”. Oleh karena itu para pengunjung harus melepas alas kaki saat masuk, dan di dalam tidak diperkenankan mengambil gambar. Di sebelah kiri dan kanan jembatan terdapat semacam kolam atau danau buatan yang lumayan luas. Kemudian pada saat kita menyeberang, tepat di sisi kanan dan kiri  jembatan terdapat ratusan replika tangan orang yang menggapai-nggapai, mengekspresikan penderitaan orang-orang yang mendapatkan siksa neraka karena dosa-dosanya. Setelah melewati jembatan para pengunjung sampai pada suatu bangunan yang disebut  “gate of heaven” atau gerbang nirwana. Kalau diamati warna putih cerah (bright) dari “ubosot” serta mayoritas bangunan kuil, berasal dari pantulan pecahan-pecahan kaca yang dilekatkan pada eksteriornya yang dicat serba putih. Sampai-sampai ada yang memberi julukan Ea Rhong Khun sebagai kuil di atas awan. Dari keseluruhan bangunan Wat Rhong Khun yang serba putih cerah, ada sebuah bangunan dengan cat kuning keemasan yaitu toilet. Bangunan warna emas  katanya merupakan representasi dari bodi (badan) yang menggambarkan nafsu dan uang.  Sedangkan bangunan warna putih merupakan representasi dari pikiran atau jiwa yang jauh dari nafsu harta dan kekayaan.
Gempa bumi yang mengguncang Chiang Rai pada tanggal 4 Mei 2014, tidak terkecuali merusakkan beberapa bagian dari kuil ini. Pemilik kuil yaitu Chalermchai Kositpipat merasa frustasi dengan kerusakan yang terjadi, sehingga dia berminat untuk membongkar semua bangunan kuil demi keselamatan. Namun dari hasil surve bahwa kuil tidak mengalami kerusakan besar dan bisa diperbaiki. Nyatanya saat bulan Agustus 2015 kami bisa menyaksikan temple tersebut, meskipun sebagian bangunan tertutup untuk umum karena masih dalam proses perbaikan.


Saking putihnya dapat julukan "kuil di atas awan"
Toilet berwarna "gold"

Foto di depan  bangunan utama White Temple sebelum melangkah ke "cycle of rebirth bridge"

Danau buatan di depannya menambah keanggunan
Wat Rhong Khun


Wat Rhong Khun dari angle yang berbeda

Background  ratusan patung dengan tangan menggapai-nggapai ke atas
 mengekspresikan penderitaan siksa api neraka

Duduk di sini ada rasa khawatir kalau ada turis Indonesia
yang mengira saya sebagai penjaga toilet terus dikasih uang 5 Bath untuk kencleng

Yah kita tinggalkan temple putih yang penuh pesona tersebut, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Chiang Mai.  Pada saat perjalanan balik ke Chiang Mai, kami mampir di sebuah toko “dried food”, ya yang tentu saja menjual buah-buah yang dikeriingkan. Setelah duduk santai sambil ngopi serta membeli sedikit buah kering untuk oleh-oleh, kami kembali melanjutkan perjalanan.  Tidak berapa lama sampailah kami  ke sebuah obyek wisata yaitu “hot spring” yang persis terletak di pinggir jalan raya Chiang Mai-Chiang Rai.  Nama sumber air panas ini adalah Wiang Pa Pao yang ukurannya cukup kecil. Karena sumber “hot spring” hanya dibatasi pagar besi, maka kami bisa berada pada posisi yang sangat dekat bahkan bisa anggota badan ke semburan air. Semburan air panas itu menimbulkan suara keras bergemuruh, serta bau belerang yang sangat menyengat. Karena suhu air cukup panas (98 0C), maka disediakan telor yang bisa dibeli dan dimasak hanya dengan merendamkan di air selama 5 menit. Sambil menunggu masaknya telor, kami beramai-ramai merendamkan kaki ke kolam sebelah pusat semburan yang suhu airnya tidak terlalu tinggi. Dengan berendam kaki, kami bisa relaksasi untuk mengurangi rasa lelah setelah perjalanan seharian. Disamping itu bagi penderita sakit kulit, berendam di air belerang yang hangat menjadi salah satu sarana penyembuhan. 

Hot Spring Wiang Pa Pao lokasinya di pinggir jalan Chiang Mai-Chiang Rai


Relaksasi dengan ngrendem kaki di air hangat dengan harapan kaki panu, kudis, kurap hilang bablas.....!

Hari sudah mulai gelap pada saat kami meninggalkan “hot spring”, dan Mas John driver kami tidak “speeding” lagi.  Bisa jadi dia sudah lelah setelah 3 hari bersama-sama dan melayani kami, atau mungkin merasa bahwa sebentar lagi kita sudah akan masuk kota Chiang Mai.  Akhirnya sampailah kami di Chiang Mai Hotel (CH Hotel) yaitu tempat yang sama pada saat kami menginap di hari pertama sekitar pukul 19.00.  Setelah makan malam, kami beramai-ramai pergi ke Night Bazaar yang letaknya kurang dari 5 menit dengan berjalan kaki dari hotel tempat kami tinggal.  Malam ini adalah yang terakhir kami berada di negeri Gajah Putih, sehingga semua memanfaatkannya untuk menghabiskan waktu dengan kesukaan masing-masing. Sebagian besar berbelanja souvenir sekedar untuk tetangga dan sahabat di tanah air.  Selanjutnya bagaimana kegiatan kami di hari terakhir? Sampai jumpa di tulisan yang ke 5  …….






Jumat, 30 Oktober 2015

WISATA "BACKPACKINGAN" 4 HARI KE CHIANG MAI DAN CHIANG RAI (Bagian 2)


Setelah check in hotel selesai kami segera mengawali kunjungan ke berbagai obyek sesuai dengan itinerary, meskipun di hari pertama ini  tidak bisa penuh karena baru  dimulai menjelang tengah hari. Obyek pertama yang kami kunjungi adalah Bhuping Palace, yang ditempuh melalui jalan menanjak karena letaknya di suatu bukit. Bucking Palace adalah tempat peristirahatan raja pada saat berkunjung ke Thailand Utara, sekaligus sebagai tempat menerima tamu negara. Istana ini dibangun pada tahun 1961 dan berada pada ketinggian 1500 m di atas permukaan air laut,  sehingga memberikan kesejukan udara bagi keluarga kerajaan ataupun para tamu negara yang sedang tinggal. Tempat ini cukup asri dengan taman-taman bunga yang sangat terpelihara. Untuk menikmati keindahan taman yang luas ini, para pengunjung biasanya hanya berjalan kaki.  Kalau ingin bisa meliput area taman lebih luas dengan cara yang nyaman, pengelola taman menyediakan battery car yang bisa digunakan para pemain golf dengan sewa 400 Bath perjam.


Dengan menggunakan golf car seperti ini bisa mengelilingi taman istana  dengan nyaman
Berfoto ria di depan istana Buphing Palace



Kemudian pada saat kembali dari Bhuping Palace kami mampir ke Wat Phratap Doi Suthep yang terletak di bawahnya. Untuk menuju lokasi kuil, pengunjung harus menaiki tangga kepala naga yang jumlahnya 302 tanjakan. Kami yang rata-rata sudah sepuh, tentu ini sangat riskan. Jangan-jangan pulang dari tempat ini penyakit OA di lutut saya jadi kambuh. Oleh karena itu kami menggunakan lift. Dari penampakan fisiknya,  lift ini merupakan hasil rekayasa Thailand sendiri dengan track miring menelusuri punggung bukit Doi Suthep.  Kuil ini dibangun pada abad 14 yang konon menurut legenda,  penentuan lokasi kuil ditentukan oleh seekor gajah putih. Relic atau bentuk yang diyakini sebagai kuil peninggalan kuno diikat di punggung gajah putih, dan selanjutnya gajah dilepas bebas masuk hutan. Ternyata dia menaiki ke gunung Suthep (Doi Suthep) yang saat itu namanya adalah  Doi Aoy Chang (Sugar Elephant Mountain).  Sampai pada suatu lokasi si Gajah Putih berhenti, kemudian melenguh tiga kali selanjutnya menjatuhkan diri dan mati di tempat itu. Lokasi rubuh dan matinya sang gajah dimaknai oleh raja sebagai tempat yang paling tepat untuk pembangunan kuil, yang selanjutnya dinamakan Wat Phratap Doi Suthep yang artinya kuil Phratap di Gunung Suthep. Yah ini sekedar legenda, yang biasanya menyertai keberadaan bangunan-bangunan bersejarah. Tidak terkecuali di Indonesia, bangunan Candi Prambanan kita mengenal tentang legenda Bandung Bondowoso.  Itu semua tidak harus dipercayai, tetapi lebih menambah nilai jual komoditi wisata yang bersangkutan.  Nah "Gajah Putih" yang dilegendakan itu diabadikan dalam bentuk patung yang menjadi bagian dari kuil ini. Pemandangan kuil biasa didominasi dengan warna kuning keemasan khususnya bangunan-bangunan stupa. Dari pelataran kuil ini, kita bisa memandang kota Chiang Mai dari ketinggian 1300 m. Kebetulan bulan Agustus ini masih masa musim hujan di Chiang Mai, sehingga kota Chiang Mai nampak sangat jelas. Pada puncak musim kemarau biasanya bulan April, diceritakan banyak  petani perkebunan yang membakar lahan sehingga udara Chiang Mai menjadi keruh yang mengganggu pemandangan. Wah ternyata masyarakat kita dan Thailand ada kesamaan dalam hobi, yaitu “membakar-bakar” dengan alasan pembukaan lahan dengan alasan biaya murah.  Cuma bedanya kalau negeri kita sampai berdampak sangat luas pada aspek ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Dari pada OA saya kambuh, lebih baik naik lift saja dari pada menaiki dragon stairs yang jumlahnya 302 tratagan



Halaman depan kuil



Bangunan stupa (chedi) berlapis emas
 
Situasi dalam kuil


Patung Gajah Putih yang dilegendakan


Dari plataran kuil bisa melihat pemandangan kota Chiang Mai, namun pada musim kering pemandangan terhalang oleh keruhnya udara karena pembakaran lahan 


Dari Wat Phratap Doi Suthep kami turun gunung dan  menuju Kampaeng dan Borsang tempat kerajinan tenun sutra dan payung. Tidak lama kami berada di tempat ini, karena banyaknya obyek yang harus dikunjungi pada hari pertama. Sebelum ke obyek berikutnya, kami makan siang di rumah makan halal. Namun pada kenyataannya RM ini hanya menyediakan menu halal, dan bukan RM yang halal.  Alasannya pada daftar menu yang berbeda tetap dijual makanan yang diragukan kehalalannya. Tapi apa boleh buat, dalam agama yang harampun bisa menjadi halal kalau kondisi terpaksa. Dari pada di antara kami ada yang maagnya kambuh, masuk angin atau gangguan kesehatan lainnya, ya akhirnya dengan “Bismillah” dan "astaghfirulloh" ini pilihan terakhir. Kita yakini saja bahwa proses masakan yang kami pesan terbebas dari jenis makanan yang diragukan.  Setelah perut terisi, perjalanan kami lanjutkan ke sebuah taman yang tidak jauh dari kota Chiang Mai.  

Refueling alias tambah bahan bakar supaya lebih berenergi lagi
 
Pada tahun tahun 2006 pemerintah kerajaan Thailand menyelenggarakan pameran taman bunga dalam rangka memperingati 60 tahun penobatan Raja Bhumibol Adulyadej, sekaligus merayakan ulang tahun Sang Raja yang ke 80.   Pameran tersebut dianggap sangat sukses karena berhasil menghadirkan pengunjung lebih dari 3 juta orang.  Taman seluas 200 hektar tersebut akhirnya dijadikan pusat studi agrikultur, obyek agro-wisata dan budaya tingkat internasional.  Pada tanggal 23 Januari 2010, Raja memberikan nama “The Royal Park Rajapruek”. Dari sekian keindahan berbagai macam bunga dan tatanan artistiknya, saya sangat tertarik dengan area  situs taman anggrek, khususnya anggrek yang ditanam dalam  rumah tertutup beratap plastik transparan (green house).  Pada saat kami datang pintu dalam kondisi tertutup, dan saya mencari barang kali ada penjaga taman yang bisa membantu kami untuk masuk dan melihatnya. Ternyata setelah kami tepat berada di depan pintu, maka pintu bergeser membuka secara otomatis persis seperti mall-mall di Yogya. Dengan terbukanya pintu maka kami merasakan tiupan udara dingin dari dalam green house yang sangat menyejukkan.


Berfoto ria di depan gate Royal Rajapruek

Berkeliling taman dengan mobil odong-odong


Situasi dalam green house yang ber AC serta blower yang membuat udara sangat sejuk dan nyaman


Pemandangan di dalam green house sangat membuat orang terkagum-kagum dengan bunga anggrek yang diselang-seling dengan bunga2 biasa yang berwarna-warni. Anehnya lagi mengapa di dalam green house  dilengkapi AC dan banyak blower angin? Kelihatannya blower-blower itu sengaja untuk mendistribusikan udara dingin dari AC ke berbagai arah dalam green house ini.  Kami berlama-lama di tempat itu karena selain menikmati pemandangan yang indah, sekaligus juga merasakan sejuknya udara yang sangat kontradiktif dengan udara Chiang Mai yang cukup panas. Oh ya, untuk mengelilingi taman yang sangat luas ini pengelola taman menyediakaan fasilitas mobil odong-odong dengan bayaran 90 Bath termasuk tiket masuk.  Tanpa disadari kami berada di taman tersebut sudah menjelang sore hari. Sebenarnya ada satu obyek lagi yang tidak bisa terkunjungi pada hari itu, yaitu Quen Sirikit Botanical Garden.  Namun karena tempatnya yang cukup jauh, maka lupakan saja Quen Sirikit Botanic Garden! 
Perjalanan hari pertama ini termasuk berat.  Semalam pukul 01.00 sudah bangun untuk keberangkatan ke KLIA2 mengejar flight pagi ke Chiang Mai.  Begitu tiba di Chiang Mai langsung ke hotel untuk check in dan setelah "drop luggage” langsung menuju beberapa obyek wisata.  Biasanya saat bepergian itu rasa lelah tidak dirasa. Malahan masing-masing sering berkomentar, “kalau cuma mau tidur, ya di Yogya saja! Ngapain harus pergi jauh-jauh ke Thailand! Akhirnya setelah makan, semua anggota rombongan pergi jalan-jalan ke Night Bazaar yang tidak jauh dari hotel untuk sekedar mencari souvenir katanya.  Yah …biar saja pada capek, agar malam ini tidur kami bisa pulas untuk memulihkan kebugaran guna melaksanakan perjalanan panjang  besok pagi yang juga cukup berat, yaitu menuju obyek wisata ke wilayah "Chiang Rai". Pingin lanjutan ceritanya? Sampai ketemu di tulisan Wisata "Backpackingan" 4 hari di Thailand Utara bagian 3.