Sampai hari ke 3 ini, kebiasaan “joging” di negeri
sendiri juga konsisiten saya lakukan di Thailand.
Jalanan sepi pada pagi hari dan selagi suhu belum panas, melakukan “joging” terasa
begitu nyaman. Apalagi usai jalan pagi, telah
disiapkan makan pagi hasil masakan sendiri.
Makan hasil masakan sendiri menjadi penawar keraguan terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan makanan. Selain itu dengan masak sendiri akan jauh
lebih hemat, cocok dengan visi “backpackingan” itu sendiri. Apa sih visi “backpackingan” itu? “Njajah
deso milang kori, mbedah negoro nelukke donya kanti bioyo sing prasojo”.
Ha…ha…ha…ini karangan saya sendiri, jangan tanya artinya karena saya sendiri
juga bingung menjelaskannya! Ya memang harga makan di Thailand apalagi di wilayah Chiang Mai/Chiang Rai tidak terlalu
mahal. Tapi bagaimana kalau kita wisata ke negara yang living cost nya tinggi
seperti Jepang, Singapore, atau Australia? Tentu dengan memasak sendiri akan
menekan biaya pengeluaran yang cukup signifikan.
|
Makan di tangga dengan duduk saling "ungkur-ungkuran" hanya terjadi di wisata "backpackingan" |
Acara hari ke tiga akan dimulai dengan mengunjungi
perbatasan wilayah 3 negara yaitu Thailand, Myanmar dan Laos yang lebih dikenal dengan Golden Triangle
(segitiga emas). Daerah ini dulunya merupakan produsen dan perdagangan opium
dan senjata gelap. Kebun opium di
wilayah perbukitan Doi Tung konon bisa memenuhi 70% kebutuhan dunia. Tempat ini sangat strategis karena langsung
berhubungan dengan daratan tiga negara yang hanya berbatasan dengan sungai.
Tetapi sekali lagi saya membayangkan betapa seremnya daerah ini karena
perdagangan dua komoditi kharam ini tentu akan mengundang berbagai kejahatan.
Namun di sisi lain kita merasa salut kepada pemerintah Thailand yang konon
menggunakan strategi bukan “hard power” melainkan “soft
power”. Pemerintah Thailand tidak
merusak perkebunan opium mereka, juga tidak mencaci maki profesi penanam opium,
dan tindak-tindak kekerasan lainnya.
Mereka hanya melakukan pendekatan persuasif dengan merebut hati dan
mengisi perut mereka. Usaha tersebut
secara perlahan tetapi pasti, telah menjadikan tempat ini dan budaya
masyarakat sekitar menjadi berubah 180 derajad.
Thailand dan Myanmar dibatasi
oleh Ruak River, Myanmar dan Laos demikian juga antara Laos dan Thailand
dibatasi oleh sungai besar yang cukup terkenal yaitu Maekhong River. Jadi ada
dua pertemuan antara Ruak River yang mengalir ke Maekhong River, dan sekaligus
membatasi ke tiga negara tersebut.
Daratan Myanmar terlihat sangat dekat dari wilayah Thailand di tepian Maekhong, demikian juga wilayah
Laos. Cuma yang agak geli, bangunan
menyolok yang pertama kali terlihat di daratan Laos dan Myanmar itu adalah
Gedung “Casino”. Sementara kalau di
Thailand ditandai dengan patung besar berwarna keemasan Phra
That Doi Pu Khao yang duduk di atas kapal. Apa ini artinya Laos dan Myanmar
memaklumatkan sebagai negara yang melegalkan judi, sedangkan Thailand mensimbolkan
sebagai negara yang religeous? Wah logika ini tentu tidak pas, dan semuanya
bisa jadi hanya kebetulan saja.
|
Sungai Ruak yang mengalir ke sungai Maekhong menjadi batas tiga negara sekaligus |
| | | |
Patung Phra That Doi Pu Khao Khao di atas kapal |
|
Bangunan Casino di Laos |
|
Bangunan Casino di Myanmar |
|
Ini "Komunitas Jalan-jalan Yogya" atau Tim SAR ya? |
|
"Selamat Datang" di Don Sao Laos |
|
Londo nya ikut shelfie |
|
Kwartet yang mau manggung di Don Sao Laos |
|
Foto di dermaga Don Sao sebelum meninggalkan Laos lengkap dengan "life vest" di badannya |
Kegiatan yang kami lakukan di Golden Triangle
adalah menelusuri Maekhong ke perbatasan Myanmar terus menyeberang sungai untuk
masuk ke wilayah Laos. Maekhong tercatat sebagai sungai terpanjang
nomor 12 dunia dan sungai dengan debit air terbesar ke 10 dunia, yang berhulu
dari Tibet kemudian melewati beberapa negara seperti China (provinsi Yunan),
Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Sungai Maekhong cukub lebar dan air nampak berlimpah
dengan gelombang yang lumayan, sehingga perahu motor melaju dengan hidung terangguk-angguk
karena melawan arus. Pertama kali tujuan perahu mendekati wilayah Myanmar
tempat bangunan Casino yang diceritakan tadi, tetapi memang kami tidak boleh
masuk ke wilayah tersebut. Setelah potret sana potret sini, perahu menyeberang
ke tepian yang berbeda dan selanjutnya menyelusuri pinggiran sungai yang
berdekatan dengan daratan Laos. Perahu
akhirnya merapat di dermaga kecil di Pasar Don Sao wilayah Laos. Pasar yang memperdagangkan souvenir hasil
kerajinan lokal ini berukuran tidak luas, namun cukup banyak turis yang datang
untuk membelanjakan uangnya. Rombongan kamipun tak terkecuali, karena
berpendapat kapan lagi mendapatkan souvenir berlogo Laos di tempatnya kalau
tidak sekarang. Kalau diperhatikan mulai dari daratan, tanaman yang tumbuh
serta profil orang-orang Laos, ya tak ada bedanya dengan kita orang Indonesia
dan Asean pada umumnya. Laos secara
geografis merupakan negara yang hanya terdiri dari daratan dan tidak punya
laut! Negara yang berpenduduk kurang
dari 7 juta ini wilayahnya terkurung oleh daratan. Sebelah barat laut berbatasan dengan
Tiongkok, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Vietnam, sedangkan sebelah
selatan berbatasan dengan Thailand. Saya teringat dengan sejarah Laos yang
terimbas perang Vietnam, sehingga gerilyawan komunis Laos militan yang
menamakan diri “Pathet Lao” yang didukung Uni Sovyet saat itu, berhasil
memenangkan perang dan merubah sistem pemerintahan monarki menjadi Republik
Demokratik Rakyat Laos di tahun 1975. Yah perjalanan pagi sampai siang ini bisa
dibilang paling seru, karena melihat Myanmar secara dekat dan masuk menelusup
ke pinggiran negara Laos meskipun hanya sebuah pasar yang bernama Don Sao.
Obyek wisata di kawasaan Golden Triangle yang
kami kunjungi selanjutnya yaitu Museum Opium, yang jaraknya hanya 5 menit dari dermaga
penyeberangan. Nampaknya rombongan tidak terlalu interest dengan museum yang
menyimpan koleksi tentang opium seperti gambaran kawasan Golden Triangle saat
masih menjadi ladang dan perdagangan opium, alat-alat yang digunakan oleh para
pecandu, jenis-jenis tanaman opium dan sebagainya. Memang museum itu tidak hanya sekedar
menyimpan benda bersejarah, tetapi juga harus dipadu dengan misi edukatif (pendidikan)
dan “amusement” atau hiburan yang membuat pengunjung senang. Lha ini museum yang hanya menyimpan koleksi yang berhubungan dengan narkoba, tentu bagi yang
tidak berdekatan dengan dunia seperti ini ya merasa serba asing dan malah merasa “seram”. Oleh karena itu kami tidak terlalu lama berada
di tempat itu.
Tidak terasa perut sudah mulai keroncongan, karena
matahari sudah nampak tergelincir dari titik kulminasinya. Kami dibawa oleh Mas
John (driver) ke rumah makan yang diklaim berpredikat halal. Sekitar 15 menit perjalanan sampailah ke
tempat yg dituju, dan alhamdulillah nampaknya ini betul-betul halal mulai dari menu
sampai dengan prosesnya. Menunya mirip dengan makanan Indonesia seperti sayur lodeh, semur patin atau mangut lele, serta modelnya “self service”.
Ternyata tempat, suasana, dan kondisi lapar, telah memicu selera sehingga makan
siang saat itu bisa ternikmati dengan predikat “memuaskan”. Kemudian dari karyawan rumah makan tersebut, kami
mendapatkan informasi tentang keberadaan masjid terdekat. Karena itu begitu
selesai makan siang kami bisa menemukan masjid yang lokasinya harus masuk gang
yang tidak terlalu lebar. Karena status
kami adalah musafir, maka kami memanfaatkan
dispensasi yang diberikan Tuhan yaitu bisa menjamak sholat Dhuhur dan Ashar
masing-masing 2 raka’at. Keberadaan
masjid di suatu negara yang muslimnya minoritas, itu gampang timbul perasaan
yang demikian dekat. Karena itu saat bertemu dengan salah satu jamaah masjid
yang berkebangsaan Pakistan, rasanya seperti bertemu saudara dekat.
|
Berkomunikasi tanpa kata tapi bisa diraba maksudnya : "alhamdulillah aman!" |
|
Makan siang di RM Halal |
|
Masjid di wilayah Chiang Rai |
Perjalanan berikutnya adalah kembali ke Chiang Mai,
namun dalam perjalanan balik ada 2 obyek wisata lagi yang akan kami kunjungi
yaitu Wat Rhong Kun dan Hot Spring Wiang Pa Pao. Wat Rhong Khun merupakan kuil terbaru di
Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan kebanyakan kuil lainnya.
Kuil yang berwarna serba putih ini
dibangun oleh seorang artis kelahiran Chiang Rai bernama Chalermchai
Kositpipat dari koceknya sendiri yang konon
menghabiskan biaya 140 juta Bath. Kuil mulai dibangun pada tahun 1997 dan
dibuka untuk umum secara gratis mulai tahun 2009. Untuk memasuki bangunan utama
yang disebut “ubosot” harus melewati sebuah jembatan yang disebut “siklus
kelahiran kembali” atau “the cycle of rebirth”. “Ubosot” adalah bangunan utama
kuil yang merupakan ruang suci untuk berdoa dan juga tempat “pentasbihan”. Oleh
karena itu para pengunjung harus melepas alas kaki saat masuk, dan di dalam
tidak diperkenankan mengambil gambar. Di sebelah kiri dan kanan jembatan
terdapat semacam kolam atau danau buatan yang lumayan luas. Kemudian pada saat kita menyeberang, tepat
di sisi kanan dan kiri jembatan terdapat
ratusan replika tangan orang yang menggapai-nggapai, mengekspresikan penderitaan
orang-orang yang mendapatkan siksa neraka karena dosa-dosanya. Setelah melewati
jembatan para pengunjung sampai pada suatu bangunan yang disebut “gate of heaven” atau gerbang nirwana. Kalau
diamati warna putih cerah (bright) dari “ubosot” serta mayoritas bangunan kuil,
berasal dari pantulan pecahan-pecahan kaca yang dilekatkan pada eksteriornya
yang dicat serba putih. Sampai-sampai ada yang memberi julukan Ea Rhong Khun sebagai kuil di atas awan. Dari keseluruhan bangunan Wat Rhong Khun yang serba putih
cerah, ada sebuah bangunan dengan cat kuning keemasan yaitu toilet. Bangunan
warna emas katanya merupakan representasi
dari bodi (badan) yang menggambarkan nafsu dan uang. Sedangkan bangunan warna putih merupakan
representasi dari pikiran atau jiwa yang jauh dari nafsu harta dan kekayaan.
Gempa bumi yang mengguncang Chiang Rai pada tanggal 4
Mei 2014, tidak terkecuali merusakkan beberapa bagian dari kuil ini. Pemilik
kuil yaitu Chalermchai Kositpipat merasa frustasi dengan kerusakan yang terjadi,
sehingga dia berminat untuk membongkar semua bangunan kuil demi keselamatan.
Namun dari hasil surve bahwa kuil tidak mengalami kerusakan besar dan bisa
diperbaiki. Nyatanya saat bulan Agustus 2015 kami bisa menyaksikan temple
tersebut, meskipun sebagian bangunan tertutup untuk umum karena masih
dalam proses perbaikan.
|
Saking putihnya dapat julukan "kuil di atas awan" |
|
Toilet berwarna "gold" |
|
Foto di depan bangunan utama White Temple sebelum melangkah ke "cycle of rebirth bridge" |
|
Danau buatan di depannya menambah keanggunan
Wat Rhong Khun |
|
Wat Rhong Khun dari angle yang berbeda |
|
Background ratusan patung dengan tangan menggapai-nggapai ke atas
mengekspresikan penderitaan siksa api neraka |
|
Duduk di sini ada rasa khawatir kalau ada turis Indonesia
yang mengira saya sebagai penjaga toilet terus dikasih uang 5 Bath untuk kencleng |
Yah kita tinggalkan temple putih yang penuh pesona tersebut,
untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Chiang Mai. Pada saat perjalanan balik ke Chiang Mai,
kami mampir di sebuah toko “dried food”, ya yang tentu saja menjual buah-buah
yang dikeriingkan. Setelah duduk santai sambil ngopi serta membeli sedikit buah
kering untuk oleh-oleh, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tidak berapa lama sampailah kami ke sebuah obyek wisata yaitu “hot spring”
yang persis terletak di pinggir jalan raya Chiang Mai-Chiang Rai. Nama sumber air panas ini adalah Wiang Pa Pao
yang ukurannya cukup kecil. Karena sumber “hot spring” hanya dibatasi pagar
besi, maka kami bisa berada pada posisi yang sangat dekat bahkan bisa anggota
badan ke semburan air. Semburan air panas itu menimbulkan suara keras
bergemuruh, serta bau belerang yang sangat menyengat. Karena suhu air cukup
panas (98 0C), maka disediakan telor yang bisa dibeli dan dimasak
hanya dengan merendamkan di air selama 5 menit. Sambil menunggu masaknya telor,
kami beramai-ramai merendamkan kaki ke kolam sebelah pusat semburan yang suhu
airnya tidak terlalu tinggi. Dengan berendam kaki, kami bisa relaksasi untuk
mengurangi rasa lelah setelah perjalanan seharian. Disamping itu bagi penderita
sakit kulit, berendam di air belerang yang hangat menjadi salah satu sarana
penyembuhan.
|
Hot Spring Wiang Pa Pao lokasinya di pinggir jalan Chiang Mai-Chiang Rai |
|
Relaksasi dengan ngrendem kaki di air hangat dengan harapan kaki panu, kudis, kurap hilang bablas.....! |
Hari sudah mulai gelap pada saat kami meninggalkan
“hot spring”, dan Mas John driver kami tidak “speeding” lagi. Bisa jadi dia sudah lelah setelah 3 hari
bersama-sama dan melayani kami, atau mungkin merasa bahwa sebentar lagi kita
sudah akan masuk kota Chiang Mai.
Akhirnya sampailah kami di Chiang Mai Hotel (CH Hotel) yaitu tempat yang
sama pada saat kami menginap di hari pertama sekitar pukul 19.00. Setelah makan malam, kami beramai-ramai pergi
ke Night Bazaar yang letaknya kurang dari 5 menit dengan berjalan kaki dari
hotel tempat kami tinggal. Malam ini
adalah yang terakhir kami berada di negeri Gajah Putih, sehingga semua
memanfaatkannya untuk menghabiskan waktu dengan kesukaan masing-masing.
Sebagian besar berbelanja souvenir sekedar untuk tetangga dan sahabat di tanah
air. Selanjutnya bagaimana kegiatan kami
di hari terakhir? Sampai jumpa di tulisan yang ke 5 …….
asik banget yah jalan2 nya
BalasHapusperbedaan tepung kanji dan tapioka