
Dalam
setahun ini saya benar-benar menderita sebuah penyakit.
Penyakit yang tidak mematikan, namun bisa menimbulkan komplikasi yang
berakibat
menurunkan kualitas hidup. Penyakit yang
saya maksud adalah penyakit “malas”. Malas untuk melakukan apa saja,
kecuali
kegiatan yang bersifat rutin karena memang terpaksa untuk melakukannya.
Perilaku “malas” ini juga menyebabkan momen-momen bagus dalam hidup
tidak
terdokumentasikan secara baik. Salah
satu momen yang sebenarnya bagus untuk didokumentasikan dalam hidup
saya,
adalah saat saya dan isteri melakukan perjalanan backpacker ke
Jepang setahun
yang lalu. Ini penting buat saya,
karena dengan bertambahnya usia di tataran 60-an, berpetualang dalam
segala
keterbatasan merupakan pengalaman yang sangat menarik untuk dikenang.
Keterbatasan tersebut paling tidak meliputi
dua aspek yaitu fisik yang sudah masuk “sweet” artinya masuk usia
"sewidakan"
atau "60-an" dan keterbatasan dana. Dengan keterbatasan
tersebut, maka seni untuk
mencapai tujuan merupakan pembelajaran yang sangat menarik. Suatu saat
ketika fisik
sudah tidak mampu melakukan perjalanan jauh, maka pengalaman backpacker
ke
negeri jauh yang terangkum dalam setiap tulisan akan menjadi kenangan
yang super
indah. Pengalaman tersebut seakan hidup lagi melalui ungkapan dalam
tulisan. Untung saja saat saya membuka
memo aplikasi di BB, rekaman singkat tentang perjalanan ke Jepang
tersebut
masih tersimpan meskipun hanya secara garis besar. Saya tertarik pergi
ke
Jepang karena beberapa sebab. Pertama
perjalanan tidak memakan waktu terlalu lama, yaitu hanya sekitar 6 jam
penerbangan dari Kuala Lumpur. Dengan demikian kondisi fisik
yang sudah tua ini masih mampu bertahan dengan durasi perjalanan yang
tidak
terlalu panjang. Alasan kedua karena ada
beberapa pilihan maskapai yang melayani penerbangan ke sana antara
lain AirAsia yang banyak menawarkan program promo. Alasan berikutnya
karena terobsesi oleh image
bahwa Jepang sebagai negara maju dan modern, tetapi
masyarakatnya tetap memegang tradisi dan
tidak kehilangan identitasnya. Disamping
itu masyarakat Jepang juga sangat disiplin dan santun dalam
berperilaku. Dalam memilh waktu kunjunganpun saya
mempertimbangkannya dengan keistimewaan
yang mungkin terjadi di Jepang. Salah
satunya adalah mekarnya bunga sakura, yang konon hanya terjadi sekali
dalam
setahun yaitu antara tanggal 28 Maret sampai dengan 8 April.
Dengan dasar itulah maka petualangan ke negeri Sakura ini melalui
perencanaan yang serius mulai dari pemesanan tiket, perencanaan ititenary,
pemesanan
hostel, dokumen perjalanan (visa turis), transportasi, asuransi
perjalanan,
termasuk perbekalan berupa pakaian, makanan, dan yang sangat penting
uang. Karena
pertimbangan usia, maka saya selalu menggunakan asuransi pada setiap
bepergian
ke luar negeri. Mengenai tempat
tinggal, sangatlah mahal jika harus
tinggal di hotel. Tinggal di hostel jauh
lebih murah, disamping dari segi lokasi, tingkat kenyamanan dan
kebersihan dirasa cukup
memadai bagi wisatawan backpackers. Kemudian
tentang visa sudah kami urus ke kedutaan Jepang 2 bulan sebelum hari
keberangkatan. Seperti diketahui bahwa
tranportasi di Jepang cukup mahal. Bayangkan harga tiket naik kereta api
supercepat Shinkansen dari Osaka ke Tokyo sekali jalan paling tidak 1,5
juta
rupiah. Oleh karena itu biaya transportasi harus ditekan dengan cara
berlangganan. Untuk transportasi di
Jepang saya menggunakan Japan Railways Pass (JR Pass) yang hanya bisa
dibeli di
luar Jepang dan untuk di Indonesia harganya 2,9 juta rupiah. Dengan JR
Pass kita bisa menggunakan kereta
api yang dioperasikan oleh JR termasuk Shinkansen, kecuali Shinkansen
Supernozomi. Karena penerbangan AK 1393 AirAsia dari Surabaya
dengan destinasi Osaka dijadwalkan waktu pemberangkatannya pukul 08.50,
maka
untuk tidak ambil resiko terlambat saya berangkat dari tempat tinggal
saya di Yogyakarta sehari sebelumnya dengan
pesawat Sriwijaya Air. Selanjutnya
dengan pertimbangan penghematan sekaligus kedekatan lokasi, maka
jauh-jauh hari
saya pesan kamar di “Mess Aircrew” Lanud Juanda. Yah sekaligus
bernostalgia dengan saat-saat
dulu ketika masih aktif (maklum pensiunan). Selain pengobat rindu
suasana saat masih aktif
di kedinasan TNI AU, ternyata saya juga diberikan “free” alias
tidak
membayar. Pada saat saya akan check out,
petugas mess menyampaikan bahwa saya diberi “free” atas perintah
pimpinan. Ada perasaan “trenyuh” dalam hati, karena
meski saya sudah pensiun 8 tahun yang lalu tetapi masih ada yang
memperhatikan
kami yang terbukti di “Mess Aircrew “ ini saya dilayani dengan baik dan
diberi
gratis lagi. Penerbangan pagi hari di
Lanud Juanda cukup ramai, termasuk penerbangan internasional. Setelah check
in kami langsung menuju ke ruang
tunggu yang sudah ditentukan. Pesawat
AirAsia AK 1393 dijadwalkan tinggal
landas pada pukul 0850 menuju Kualalumpur,
namun pesawat baru tiba di Juanda pada pukul 08.50 yang bertepatan
dengan waktu keberangkatan. Guna menghindari keterlambatan, maka kami
diperintahkan boarding bersamaan waktu dengan para penumpang yang
turun,
sehingga kami saling berpapasan di garbarata.
Wah ini kreatif juga, dan jujur ini pengalaman pertama baru buat saya
yaitu pelaksanaan embarkasi bersamaan dengan debarkasi. Pada pukul
09.20 pesawat Airbus 320
tinggal landas dari Surabaya menuju Kualalumpur, dan mendarat di LCCT (Low
Cost
Carrier Terminal) Kualalumpur pada pukul 12.34 (waktu lokal). Perlu
diketahui LCCT adalah terminalnya
penerbangan murah AirAsia, yang berdekatan dengan bandara internasional
Kualalumpur (Kualalumpur International Air Port). Turun dari
pesawat kami menelusuri koridor
LCCT dan belum separuh jalan dari tempat parkir pesawat ke terminal
ketibaan
(arrival terminal), bagi penerbangan
lanjutan dibelokkan ke ruang tunggu
transit. Pada pukul 14.10 pesawat Airbus
330-200 tinggal landas dari bandara internasional Kualalumpur menuju
Osaka, dan
setelah menempuh waktu penerbangan sekitar 6 jam, pesawat mendarat di Kansai
Airport
dengan selamat pada pukul 21.10.
Sebenarnya saya ingin jadwal penerbangan siang hari, karena saya ingin
melihat seperti apa bandara yang dibangun di atas pulau buatan (manmade
island). Pulau ini tadinya berupa kawasan laut di Teluk
Osaka yang berhasil ditimbun dan dibuat bandara dengan 2 landasan pacu
dan dua
terminal. Landasan pacu yang dibangun masing-masing
dengan ukuran panjang 3500 m dan 4000 m, yang menampung 107,791
penumpang dan
13,857,000 penerbangan (data 2011). Dua terminal yang dibangun
berlantai empat, tercatat sebagai terminal terpanjang di dunia. Atap
terminal berbentuk
seperti irisan sayap (airfoil) yang menjamin sirkulasi udara
ruangan yang
membuat nyaman. Kansai International Airport dihubungkan dengan
jembatan
bernama Sky Gate sepanjang 5 km, yang sekaligus sebagai jalan
raya dan rel kereta api menuju daratan Osaka.
Berhubung kedatangan kami pada malam hari, maka hanya bisa melihat
gemerlapannya lampu bandara.
 |
Kansai
International Airport |
Begitu
kami
turun, langsung dibawa dengan kereta api listrik menuju ke terminal
kedatangan. Pada saat kami sedang proses
imigrasi di terminal kedatangan, sudah terasa udara dingin karena
nampaknya tidak ada fasilitas pemanas di ruangan ini. Begitu kami ke
luar gedung terminal dan
berada dalam ruang terbuka meskipun masih terlindungi bangunan, terpaan
angin
dengan suhu udara 5 derajat membuat rasa dingin menusuk sampai tulang
belulang. Oleh karena itulah kami bergegas menuju ke
stasiun kereta Nankai Railway setelah membeli tiket melalui “
vending
machine”. Wah inilah tipikal
transportasi di negara-negara maju.
Begitu turun dari pesawat, maka hanya
tinggal mendorong
luggage kita sudah bisa berganti moda
transportasi darat
untuk menuju ke tempat lain yang
dikehendaki. Sistem transportasi ini
juga sudah ditiru oleh beberapa kota di Indonesia, misalnya di Bandara
Adisutjipto. Misalnya begitu turun dari pesawat langsung bisa
melanjutkan perjalanan dengan kereta api atau bus. Bedanya kalau
frekwensi kedatangan kereta api
dan bus di Jepang jauh lebih tinggi, lebih aman dan lebih nyaman
dibanding
dengan transportasi di Indonesia.
 |
Suasana dalam
kereta api |
Perjalanan
dari Kansai International Airport ke Shin-Imamiya ditempuh
dalam waktu 1 jam dengan menggunakan Nankai Railway dengan harga tiket
1030 yen. Tepat pada pukul 23.00 kami sampai di Shin Imamiya.
Pengalaman menarik terjadi saat kami
kebingungan untuk menuju ke Hostel Mikado. Meskipun cara menuju Hostel
Mikado
sudah cukup jelas dengan disertai peta situasi, namun gara-gara ke luar
exit
yang berbeda dengan petunjuk yang diberikan oleh Hostel Mikado, maka
akhirnya
bingung juga. Saya berusaha bertanya
kepada beberapa orang, namun karena kesulitan bahasa hasilnya
tidak
memberikan pencerahan sama sekali. Nah
dalam perjalanan kami bertemu dengan orang yang berwajah serem bak
preman sambil
kedua tangannya menyangga beban. Karena
waktu beranjak tengah malam dan hanya satu-satunya orang yang kami
temui,
akhirnya kamipun berani bertanya kepadanya.
Dengan memadukan antara bicara dan isyarat gerakan tubuh dan matanya,
saya
menerjemahkan kira-kira jawabannya begini.
“Tunggu di sini sebentar,
saya mau
masukin barang-barang bawaan ini setelah itu saya segera kembali”.
 |
Stasiun Kansai
Airport |
Wah ini kecerdasan tersendiri untuk
menangkap bahasa isyarat. Ternyata betul
juga, tidak sampai 2 menit orang tadi ke luar menemui saya. Dia
langsung melambaikan tangan ke arah kami
sambil berbicara, yang kira-kira maksudnya “ikutin saya!” Dengan
langkahnya yang panjang dan cepat, kami
terutama isteri tertinggal cukup jauh.
Apalagi saat dia berada dengan jarak begitu jauh di depan dan kami tidak
bisa mengejarnya karena terhalang lampu
pedestrian yang menyala
merah. Makanya saya bertepuk tangan dengan harapan
mudah-mudahan dia tahu apa yang saya maksudkan.
Ternyata dia membalikkan badan terus berhenti, dan dari
penerangan jalan saya melihat dia tersenyum. Perjalanan antara stasiun
Shin Imamiya ke
Hostel Mikdao hanya memakan waktu sekitar 5 menit. Setelah sampai di
Hostel Mikado, orang
berwajah preman tersebut menyerahkan kami berdua ke resepsionis.
Sebelum dia pergi kami berdua mengucapkaan
banyak terima kasih atas budi baiknya, tentu dengan bahasa yang tidak
dia
pahami. Setelah dia pergi, saya berbisik
dalam hati. Kalau di Jakarta atau di
kota lain di Indonesia ketemu orang
berwajah preman seperti dia apalagi di malam hari, lebih baik menghindar
dari
pada kemungkinan harus menanggung resiko
di belakang. Di Jepang justru
kami lebih berani, karena sebelum perjalanan ke Negeri Sakura ini saya
telah
membaca banyak tentang perangai masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang
sangat ramah, suka
menolong, tertib, disiplin, serta mempunyai harga diri tinggi. Di
Jepang tidak mengenal tips atau ongkos
untuk jasa tertentu. Karena itu saya juga tidak memberikan uang tip
untuk orang
yang mengantar kami tadi. Setelah kami menunjukkan
hard copy
bukti
booking ke resepsionis hostel, maka
kami langsung dapat kamar dengan harga yang lebih murah dari harga yang
tertera
dalam bukti booking. Ternyata murahnya rate hostel karena memang kondisi
kamarnya cukup jelek. Yah akhirnya kami
menerima saja kamar ini karena hostel yang berlantai 8 ini dikatakan
penuh. Apalagi saat itu sudah hampir
pukul 1 yang berarti 3 jam lagi sudah masuk waktu Subuh, meskipun saya
tidak
tahu waktu-waktu sholat di Jepang. Waktu
sholat di Osaka menurut perkiraan saya akan lebih cepat dari pada di
Wilayah
Indonesia Barat, karena lokasi tempat ini berada di garis bujur lebih
besar
dari Yogyakarta. Oleh karena itu kamipun
tidak ingin segera tidur, tetapi lebih baik mempersiapkan untuk program
perjalanan besok. Sesuai yang kami
rencanakan, kami akan menuju ke Tokyo besok pagi. Tentu tidak semua
luggage
kami bawa,
melainkan hanya secukupnya yang bisa dimasukkan ke dalam dua tas
punggung yang
masing-masing akan dibawa isteri dan
saya. Selebihnya kami masukkan dalam 2 koper besar dan kami tinggal di
hostel Mikado,
karena setelah 2 hari di Tokyo kami akan kembali ke Osaka dan menginap
di hostel
yang sama. Disamping itu battery untuk
lapotop dan HP betul-betul kosong semua, sehingga harus diisi. Memang
ada pertanyaan apa repotnya mengisi
battery laptop ataupun HP? Kalau di
Indonesia mungkin sangat sederhana, namun di Jepang akan bermasalah jika
tidak dipersiapkan
sebelumnya. Stop kontak di Jepang kakinya
berbentuk pipih yang tentu berbeda dengan di negeri kita yang kakinya
berbentuk
bundar. Oleh karena itu saya sudah
mempersiapkan dari Indonesia dengan membawa kabel yang siap diikatkan
dengan
stop kontak lampu hotel. Coba bayangkan
dengan badan capek, mata ngantuk, masih ditambah lagi laptop dan HP
tidak bisa
digunakan lantaran
battery weak dan kita tidak bisa mengisinya
lantaran stop kontak
tidak cocok. Wah pasti pusing tujuh
keliling! Malam itu sebagai malam
pertama di Jepang saya lewati tanpa bisa tidur. Dalam hati besok akan
kami tebus rasa kantuk malam ini dengan tidur di
sepanjang perjalanan, mengingat perjalanan menuju ke Tokyo memerlukan
waktu sekitar 150 menit
dengan kereta api supercepat Shinkansen. Bagaimana perjalanan kami
selanjutnya, ikuti Perjalanan
Backpacker ke Negeri Sakura Bagian 2. Sampai ketemu lagi ...... !!!!!
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusWah maaf Mbak/Ibu Meutia Halida Khairani, komentarnya terhapus karena salah sentuh. Saya ucapkan terima kasih atas komentarnya, dan selamat jalan ke Jepang menikmati mekarnya bunga Sakura bulan Maret ini. Setelah sampai di sana semoga yang tersisa tinggal 2 perasaan, yaitu "senang" dan "senang sekali". Have a good trip .......!
Hapus