Ini
adalah kali yang ke tiga saya ke Thailand dan kali yang ke dua perjalanan “backpackingan”. Pertama kali
ke Thailand saat masih aktif di TNI AU pada tahun 1994 dalam acara “officers exchange visit” antara TNI AU dengan RTAF. Pada tahun 2014 kami berenam ke Thailand pada
saat Bangkok digoncang demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Si
Cantik Yingluck Shinawatra. Pada
kesempatan tersebut kami berkunjung ke Bangkok, Pantai Pattaya, Silver Lake di Propinsi
Chonburry serta Supattra Land di Provinsi Rayong. Di Supattra Land kami
meninjau perkebunan buah seperti durian, jambu, mangga, kelengkeng, manggis,
anggur dan sebagainya. Sedangkan di Silver Lake utamanya adalah perkebunan
anggur, disamping ada buah labu, buah naga serta taman bunga yang cukup luas
dan tertata sangat indah. Pada bulan Agustus 2015 kami bersepuluh kembali meninjau
berbagai obyek wisata yang kali ini di
wilayah Thailand Utara yaitu
di provinsi Chiang Mai dan Chiang Rai.
Rombongan kami hampir semuanya pakar tanaman, kecuali saya saja yang awam kecuali hanya sebagai “penikmat” saja. Mereka
adalah dosen pertanian ataupun pengusaha perkebunan khususnya kelengkeng yang
sudah “go national”. Oleh karena itu
wisata kami lebih banyak berfokus pada obyek-obyek yang berhubungan dengan
masalah pertanian dan pertanaman (agriculture and plantation). Namun tulisan akan memuat obyek yang
baik-baik secara umum dan dianggap bernilai lebih.
Kami bersepuluh menamakan diri
“Komunitas Jalan-jalan Yogya”, karena semuanya asli Yogya yang mempunyai hobi
jalan-jalan. Namun “jalan-jalan” yang
kami lakukan sangatlah mandiri, yang
dimulai dari perencanaan, menentukan obyek, menyusun
itinerary (jadwal perjalanan), pengelolaan biaya, dan semuanya berbasis
“backpackers”. Artinya semua dilaksanakan dengan dasar “limited-budget” alias dana terbatas.
Saya pernah menulis di majalah ini tentang “Wisata Backpacker” yang memuat
kiat-kiat agar bisa jalan-jalan dengan biaya murah. Semua komponen wisata mulai
dari transportasi udara, transportasi lokal, tempat tinggal dan makan harus
ditekan seminim mungkin, tetapi tetap pada batas aman, sehat dan nyaman. Perjalanan dengan membawa rombongan
baru kali ke dua kami lakukan, karena
sebelumnya hanya berdua saja dengan isteri.
Tapi dengan bertambahnya usia terasa ada penurunan kepercayaan diri kalau
bepergian jauh, sehingga butuh teman. Dari
kunjungan selama 5 hari efektif (termasuk 1 hari transit di Kualalumpur), ada
14 obyek wisata yang kami tinjau.
Setelah mendarat dan menyelesaikan urusan imigrasi di Bandara Internasional Chiang Mai selesai
serta “drop luggage” di hotel, kami langsung menuju obyek-obyek yang tertulis
di itinerary pada hari ke 1. Ada 5 obyek
yang kami kunjungi, yaitu peristirahatan raja di Bhuping Palace, kuil terbesar
Wat Phratap Doi Suthep, kampung industri sutra dan payung di Borsang dan
Khampaeng, Raja Pruek Park, dan Queen Sirikit Botanical Garden. Namun yang
paling berkesan yaitu kunjungan adalah taman bunga Raja Pruek. Pada tahun tahun
2006 pemerintah kerajaan Thailand menyelenggarakan pameran taman bunga dalam
rangka memperingati 60 tahun penobatan Raja Bhumibol Adulyadej, sekaligus
merayakan ulang tahun Sang Raja yang ke 80.
Pameran tersebut dianggap sangat sukses karena berhasil menghadirkan
pengunjung lebih dari 3 juta orang.
Taman seluas 200 hektar tersebut akhirnya dijadikan pusat studi
agrikultur dan obyek agro-wisata serta budaya tingkat internasional.
Salah sudut tanaman bunga di dalam green-house ber AC
di Royal Raja Pruek
Pada tanggal 23 Januari 2010, Raja memberikan nama
“The Royal Park Rajapruek”. Dari sekian keindahan berbagai macam bunga dan
tatanan artistiknya, saya sangat tertarik dengan area situs taman anggrek, khususnya anggrek yang ditanam
dalam rumah tertutup beratap plastik
transparan (green house). Pada saat kami
datang pintu dalam kondisi tertutup, dan saya mencari barang kali ada penjaga
taman yang bisa membantu kami untuk masuk dan melihatnya. Ternyata setelah
tepat di depan pintu, maka secara otomatis pintu bergeser membuka. Dengan
terbukanya pintu maka kami merasakan tiupan udara dingin dari dalam green house
yang sangat menyejukkan. Pemandangan di dalam green house sangat membuat orang
terkagum-kagum dengan bunga anggrek yang diselang-seling dengan bunga2 yang berwarna-warni. Dalam green house dilengkapi AC dan banyak blower angin, yang
kelihatannya untuk mendistribusikan udara dingin ke seluruh ruangan yang luas. Kami berlama-lama di tempat itu karena selain
memanjakan mata dengan pemandangan yang indah, juga menikmati sejuknya udara
ber AC di saat suhu udara Chiang Mai yang cukup panas.
Pada hari ke dua, kami
pukul 08.00 berangkat menuju ke obyek yang berada di wilayah bagian utara-barat
dekat dengan perbatasan Myanmar. Di sana kami melihat perkebunan jeruk dengan
luas sekitar 400 hektar yaitu Orange Farm Thanathon Orchard. Lama perjalanan sekitar 3 jam dengan minibus
dari Chiang Mai. Dalam perjalanan kami menjumpai tanaman hijau di kiri kanan
jalan yang kami lalui. Yang dominan adalah pohon jati dan buah-buahan terutama
kelengkeng. Akses masuk ke perkebunan
ini langsung dari jalan raya, terus kita masuk ke ruang penjualan produk
mereka. Tiket masuk 90 Bath atau 40 ribu
rupiah termasuk untuk angkutan keliling kebun menggunakan mobil odong-odong
berbentuk kapal (boat car). Orange Farm
Thanathon Orchard sebenarnya ada di 2 lokasi yaitu yang saya kunjungi sekarang
dengan luas 400 hektar dan di tempat lain yang berjarak 60 km seluar 700
hektar.
Untuk mengelilingi
perkebunan yang sangat luas digunakan boat car (mobil odong-odong berbentu
perahu)
Tapi sayang bulan Agustus bukan masa panen, sehingga yang berbuah baru
sebagian itupun masih kecil-kecil. Dalam perjalanan kami diajak untuk berhenti
di beberapa spot yang menghadirkan view yang indah sekali. Perkebunan ini selain menanam banyak varietas
jeruk, ternyata juga menanam buah naga. Hal menarik yang menjadi perhatian kami
adalah bahwa mereka menggunakan cara yang konvensional dalam memelihara kebun
buah yang sangat luas ini. Dalam memenuhi
kebutuhan air, di area perkebunan dibuat beberapa empang yang cukup luas guna
menampung air hujan dan juga menjaga kelembaban udara di sekitar kebun. Kemudian nampak ada jaringan pipa untuk
mendistribusikan air ke seluruh kebun dengan cara dipompa, dan menyembur
melalui nosel-nosel yang nampak tersebar di seluruh kebun. Kunjungan ke kebun ini berakhir di tempat
yang sama dengan saat datang, di mana dijual berbagai macam souvenir dan produk
makanan dari jeruk. Mengingat hari
terasa panas, maka kami minum juice jeruk dari kemasan dalam botol-botol
plastik yang lucu. Segar rasanya meminum jeruk yang dipetik dari kebun dan
langsung diperas dengan mesin pemeras.
Penyiraman kebun dengan
memompakan air secara terjadwal
Setelah merasa puas di tempat ini, kami melanjutkan perjalanan menuju obyek
berupa taman yang namanya “Mae Fah Luang ”. Taman ini terletak di bukit Doi
Tung yang sudah masuk wilayah provinsi Chiang Rai dan dekat dengan perbatasan
Myanmar. Perjalanan yang tadinya datar
kali ini harus menanjak dan berbelok-belok, karena tempat yang kami tuju
terletak di punggung bukit dengan ketinggian sekitar 1500 m dari dasar laut. Mobil van merk Commuter Toyota yang dimuati
11 orang termasuk driver, terasa enteng saja menaiki punggung bukit yang cukup
terjal dan sempit ini. Pemandangan kiri kanan jalan hampir sama seperti
layaknya jalanan perbukitan di Indonesia, yang dipenuhi pepohonan rimbun.
Setelah setengah jam perjalanan, sampailah ke lokasi yang kami tuju. Asal usul
cerita, taman yang terletak di lereng perbukitan ini dulu merupakan kebun opium
yang sangat luas. Saya hanya membayangkan betapa seremnya daerah pegunungan
ini, jika sekelilingnya adalah perkebunan opium yang tidak dilegalkan oleh
dunia. Bahkan konon di daerah ini juga terkenal dengan perdagangan senjata
gelap. Tentu kedua komoditi yang dilarang itu pasti akan mengundang berbagai
kejahatan. Ibu dari Raja Thailand saat itu berhasil merubah perkebunan opium
sekaligus tempat perdagangan barang terlarang tersebut menjadi sebuah kebun bunga
yang indah. Taman “Mae Fah Luang” yang
artinya “ibu putri yang turun dari langit”, diberikan sebagai penghormatan kepada
Ibu Putri. Taman seluas 10 hektar
tersebut telah menjadi obyek wisata dunia yang sangat populer. Tepat di
tengah-tengah taman dibangun patung yang diberi nama “Continuity”. Mungkin
kalau dalam bahasa Indonesia adalah “keberlangsungan” atau dalam bahasa Arab sama
dengan “istiqomah”. Maknanya dengan usaha yang konsisten, terus menerus dan
bersungguh-sungguh, maka kesuksesan akan bisa diraih.
|
Hampirilah Tuhanmu saat engkau lapang, maka
Tuhan akan menghampirimu saat engkau sempit.
Maka dalam keadaan senang rombongan tetap
melaksanakan kewajiban dalam kondisi seadanya
dibawah Patung “Continuity” yang terletak di
tengah2 taman.
|
Acara hari ke tiga ini adalah mengunjungi perbatasan wilayah 3 negara
yaitu Thailand, Myanmar dan Laos yang
lebih dikenal dengan Golden Triangle (segitiga emas). Daerah ini dulunya juga merupakan
produsen dan perdagangan opium dan senjata gelap. Kebun opium di wilayah perbukitan Doi Tung
konon bisa memenuhi 70% kebutuhan dunia.
Perdagangan opium dan senjata gelap sangat terdukung oleh faktor
geografis, mengingat daerah ini langsung berhubungan dengan daratan tiga negara
yang hanya dibatasi sungai. Namun di
sisi lain dunia harus mengakui cara pemerintah Thailand yang konon mengetrapkan
strategi dengan tidak menggunakan “hard power” melainkan “soft power”. Pemerintah Thailand tidak merusak perkebunan
opium mereka, juga tidak mencaci maki profesi penanam opium, dan tindak-tindak
intimidasi atau agitasi serta tindakan kekerasan lainnya. Mereka hanya melakukan pendekatan persuasif
dengan merebut hati dan mengisi perut mereka. Usaha tersebut secara perlahan tetapi pasti, telah menjadikan
tempat dan budaya masyarakat sekitar
menjadi berubah 180 derajad.
Dengan perahu kecil bermotor, anggota rombongan
telah siap di dermaga
untuk menyeberangi Sungai Mae Khong menuju Laos
Thailand dan Myanmar dibatasi oleh Ruak River, Myanmar dan Laos demikian
juga antara Laos dan Thailand dibatasi oleh sungai besar yang cukup terkenal
yaitu Mae Khong River. Jadi ada dua pertemuan antara Ruak River yang mengalir
ke Mae Khong River, dan sekaligus membatasi ke tiga negara tersebut. Daratan Myanmar terlihat sangat dekat dari
wilayah Thailand di tepian Mae Khong,
demikian juga wilayah Laos. Cuma yang
agak geli, bangunan menyolok yang pertama kali terlihat di daratan Laos dan
Myanmar itu adalah Gedung “Casino”.
Sementara kalau di Thailand ditandai dengan patung besar berwarna
keemasan Phra That Doi Pu Khao yang duduk di
atas kapal. Apa ini artinya Laos dan
Myanmar memaklumatkan sebagai negara yang melegalkan judi dan kemaksiatan
lainnya, sedangkan Thailand mensimbolkan sebagai negara yang religeous? Wah
logika ini tentu tidak pas, dan semuanya bisa jadi hanya kebetulan saja. Kami
berangkat dari dermaga kecil di Thailand menelusuri Mae Khong ke wilayah perbatasan
Myanmar untuk melihat dari dekat, selanjutnya menyeberang dan mengikuti arus
sungai untuk masuk ke wilayah kecil di Laos.
Sungai Mae Khong cukub lebar dan air nampak berlimpah dengan gelombang
yang lumayan tinggi, sehingga perahu motor kecil yang kami tumpangi melaju
dengan hidung yang mengangguk-angguk. Perahu akhirnya merapat di dermaga kecil
di Pasar Don Sao wilayah Laos. Pasar
yang memperdagangkan souvenir hasil kerajinan lokal ini berukuran tidak luas,
namun cukup banyak turis yang datang untuk membelanjakan uangnya. Rombongan
kamipun tak terkecuali, karena berpendapat kapan lagi mendapatkan souvenir
berlogo Laos di tempatnya kalau tidak sekarang.
Yah perjalanan pagi sampai siang ini bisa dibilang paling seru, karena
melihat Myanmar secara dekat dan masuk menelusup ke negara Laos meskipun hanya pinggirannya
yaitu sebuah pasar yang bernama Don Sao.
Sungai Ruak dan Mae Khong membagi wilayah Thailand,
Myanmar dan Laos.
Bangunan kanan sungai adalah gedung Casino Laos
Perjalanan berikutnya adalah kembali ke Chiang Mai, namun dalam
perjalanan balik ada 2 obyek wisata yang kami kunjungi salah satunya yaitu Wat Rhong
Kun. Wat Rhong Khun merupakan kuil
terbaru di Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan kebanyakan kuil
yang ada di Thailand. Kuil yang berwarna serba putih ini dibangun oleh seorang artis kelahiran
Chiang Rai bernama Chalermchai Kositpipat dengan uangnya sendiri yang telah menghabiskan biaya
140 juta Bath. Kuil mulai dibangun pada tahun 1997 dan dibuka untuk umum secara
gratis tahun 2009. Untuk memasuki bangunan utama yang disebut “ubosot” harus
melewati sebuah jembatan yang disebut “siklus kelahiran kembali” atau “the
cycle of rebirth”. Di sebelah kiri dan kanan jembatan, terdapat ratusan replika
tangan-tangan yang menggapai-nggapai, menggambarkan bagaimana penderitaan
orang-orang yang mendapatkan siksa neraka karena dosa-dosanya. Setelah melewati
jembatan para pengunjung sampai pada suatu bangunan yang disebut “gate of heaven” atau gerbang nirwana. Dari
keseluruhan bangunan Wat Rhong Khun yang serba putih cerah itu, ada sebuah
bangunan dengan cat kuning keemasan yaitu toilet. Bangunan warna emas katanya merupakan representasi dari bodi
(badan) yang menggambarkan nafsu dan uang.
Sedangkan bangunan warna putih merupakan representasi dari pikiran atau
jiwa yang jauh dari nafsu harta dan kekayaan.
Bangunan utama Wat Rhong
Khun yang seba putih “bright” (kiri) dan toilet warna kuning emas (kanan)
Gempa bumi yang mengguncang Chiang Rai pada tanggal 4 Mei 2014, tidak
terkecuali telah merusakkan beberapa bagian dari kuil. Pemilik kuil yaitu Chalermchai
Kositpipat merasa frustasi dengan kerusakan yang terjadi,
sehingga dia berminat untuk membongkar semua bangunan kuil demi keselamatan.
Namun dari hasil surve bahwa kuil tidak mengalami kerusakan besar dan bisa
diperbaiki. Nyatanya saat bulan Agustus 2015 kami bisa menyaksikan temple
tersebut meskipun sebagian bangunan masih tertutup untuk umum guna keperluan
perbaikan.
Demikianlah catatan sebagian dari perjalanan kami selama 4 hari efektif
di wilayah utara Thailand. Sebuah perjalanan yang dilakukan secara mandiri dan
dengan cara “bacpackingan” oleh orang-orang yang hampir semuanya berusia di
atas 50 tahun.…….