Kamis, 05 November 2015

WISATA "BACKPACKINGAN" 4 HARI KE CHIANG MAI DAN CHIANG RAI (Bagian 4)



Sampai hari ke 3 ini, kebiasaan “joging” di negeri sendiri juga konsisiten saya lakukan di Thailand. Jalanan sepi pada pagi hari dan selagi suhu belum panas, melakukan “joging” terasa begitu nyaman.  Apalagi usai jalan pagi, telah disiapkan makan pagi hasil masakan sendiri.  Makan hasil masakan sendiri menjadi penawar keraguan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan makanan. Selain itu dengan masak sendiri akan jauh lebih hemat, cocok dengan visi “backpackingan” itu sendiri.  Apa sih visi “backpackingan” itu? “Njajah deso milang kori, mbedah negoro nelukke donya kanti bioyo sing prasojo”. Ha…ha…ha…ini karangan saya sendiri, jangan tanya artinya karena saya sendiri juga bingung menjelaskannya! Ya memang harga makan di Thailand apalagi  di wilayah Chiang Mai/Chiang Rai tidak terlalu mahal. Tapi bagaimana kalau kita wisata ke negara yang living cost nya tinggi seperti Jepang, Singapore, atau Australia? Tentu dengan memasak sendiri akan menekan biaya pengeluaran yang cukup signifikan. 

Makan di tangga dengan duduk saling "ungkur-ungkuran" hanya terjadi di wisata "backpackingan"


Acara hari ke tiga akan dimulai dengan mengunjungi perbatasan wilayah 3 negara yaitu Thailand, Myanmar dan Laos  yang lebih dikenal dengan Golden Triangle (segitiga emas). Daerah ini dulunya merupakan produsen dan perdagangan opium dan senjata gelap.  Kebun opium di wilayah perbukitan Doi Tung konon bisa memenuhi 70% kebutuhan dunia.  Tempat ini sangat strategis karena langsung berhubungan dengan daratan tiga negara yang hanya berbatasan dengan sungai. Tetapi sekali lagi saya membayangkan betapa seremnya daerah ini karena perdagangan dua komoditi kharam ini tentu akan mengundang berbagai kejahatan. Namun di sisi lain kita merasa salut kepada pemerintah Thailand yang konon menggunakan strategi bukan “hard power” melainkan “soft power”.  Pemerintah Thailand tidak merusak perkebunan opium mereka, juga tidak mencaci maki profesi penanam opium, dan tindak-tindak kekerasan lainnya.  Mereka hanya melakukan pendekatan persuasif dengan merebut hati dan mengisi perut mereka. Usaha tersebut  secara perlahan tetapi pasti, telah menjadikan tempat ini dan budaya masyarakat sekitar menjadi berubah 180 derajad.   Thailand dan Myanmar dibatasi oleh Ruak River, Myanmar dan Laos demikian juga antara Laos dan Thailand dibatasi oleh sungai besar yang cukup terkenal yaitu Maekhong River. Jadi ada dua pertemuan antara Ruak River yang mengalir ke Maekhong River, dan sekaligus membatasi ke tiga negara tersebut.  Daratan Myanmar terlihat sangat dekat dari wilayah Thailand di  tepian Maekhong, demikian juga wilayah Laos.  Cuma yang agak geli, bangunan menyolok yang pertama kali terlihat di daratan Laos dan Myanmar itu adalah Gedung “Casino”.  Sementara kalau di Thailand ditandai dengan patung besar berwarna keemasan Phra That Doi Pu Khao yang duduk di atas kapal.  Apa ini artinya Laos dan Myanmar memaklumatkan sebagai negara yang melegalkan judi, sedangkan Thailand mensimbolkan sebagai negara yang religeous? Wah logika ini tentu tidak pas, dan semuanya bisa jadi hanya kebetulan saja. 

Sungai Ruak yang mengalir ke sungai Maekhong menjadi batas tiga negara sekaligus
 

 
Patung Phra That Doi Pu Khao Khao di atas kapal

Bangunan Casino di Laos

Bangunan Casino di Myanmar

Ini  "Komunitas Jalan-jalan Yogya" atau Tim SAR ya?

"Selamat Datang" di Don Sao Laos
Londo nya ikut shelfie


Kwartet yang mau manggung di Don Sao Laos
  
Foto di dermaga Don Sao sebelum meninggalkan Laos lengkap dengan "life vest" di badannya

Kegiatan yang kami lakukan di Golden Triangle adalah menelusuri Maekhong ke perbatasan Myanmar terus menyeberang sungai untuk masuk ke wilayah Laos. Maekhong tercatat sebagai sungai terpanjang nomor 12 dunia dan sungai dengan debit air terbesar ke 10 dunia, yang berhulu dari Tibet kemudian melewati beberapa negara seperti China (provinsi Yunan), Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam.  Sungai Maekhong cukub lebar dan air nampak berlimpah dengan gelombang yang lumayan, sehingga perahu motor melaju dengan hidung terangguk-angguk karena melawan arus. Pertama kali tujuan perahu mendekati wilayah Myanmar tempat bangunan Casino yang diceritakan tadi, tetapi memang kami tidak boleh masuk ke wilayah tersebut. Setelah potret sana potret sini, perahu menyeberang ke tepian yang berbeda dan selanjutnya menyelusuri pinggiran sungai yang berdekatan dengan daratan Laos.  Perahu akhirnya merapat di dermaga kecil di Pasar Don Sao wilayah Laos.   Pasar yang memperdagangkan souvenir hasil kerajinan lokal ini berukuran tidak luas, namun cukup banyak turis yang datang untuk membelanjakan uangnya. Rombongan kamipun tak terkecuali, karena berpendapat kapan lagi mendapatkan souvenir berlogo Laos di tempatnya kalau tidak sekarang. Kalau diperhatikan mulai dari daratan, tanaman yang tumbuh serta profil orang-orang Laos, ya tak ada bedanya dengan kita orang Indonesia dan Asean pada umumnya.  Laos secara geografis merupakan negara yang hanya terdiri dari daratan dan tidak punya laut!  Negara yang berpenduduk kurang dari 7 juta ini wilayahnya terkurung oleh daratan.  Sebelah barat laut berbatasan dengan Tiongkok, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Vietnam, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Thailand. Saya teringat dengan sejarah Laos yang terimbas perang Vietnam, sehingga gerilyawan komunis Laos militan yang menamakan diri “Pathet Lao” yang didukung Uni Sovyet saat itu, berhasil memenangkan perang dan merubah sistem pemerintahan monarki menjadi Republik Demokratik Rakyat Laos di tahun 1975. Yah perjalanan pagi sampai siang ini bisa dibilang paling seru, karena melihat Myanmar secara dekat dan masuk menelusup ke pinggiran negara Laos meskipun hanya sebuah pasar yang bernama Don Sao.       

Obyek wisata di kawasaan Golden Triangle yang kami kunjungi selanjutnya yaitu Museum Opium,  yang jaraknya hanya 5 menit dari dermaga penyeberangan. Nampaknya rombongan tidak terlalu interest dengan museum yang menyimpan koleksi tentang opium seperti gambaran kawasan Golden Triangle saat masih menjadi ladang dan perdagangan opium, alat-alat yang digunakan oleh para pecandu, jenis-jenis tanaman opium dan sebagainya.  Memang museum itu tidak hanya sekedar menyimpan benda bersejarah, tetapi juga harus dipadu dengan misi edukatif (pendidikan) dan “amusement” atau hiburan yang membuat pengunjung senang. Lha ini museum yang hanya menyimpan koleksi yang berhubungan dengan narkoba, tentu bagi yang tidak berdekatan dengan dunia seperti ini ya merasa serba asing dan malah merasa “seram”.  Oleh karena itu kami tidak terlalu lama berada di tempat itu.
Tidak terasa perut sudah mulai keroncongan, karena matahari sudah nampak tergelincir dari titik kulminasinya. Kami dibawa oleh Mas John (driver) ke rumah makan yang diklaim berpredikat halal.  Sekitar 15 menit perjalanan sampailah ke tempat yg dituju, dan alhamdulillah nampaknya ini betul-betul halal mulai dari menu sampai dengan prosesnya.  Menunya  mirip dengan makanan Indonesia seperti sayur lodeh, semur patin atau mangut lele, serta modelnya “self service”. Ternyata tempat, suasana, dan kondisi lapar, telah memicu selera sehingga makan siang saat itu bisa ternikmati dengan predikat “memuaskan”.  Kemudian dari karyawan rumah makan tersebut, kami mendapatkan informasi tentang keberadaan masjid terdekat. Karena itu begitu selesai makan siang kami bisa menemukan masjid yang lokasinya harus masuk gang yang tidak terlalu lebar.  Karena status kami adalah musafir, maka  kami memanfaatkan dispensasi yang diberikan Tuhan yaitu bisa menjamak sholat Dhuhur dan Ashar masing-masing 2 raka’at.  Keberadaan masjid di suatu negara yang muslimnya minoritas, itu gampang timbul perasaan yang demikian dekat. Karena itu saat bertemu dengan salah satu jamaah masjid yang berkebangsaan Pakistan, rasanya seperti bertemu saudara dekat.

Berkomunikasi tanpa kata tapi bisa diraba maksudnya : "alhamdulillah aman!"
Makan siang di RM Halal

Masjid di wilayah Chiang Rai


Perjalanan berikutnya adalah kembali ke Chiang Mai, namun dalam perjalanan balik ada 2 obyek wisata lagi yang akan kami kunjungi yaitu Wat Rhong Kun dan Hot Spring Wiang Pa Pao.  Wat Rhong Khun merupakan kuil terbaru di Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan kebanyakan kuil lainnya. Kuil yang berwarna serba putih  ini dibangun oleh seorang artis kelahiran Chiang Rai bernama Chalermchai Kositpipat dari koceknya sendiri yang konon menghabiskan biaya 140 juta Bath. Kuil mulai dibangun pada tahun 1997 dan dibuka untuk umum secara gratis mulai tahun 2009. Untuk memasuki bangunan utama yang disebut “ubosot” harus melewati sebuah jembatan yang disebut “siklus kelahiran kembali” atau “the cycle of rebirth”. “Ubosot” adalah bangunan utama kuil yang merupakan ruang suci untuk berdoa dan juga tempat “pentasbihan”. Oleh karena itu para pengunjung harus melepas alas kaki saat masuk, dan di dalam tidak diperkenankan mengambil gambar. Di sebelah kiri dan kanan jembatan terdapat semacam kolam atau danau buatan yang lumayan luas. Kemudian pada saat kita menyeberang, tepat di sisi kanan dan kiri  jembatan terdapat ratusan replika tangan orang yang menggapai-nggapai, mengekspresikan penderitaan orang-orang yang mendapatkan siksa neraka karena dosa-dosanya. Setelah melewati jembatan para pengunjung sampai pada suatu bangunan yang disebut  “gate of heaven” atau gerbang nirwana. Kalau diamati warna putih cerah (bright) dari “ubosot” serta mayoritas bangunan kuil, berasal dari pantulan pecahan-pecahan kaca yang dilekatkan pada eksteriornya yang dicat serba putih. Sampai-sampai ada yang memberi julukan Ea Rhong Khun sebagai kuil di atas awan. Dari keseluruhan bangunan Wat Rhong Khun yang serba putih cerah, ada sebuah bangunan dengan cat kuning keemasan yaitu toilet. Bangunan warna emas  katanya merupakan representasi dari bodi (badan) yang menggambarkan nafsu dan uang.  Sedangkan bangunan warna putih merupakan representasi dari pikiran atau jiwa yang jauh dari nafsu harta dan kekayaan.
Gempa bumi yang mengguncang Chiang Rai pada tanggal 4 Mei 2014, tidak terkecuali merusakkan beberapa bagian dari kuil ini. Pemilik kuil yaitu Chalermchai Kositpipat merasa frustasi dengan kerusakan yang terjadi, sehingga dia berminat untuk membongkar semua bangunan kuil demi keselamatan. Namun dari hasil surve bahwa kuil tidak mengalami kerusakan besar dan bisa diperbaiki. Nyatanya saat bulan Agustus 2015 kami bisa menyaksikan temple tersebut, meskipun sebagian bangunan tertutup untuk umum karena masih dalam proses perbaikan.


Saking putihnya dapat julukan "kuil di atas awan"
Toilet berwarna "gold"

Foto di depan  bangunan utama White Temple sebelum melangkah ke "cycle of rebirth bridge"

Danau buatan di depannya menambah keanggunan
Wat Rhong Khun


Wat Rhong Khun dari angle yang berbeda

Background  ratusan patung dengan tangan menggapai-nggapai ke atas
 mengekspresikan penderitaan siksa api neraka

Duduk di sini ada rasa khawatir kalau ada turis Indonesia
yang mengira saya sebagai penjaga toilet terus dikasih uang 5 Bath untuk kencleng

Yah kita tinggalkan temple putih yang penuh pesona tersebut, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Chiang Mai.  Pada saat perjalanan balik ke Chiang Mai, kami mampir di sebuah toko “dried food”, ya yang tentu saja menjual buah-buah yang dikeriingkan. Setelah duduk santai sambil ngopi serta membeli sedikit buah kering untuk oleh-oleh, kami kembali melanjutkan perjalanan.  Tidak berapa lama sampailah kami  ke sebuah obyek wisata yaitu “hot spring” yang persis terletak di pinggir jalan raya Chiang Mai-Chiang Rai.  Nama sumber air panas ini adalah Wiang Pa Pao yang ukurannya cukup kecil. Karena sumber “hot spring” hanya dibatasi pagar besi, maka kami bisa berada pada posisi yang sangat dekat bahkan bisa anggota badan ke semburan air. Semburan air panas itu menimbulkan suara keras bergemuruh, serta bau belerang yang sangat menyengat. Karena suhu air cukup panas (98 0C), maka disediakan telor yang bisa dibeli dan dimasak hanya dengan merendamkan di air selama 5 menit. Sambil menunggu masaknya telor, kami beramai-ramai merendamkan kaki ke kolam sebelah pusat semburan yang suhu airnya tidak terlalu tinggi. Dengan berendam kaki, kami bisa relaksasi untuk mengurangi rasa lelah setelah perjalanan seharian. Disamping itu bagi penderita sakit kulit, berendam di air belerang yang hangat menjadi salah satu sarana penyembuhan. 

Hot Spring Wiang Pa Pao lokasinya di pinggir jalan Chiang Mai-Chiang Rai


Relaksasi dengan ngrendem kaki di air hangat dengan harapan kaki panu, kudis, kurap hilang bablas.....!

Hari sudah mulai gelap pada saat kami meninggalkan “hot spring”, dan Mas John driver kami tidak “speeding” lagi.  Bisa jadi dia sudah lelah setelah 3 hari bersama-sama dan melayani kami, atau mungkin merasa bahwa sebentar lagi kita sudah akan masuk kota Chiang Mai.  Akhirnya sampailah kami di Chiang Mai Hotel (CH Hotel) yaitu tempat yang sama pada saat kami menginap di hari pertama sekitar pukul 19.00.  Setelah makan malam, kami beramai-ramai pergi ke Night Bazaar yang letaknya kurang dari 5 menit dengan berjalan kaki dari hotel tempat kami tinggal.  Malam ini adalah yang terakhir kami berada di negeri Gajah Putih, sehingga semua memanfaatkannya untuk menghabiskan waktu dengan kesukaan masing-masing. Sebagian besar berbelanja souvenir sekedar untuk tetangga dan sahabat di tanah air.  Selanjutnya bagaimana kegiatan kami di hari terakhir? Sampai jumpa di tulisan yang ke 5  …….