Jumat, 29 Januari 2016

WISATA “BACKPACKINGAN” KE THAILAND



Ini adalah kali yang ke tiga saya ke Thailand dan kali yang ke dua perjalanan “backpackingan”. Pertama kali ke Thailand saat masih aktif di TNI AU pada tahun 1994 dalam acara “officers exchange visit” antara TNI AU dengan RTAF. Pada tahun 2014  kami berenam ke Thailand pada saat Bangkok digoncang demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Si Cantik Yingluck Shinawatra.  Pada kesempatan tersebut kami berkunjung ke Bangkok, Pantai Pattaya, Silver Lake di Propinsi Chonburry serta  Supattra Land di Provinsi Rayong. Di Supattra Land kami meninjau perkebunan buah seperti durian, jambu, mangga, kelengkeng, manggis, anggur dan sebagainya. Sedangkan di Silver Lake utamanya adalah perkebunan anggur, disamping ada buah labu, buah naga serta taman bunga yang cukup luas dan tertata sangat indah. Pada bulan Agustus 2015 kami bersepuluh kembali meninjau berbagai obyek wisata yang kali ini di wilayah Thailand Utara  yaitu di provinsi Chiang Mai dan Chiang Rai. Rombongan kami hampir semuanya pakar tanaman, kecuali saya saja yang awam kecuali hanya sebagai “penikmat” saja. Mereka adalah dosen pertanian ataupun pengusaha perkebunan khususnya kelengkeng yang sudah “go national”. Oleh karena itu wisata kami lebih banyak berfokus pada obyek-obyek yang berhubungan dengan masalah pertanian dan pertanaman (agriculture and plantation).  Namun tulisan akan memuat obyek yang baik-baik secara umum dan dianggap bernilai lebih.
 Kami bersepuluh menamakan diri “Komunitas Jalan-jalan Yogya”, karena semuanya asli Yogya yang mempunyai hobi jalan-jalan.  Namun “jalan-jalan” yang kami lakukan sangatlah mandiri, yang dimulai dari perencanaan, menentukan obyek, menyusun itinerary (jadwal perjalanan), pengelolaan biaya, dan semuanya berbasis “backpackers”. Artinya semua dilaksanakan dengan dasar “limited-budget” alias dana terbatas. Saya pernah menulis di majalah ini tentang “Wisata Backpacker” yang memuat kiat-kiat agar bisa jalan-jalan dengan biaya murah. Semua komponen wisata mulai dari transportasi udara, transportasi lokal, tempat tinggal dan makan harus ditekan seminim mungkin, tetapi tetap pada batas aman, sehat dan nyaman. Perjalanan dengan membawa rombongan baru kali ke dua kami lakukan, karena sebelumnya hanya berdua saja dengan isteri. Tapi dengan bertambahnya usia terasa ada penurunan kepercayaan diri kalau bepergian jauh, sehingga butuh teman. Dari kunjungan selama 5 hari efektif (termasuk 1 hari transit di Kualalumpur), ada 14 obyek wisata yang kami tinjau.  Setelah mendarat dan menyelesaikan urusan imigrasi  di Bandara Internasional Chiang Mai selesai serta “drop luggage” di hotel, kami langsung menuju obyek-obyek yang tertulis di itinerary pada hari ke 1.  Ada 5 obyek yang kami kunjungi, yaitu peristirahatan raja di Bhuping Palace, kuil terbesar Wat Phratap Doi Suthep, kampung industri sutra dan payung di Borsang dan Khampaeng, Raja Pruek Park, dan Queen Sirikit Botanical Garden. Namun yang paling berkesan yaitu kunjungan adalah taman bunga Raja Pruek. Pada tahun tahun 2006 pemerintah kerajaan Thailand menyelenggarakan pameran taman bunga dalam rangka memperingati 60 tahun penobatan Raja Bhumibol Adulyadej, sekaligus merayakan ulang tahun Sang Raja yang ke 80.   Pameran tersebut dianggap sangat sukses karena berhasil menghadirkan pengunjung lebih dari 3 juta orang.  Taman seluas 200 hektar tersebut akhirnya dijadikan pusat studi agrikultur dan obyek agro-wisata serta budaya tingkat internasional.

Salah sudut tanaman bunga di dalam green-house ber AC di Royal Raja Pruek

Pada tanggal 23 Januari 2010, Raja memberikan nama “The Royal Park Rajapruek”. Dari sekian keindahan berbagai macam bunga dan tatanan artistiknya, saya sangat tertarik dengan area  situs taman anggrek, khususnya anggrek yang ditanam dalam  rumah tertutup beratap plastik transparan (green house).  Pada saat kami datang pintu dalam kondisi tertutup, dan saya mencari barang kali ada penjaga taman yang bisa membantu kami untuk masuk dan melihatnya. Ternyata setelah tepat di depan pintu, maka secara otomatis pintu bergeser membuka. Dengan terbukanya pintu maka kami merasakan tiupan udara dingin dari dalam green house yang sangat menyejukkan. Pemandangan di dalam green house sangat membuat orang terkagum-kagum dengan bunga anggrek yang diselang-seling dengan bunga2  yang berwarna-warni. Dalam green house  dilengkapi AC dan banyak blower angin, yang kelihatannya untuk mendistribusikan udara dingin ke seluruh ruangan yang luas.  Kami berlama-lama di tempat itu karena selain memanjakan mata dengan pemandangan yang indah, juga menikmati sejuknya udara ber AC di saat suhu udara Chiang Mai yang cukup panas.
            Pada hari ke dua, kami pukul 08.00 berangkat menuju ke obyek yang berada di wilayah bagian utara-barat dekat dengan perbatasan Myanmar. Di sana kami melihat perkebunan jeruk dengan luas sekitar 400 hektar yaitu Orange Farm Thanathon Orchard.  Lama perjalanan sekitar 3 jam dengan minibus dari Chiang Mai. Dalam perjalanan kami menjumpai tanaman hijau di kiri kanan jalan yang kami lalui. Yang dominan adalah pohon jati dan buah-buahan terutama kelengkeng.  Akses masuk ke perkebunan ini langsung dari jalan raya, terus kita masuk ke ruang penjualan produk mereka.  Tiket masuk 90 Bath atau 40 ribu rupiah termasuk untuk angkutan keliling kebun menggunakan mobil odong-odong berbentuk kapal (boat car).  Orange Farm Thanathon Orchard sebenarnya ada di 2 lokasi yaitu yang saya kunjungi sekarang dengan luas 400 hektar dan di tempat lain yang berjarak 60 km seluar 700 hektar.  

Untuk mengelilingi perkebunan yang sangat luas digunakan boat car (mobil odong-odong berbentu perahu)

Tapi sayang bulan Agustus bukan masa panen, sehingga yang berbuah baru sebagian itupun masih kecil-kecil. Dalam perjalanan kami diajak untuk berhenti di beberapa spot yang menghadirkan view yang indah sekali.  Perkebunan ini selain menanam banyak varietas jeruk, ternyata juga menanam buah naga. Hal menarik yang menjadi perhatian kami adalah bahwa mereka menggunakan cara yang konvensional dalam memelihara kebun buah yang sangat luas ini.  Dalam memenuhi kebutuhan air, di area perkebunan dibuat beberapa empang yang cukup luas guna menampung air hujan dan juga menjaga kelembaban udara di sekitar kebun.  Kemudian nampak ada jaringan pipa untuk mendistribusikan air ke seluruh kebun dengan cara dipompa, dan menyembur melalui nosel-nosel yang nampak tersebar di seluruh kebun.  Kunjungan ke kebun ini berakhir di tempat yang sama dengan saat datang, di mana dijual berbagai macam souvenir dan produk makanan dari jeruk.  Mengingat hari terasa panas, maka kami minum juice jeruk dari kemasan dalam botol-botol plastik yang lucu. Segar rasanya meminum jeruk yang dipetik dari kebun dan langsung diperas dengan mesin pemeras.

 Penyiraman kebun dengan memompakan air secara terjadwal

Setelah merasa puas di tempat ini,  kami melanjutkan perjalanan menuju obyek berupa taman yang namanya “Mae Fah Luang ”. Taman ini terletak di bukit Doi Tung yang sudah masuk wilayah provinsi Chiang Rai dan dekat dengan perbatasan Myanmar.  Perjalanan yang tadinya datar kali ini harus menanjak dan berbelok-belok, karena tempat yang kami tuju terletak di punggung bukit dengan ketinggian sekitar 1500 m dari dasar laut.  Mobil van merk Commuter Toyota yang dimuati 11 orang termasuk driver, terasa enteng saja menaiki punggung bukit yang cukup terjal dan sempit ini. Pemandangan kiri kanan jalan hampir sama seperti layaknya jalanan perbukitan di Indonesia, yang dipenuhi pepohonan rimbun. Setelah setengah jam perjalanan, sampailah ke lokasi yang kami tuju. Asal usul cerita, taman yang terletak di lereng perbukitan ini dulu merupakan kebun opium yang sangat luas. Saya hanya membayangkan betapa seremnya daerah pegunungan ini, jika sekelilingnya adalah perkebunan opium yang tidak dilegalkan oleh dunia. Bahkan konon di daerah ini juga terkenal dengan perdagangan senjata gelap. Tentu kedua komoditi yang dilarang itu pasti akan mengundang berbagai kejahatan. Ibu dari Raja Thailand saat itu berhasil merubah perkebunan opium sekaligus tempat perdagangan barang terlarang tersebut menjadi sebuah kebun bunga yang indah.  Taman “Mae Fah Luang” yang artinya “ibu putri yang turun dari langit”, diberikan sebagai penghormatan kepada Ibu Putri.  Taman seluas 10 hektar tersebut telah menjadi obyek wisata dunia yang sangat populer. Tepat di tengah-tengah taman dibangun patung yang diberi nama “Continuity”. Mungkin kalau dalam bahasa Indonesia adalah “keberlangsungan” atau dalam bahasa Arab sama dengan “istiqomah”. Maknanya dengan usaha yang konsisten, terus menerus dan bersungguh-sungguh, maka kesuksesan akan bisa diraih.  

Hampirilah Tuhanmu saat engkau lapang, maka Tuhan akan menghampirimu saat engkau sempit.
Maka dalam keadaan senang rombongan tetap melaksanakan kewajiban dalam kondisi seadanya
dibawah Patung “Continuity” yang terletak di tengah2 taman.
Acara hari ke tiga ini adalah mengunjungi perbatasan wilayah 3 negara yaitu Thailand, Myanmar dan Laos  yang lebih dikenal dengan Golden Triangle (segitiga emas). Daerah ini dulunya juga merupakan produsen dan perdagangan opium dan senjata gelap.  Kebun opium di wilayah perbukitan Doi Tung konon bisa memenuhi 70% kebutuhan dunia.  Perdagangan opium dan senjata gelap sangat terdukung oleh faktor geografis, mengingat daerah ini langsung berhubungan dengan daratan tiga negara yang hanya dibatasi sungai.  Namun di sisi lain dunia harus mengakui cara pemerintah Thailand yang konon mengetrapkan strategi dengan tidak menggunakan “hard power” melainkan “soft power”.  Pemerintah Thailand tidak merusak perkebunan opium mereka, juga tidak mencaci maki profesi penanam opium, dan tindak-tindak intimidasi atau agitasi serta tindakan kekerasan lainnya.  Mereka hanya melakukan pendekatan persuasif dengan merebut hati dan mengisi perut mereka. Usaha tersebut  secara perlahan tetapi pasti, telah menjadikan tempat  dan budaya masyarakat sekitar menjadi berubah 180 derajad. 

 Dengan perahu kecil bermotor, anggota rombongan telah siap di dermaga
untuk menyeberangi Sungai Mae Khong menuju Laos

Thailand dan Myanmar dibatasi oleh Ruak River, Myanmar dan Laos demikian juga antara Laos dan Thailand dibatasi oleh sungai besar yang cukup terkenal yaitu Mae Khong River. Jadi ada dua pertemuan antara Ruak River yang mengalir ke Mae Khong River, dan sekaligus membatasi ke tiga negara tersebut.  Daratan Myanmar terlihat sangat dekat dari wilayah Thailand di  tepian Mae Khong, demikian juga wilayah Laos.  Cuma yang agak geli, bangunan menyolok yang pertama kali terlihat di daratan Laos dan Myanmar itu adalah Gedung “Casino”.  Sementara kalau di Thailand ditandai dengan patung besar berwarna keemasan Phra That Doi Pu Khao yang duduk di atas kapal.  Apa ini artinya Laos dan Myanmar memaklumatkan sebagai negara yang melegalkan judi dan kemaksiatan lainnya, sedangkan Thailand mensimbolkan sebagai negara yang religeous? Wah logika ini tentu tidak pas, dan semuanya bisa jadi hanya kebetulan saja. Kami berangkat dari dermaga kecil di Thailand menelusuri Mae Khong ke wilayah perbatasan Myanmar untuk melihat dari dekat, selanjutnya menyeberang dan mengikuti arus sungai untuk masuk ke wilayah kecil di Laos.  Sungai Mae Khong cukub lebar dan air nampak berlimpah dengan gelombang yang lumayan tinggi, sehingga perahu motor kecil yang kami tumpangi melaju dengan hidung yang mengangguk-angguk. Perahu akhirnya merapat di dermaga kecil di Pasar Don Sao wilayah Laos.   Pasar yang memperdagangkan souvenir hasil kerajinan lokal ini berukuran tidak luas, namun cukup banyak turis yang datang untuk membelanjakan uangnya. Rombongan kamipun tak terkecuali, karena berpendapat kapan lagi mendapatkan souvenir berlogo Laos di tempatnya kalau tidak sekarang.  Yah perjalanan pagi sampai siang ini bisa dibilang paling seru, karena melihat Myanmar secara dekat dan masuk menelusup ke negara Laos meskipun hanya pinggirannya yaitu sebuah pasar yang bernama Don Sao.      



Sungai Ruak dan Mae Khong membagi wilayah Thailand, Myanmar dan Laos.
Bangunan kanan sungai adalah gedung Casino Laos

Perjalanan berikutnya adalah kembali ke Chiang Mai, namun dalam perjalanan balik ada 2 obyek wisata yang kami kunjungi salah satunya yaitu Wat Rhong Kun.  Wat Rhong Khun merupakan kuil terbaru di Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan kebanyakan kuil yang ada di Thailand. Kuil yang berwarna serba putih  ini dibangun oleh seorang artis kelahiran Chiang Rai bernama Chalermchai Kositpipat dengan uangnya sendiri yang telah menghabiskan biaya 140 juta Bath. Kuil mulai dibangun pada tahun 1997 dan dibuka untuk umum secara gratis tahun 2009. Untuk memasuki bangunan utama yang disebut “ubosot” harus melewati sebuah jembatan yang disebut “siklus kelahiran kembali” atau “the cycle of rebirth”. Di sebelah kiri dan kanan jembatan, terdapat ratusan replika tangan-tangan yang menggapai-nggapai, menggambarkan bagaimana penderitaan orang-orang yang mendapatkan siksa neraka karena dosa-dosanya. Setelah melewati jembatan para pengunjung sampai pada suatu bangunan yang disebut  “gate of heaven” atau gerbang nirwana. Dari keseluruhan bangunan Wat Rhong Khun yang serba putih cerah itu, ada sebuah bangunan dengan cat kuning keemasan yaitu toilet. Bangunan warna emas  katanya merupakan representasi dari bodi (badan) yang menggambarkan nafsu dan uang.  Sedangkan bangunan warna putih merupakan representasi dari pikiran atau jiwa yang jauh dari nafsu harta dan kekayaan.

 Bangunan utama Wat Rhong Khun yang seba putih “bright” (kiri) dan toilet warna kuning emas (kanan)

Gempa bumi yang mengguncang Chiang Rai pada tanggal 4 Mei 2014, tidak terkecuali telah merusakkan beberapa bagian dari kuil. Pemilik kuil yaitu Chalermchai Kositpipat merasa frustasi dengan kerusakan yang terjadi, sehingga dia berminat untuk membongkar semua bangunan kuil demi keselamatan. Namun dari hasil surve bahwa kuil tidak mengalami kerusakan besar dan bisa diperbaiki. Nyatanya saat bulan Agustus 2015 kami bisa menyaksikan temple tersebut meskipun sebagian bangunan masih tertutup untuk umum guna keperluan perbaikan.
Demikianlah catatan sebagian dari perjalanan kami selama 4 hari efektif di wilayah utara Thailand. Sebuah perjalanan yang dilakukan secara mandiri dan dengan cara “bacpackingan” oleh orang-orang yang hampir semuanya berusia di atas 50 tahun.…….  






















Kamis, 12 November 2015

WISATA "BACKPACKINGAN" 4 HARI DI CHIANG MAI DAN CHIANG RAI (bagian 5/terakhir)


Ini hari ke 4 kami berada di Thailand bagian utara dalam rangka wisata “backpackingan” 3 hari di Chiang Mai dan sehari di Chiang Rai.  Ada nuansa yang berbeda dibanding dengan hari-hari sebelumnya, antara lain anggota rombongan nampak lebih santai dan tidak terlalu “excited” mengejar target obyek wisata yang akan dikunjungi. Mungkin disadari ini sebagai hari terkahir kami di Thailand, dan bahkan waktu efektifnya hanya setengah hari.  Penerbangan kami kembali ke tanah air terjadwal pukul 16.30 waktu lokal, sehingga paling lambat pukul 14.00 kami sudah tiba di bandara internasional Chiang Mai. Hari ini kita juga sudah tidak menggunakan van Toyota Commuter sewaan dari Chiang Mai Minibus Company. Jadi program hari terakhir kami di Chiang Mai adalah kegiatan yang “soft” tidak melakukan perjalanan jauh melainkan dalam kota Chiang Mai saja.  Semalam kami sudah bikin reservasi melalui reception hotel untuk mengikuti “Mae Ping River Cruise”.  Menurut website mereka, seharusnya fee untuk ikut cruise ini 550 Bath perorang, namun karena kami sebanyak 10 orang akhirnya dapat discount 50 Bath perorang.  Seperti biasa setelah makan pagi kami berkumpul di lobby hotel, dan pagi ini menunggu jemputan dari Mae Ping River Cruise.  Sesuai yang dijanjikan pukul 09.45 mobil Toyota Van Comutter jemputan dari Mae Ping River Cruise sudah tiba  di CH Hotel, dan kami langsung menuju dermaga kecil di pinggir sungai Mae Ping. Kami langsung dipersilahkan memasuki perahu kecil bermotor dan penjelajahan Mae Ping River dimulai.  Mae Ping River mengalir melalui kota Chiang Mai yang menjadikan wilayah kiri kanan sungai bernuansa kota desa. Sungai yang panjangnya 569 km ini menjadi sumber irigasi bagi pertanian, perkebunan dan taman-taman di wilayah Thailand utara termasuk Chiang Mai.   Mae Ping River pada daerah hilir akan bertemu dengan Nan River (Sungai Nan) di wilayah Nakhon Sawan dan menjadi sungai besar yaitu Chao Phraya River yang membelah kota Bangkok dan akhirnya bermuara di Teluk Thailand. Memang jauh berbeda dengan penjelajahan di sungai Chao Phraya yang menggunakan perahu besar (kapal) dengan sungai yang jauh lebih lebar serta view bangunan gedung-gedung tinggi di sisi kiri kanannya.  Di sini sungainya lebih kecil dan relatif sepi serta pemandangan kiri kanan yang banyak menampilkan suasana  desa.  Mae Ping River Cruise ini cocok untuk rekreasi keluarga, pasangan muda-mudi atau suami isteri yang sedang  berbulan madu. Apalagi pada malam hari di sungai ada program “dinner” di atas perahu, yang tentu akan menciptakan suasana romantis dan santai.  Memang dalam melaksanakan cruising beberapa kali rombongan kami bertemu dengan perahu yang hanya ditumpangi oleh sepasang yang kayaknya suami-isteri. Dalam penjelajahan yang berlangsung sekitar 30 menit, kami dipandu oleh seorang guide yang lumayan fasih dalam berbahasa Inggris.  Dia banyak menjelaskan tentang landscape ataupun bangunan-bangunan yang berada di kiri kanan aliran sungai. Dia juga menjelaskan banyaknya apartemen, condominium atau sejenisnya yang dibangun di pinggiran sungai, dengan menawarkan view yang alami.  Dan tentu perumahan tersebut cukup mahal dan rata-rata dihuni oleh orang-orang yang berduit. Akhirnya perahu  merapat di suatu dermaga kecil, dan kami dibawa ke sebuah rumah model petani (farm house).  Rumah yang dipamerkan ini mirip dengan rumah-rumah pedesaan di tanah air pada zaman dulu, sebelum listrik dan modernisasi masuk desa. Rumah beratap genteng ringan tanpa plafon, lantai tanah, tiang-tiang kayu sederhana sebagai penyangga bangunan rumah, ruang-ruang terbuka tanpa sekat, dan lain-lain.  Disamping itu dalam rumah penuh dengan perkakas pertanian ataupun nelayan, seperti perahu dan jala ikan yang digantung di langit-langit rumah, lesung penumbuk padi, alat pemecah gabah secara manual, bangku-bangku dan meja kayu sederhana, dan banyak atribut-atribut lain sebagai simbol rumah desa. Untuk menambah nuansa desa, di sekeliling rumah ditumbuhi berbagai macam tanaman pepohonan serta beberapa jenis hewan peliharaan seperti babi, bebek, ayam, kelinci dan sebagainya. Alhasil pengunjung sengaja dibawa masuk ke suatu ruang dan waktu yang benar-benar bernuansa “ruralis”. Bagi saya yang dibesarkan di kehidupan “ndeso”, melihat ini membangkitkan kerinduan terutama terhadap suasananya, kesunyiannya, kesederhanaannya, termasuk bau “apek” yang ditimbulkannya. Menurut penjelasan guide, tempat ini pernah digunakan untuk lokasi shooting film “Rambo” dengan bintangnya “Silvester Staloon”.  Saya pikir ya pantes saja mengingat film Rambo adalah film “action” yang biasanya menampilkan cerita di balik Perang Indochina. Jadi  tempat ini sangat cocok kalau diseting sebagai tipikal rumah orang Vietnam.  Sebagai akhir dari kunjungan “farm house” ini kami disuguhi minuman dan buah segar. Kebetulan saat itu bos atau “owner” tempat ini ikut menjamu dan berfoto ria bersama kami.  Rupanya kami adalah pengunjung pertama di pagi itu, karena pada saat akan kembali datanglah pengunjung lain yaitu rombongan bule.  Kami kembali menyelusuri sungai yang kali ini arahnya ke selatan dan mengikuti arus sungai.  Setelah sampai ke dermaga, kami telah ditunggu kendaraan pengantar  menuju ke CH Hotel.  Sampai di hotel kira-kira pukul 11.00, sehingga waktu yang tersisa hanya digunakan untuk persiapan pulang ke tanah air. Setelah makan siang dan  check out hotel, kami menunggu jemputan untuk menuju Bandara Internasional Chiang Mai.  

Toyota Commuter Mae Phing River Cruise
Mae Ping River Cruise Office



Cruising di atas perahu tanpa alat pengaman karena memang ini sungai dangkal


The Titanic 2

Rim Ping Condominium di tepian Mae Ping River


Melintas di bawah Nakorn Phing Bridge


Dermaga di dekat Farm House

Penjelasan tour guide tentang situasi dalam Farm House



Nguleg gabah/beras

Salah satu sudut di Farm House

Bersantai sambil minum dan makan buah segar





Air mineral, semangka dan nenas yang dibelah model buah durian

Foto bersama owner Farm House

 Farm House river side
Tepat pukul 13.00 kendaraan Songthaew yang kami pesan semalam tiba, dan kami bergegas meninggalkan CH Hotel. Sebelum menuju bandara kami telah bersepakat dengan sopir Songthaew untuk melihat kota Chiang Mai.  Memang obyek wisata yang kami tinjau selama 4 hari di Thailand Utara, adalah obyek wisata yang berada di luar kota Chiang Mai. Kota Chiang Mai berada sekitar 700 km dari Bangkok dan merupakan kota terbesar ke dua setelah Ibu Kota Thailand. Meskipun “Chiang Mai” dari kata “Chiang” yang artinya  kota dan “Mai” artinya  baru, tetapi kota ini menurut umur sudah bukan “kota baru” lagi.  Chiang Mai dengan pusat sejarahnya yaitu “Old City”, merupakan ibu kota kerajaan Lannathai yang dibangun pada tahun 1296.  Old City merupakan wilayah berbentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi sepanjang 1,5 km yang dibatasi tembok-tembok tebal dan tinggi serta dikelilingi dengan sungai (parit) buatan di bagian luarnya.  Tembok itu masih ada beberapa bagian yang bisa kita saksikan, cuma bentuknya sudah tidak utuh lagi. Tembok beserta parit yang mengelilinginya, dahulu digunakan sebagai pertahanan terhadap serangan musuh yang biasa datang dari utara yaitu Burma. Chiang Mai selain terkenal dengan julukan “Rose of The North” atau “Mawar dari Utara”, juga dapat sebutan kota banyak kuil.  Di dalam Old City sendiri terdapat 30 kuil.  Dalam perjalanan menuju bandara, kami menyusuri jalan-jalan di Old City.  Meskipun tembok di Old City sebagian besar tinggal bekasnya, namun parit yang mengelilingi tembok dipenuhi air dan terjaga keberihannya. Malahan ada beberapa spot yang dihiasi air mancur ataupun dekorasi lainnya.

Salah satu sudut Old City dengan tembok dan parit yang mengelilinginya

Akhirnya kami mampir di salah satu spot wisata yaitu sebuah kuil yang paling populer di Old City yaitu Wat Chedi Luang.  Candi ini mulai dibangun pada tahun 1391 dan selesai tahun 1475 dengan ukuran tinggi  pada awalnya 84 m. Dalam candi ini semula juga disimpan “Emerald Budha” yaitu patung Budha duduk bermeditasi terbuat dari batu hijau (campuran batu giok dan zamrud) dan berpakaian emas.  Namun seabad kemudian tepatnya pada tahun 1545 Chiang Mai diguncang gempa besar, dan puncak candi terpotong sekitar 30 m sehingga tinggi kuil sekarang menjadi kurang dari 60 m. Selanjutnya dengan adanya gempa bumi tersebut, maka demi keamanan “Emerald Budha” dipindahkan dan sebagai gantinya dibuat replika yang terbuat dari batu giok hitam.

Selfie dengan latar belakang Wat Chedi Luang yang bagian atasnya terpenggal oleh gempa
Replika Emerald Budha
Sudut lain dari Wat Chedi Luang

Kunjungan ke Wat Chedi Luang tidak berlangsung lama, dan kami melanjutkan perjalanan ke bandara. Sekitar pukul 14.30 sesuai rencana kami sudah tiba di Chiang Mai International Airport.  Bandara ini sebagai destinasi terakhir bagi para pelancong yang akan mengunjungi Thailand Utara, yang rata-rata ada 2 juta turis mancanegara yang mendarat di airport ini pada setiap tahunnya. Bandaranya cukup kecil, karena hanya punya single terminal dan  juga sebuah runway yang mengarah ke utara-selatan. Setelah drop luggage dan pemeriksaan imigrasi berjalan lancar,  kami masuk ke ruang tunggu dan  kami masih punya waktu sekitar 2 jam dari jadwal keberangkatan pesawat.
Pesawat Airbus A-320 AirAsia nomor penerbangan AK 857 akhirnya take off pukul 17.00 waktu lokal, menuju KLIA 2 yang sekaligus menandai berakhirnya petualangan  kami di kawasan “Rose of the North” atau negeri “Mawar dari Utara”. Penerbangan antara CNX (kode bandara Chiang Mai oleh IATA) ke KLIA2 memerlukan waktur 2 jam 50 menit dengan beda waktu dimana Kualalumpur mendahului 1 jam.
 Tidak banyak yang kami lakukan dalam pesawat kelas ekonomi promo ini, kecuali menunggu makan malam yang sudah kami pesan secara online sebelumnya.  Tentu masing-masing anggota rombongan mempunyai kesan sendiri tentang apa yang dilihat dan dirasakan selama berpetualang 4 hari ini. Kalau saya mungkin karena lelah, maka setelah makan malam langsung jatuh terlelap tidur.  Baru terbangun pada saat deru mesin pesawat diturunkan kebisingannya sebagai tanda bahwa pesawat sudah “descend” yang berarti tidak lama lagi akan segera mendarat di KLIA2.  Pesawat dengan mulus mendarat di bandara “low cost carrier” KLIA2, dan setelah proses imigrasi kami segera mengambil bagasi. Waktu menunjukkan pukul 22.00 saat semua urusan beres. 
Nah sekarang menunggu penantian panjang, karena jadwal penerbangan ke Yogya masih besok pagi pukul 09.40 waktu lokal.  Memang kami tidak menjadwalkan tinggal di hotel sampai jadwal penerbangan kembali ke tanah air keesokan harinya.  Waktu perjalanan dari bandara ke hotel yang relatif jauh dan juga waktu yang sudah cukup malam, menjadi alasan kami untuk menunggu di bandara saja.  Disamping itu cara inilah yang biasa dipakai oleh para “backpackers”, yaitu menggunakan perjalanan malam hari untuk pengganti hotel.  Jadi menggunakan “hotel berjalan” apakah itu di kendaraan ataupun menunggu jadwal penerbangan berikutnya di bandara seperti saat ini. Nah ini akan “save money”!  Oleh karenanya malam itu kami gunakan untuk tidur di bandara.  Cuma kenyataan sering tidak sesuai dengan harapan.  Delapan bulan yang lalu saya pernah mendarat waktu dini hari di KLIA2  untuk transit penerbangan terusan (flight through) dari Taipeh ke Yogyakarta.  Nah saat itu saya lihat banyak turis-turis asing, tidur di lantai berkarpet dan ber AC dengan cukup lelap dan nyaman.  Saya juga banyak brawsing tentang pengalaman turis yang menginap di KLIA2, dan mereka rata-rata nggak masalah.  Tapi ternyata fasilitas yang ada di arrival hall KLIA2 kurang nyaman.  Baru saya sadari bahwa  para turis yang tidur lelap di karpet ber AC yang pernah saya lihat saat itu, ternyata mereka sudah berada di wilayah “airside” atau wilayah dimana orang-orang sudah “secure” alias sudah melewati proses pemeriksaan bandara.  Saya yang saat itu transit karena terbang terusan dari Taipeh-Yogyakarta, maka sudah masuk sebagai orang yang “secure”.  Lha bagaimana kondisi kami saat di KLIA2 kali ini. Kami berada di wilayah “land site” yang artinya sudah tidak “secure” lagi.  Tapi saya menilai memang fasilitas yang ada di KLIA2 ini kurang jika dibanding dengan beberapa bandara yang lain. Contohnya Changi di Singapore yang beralaskan karpet dan penyejuk udara yang cukup tidak terkecuali di ruang kedatangan. Termasuk pengalaman saya mendarat pada waktu tengah malam di Touyuan Airport Taipeh, tersedia fasilitas yang memadai untuk menunggu waktu pagi tiba.  Tersedia kursi sofa empuk, fasilitas charging HP/laptop, ada pemanas air untuk bikin teh, kopi, mie instant, dan seterusnya. Terus di situ tersedia minimart 24 jam yang siap  melayani kebutuhan para traveler seperti makanan dan minuman. Lha ini yang namanya Musholla di KLIA2 saja,  nggak ada karpetnya kecuali hanya 1 lembar di shof depan itupun tidak penuh! Yah betul-betul minim.  Akhirnya dengan kondisi KLIA2 yang seperti itu saya lihat anggota rombongan menghabiskan waktu dengan caranya masing-masing.  Ada yang duduk sambil ngopi di cafĂ©, ada yang rebahan di kursi, lha kalau saya mencoba tiduran di musholla.  Namun kondisi yang ramai akhirnya semalaman saya tidak bisa tidur. Nah untuk melengkapi pengalaman, di banyak kota atau bandara yang ramai ada fasilitas hotel yang unik. Seperti di KLIA 2 ini ada hotel yang disebut “capsule hotel”.  Arti capsule yang cocok untuk terminologi ini ya ruang yang sempit malahan super sempit untuk ukuran sebagai tempat tidur. Jadi ruang itu cuma 2m X 1m dan sesuai dengan ukuran alas tidur yang digunakan. Jadi kalau sudah terlentang di dalamnya, ya cukup sulit untuk merubah posisi karena akan terganjal oleh sekat pembatas.Tetapi ruang tidur ini nyaman karena dilengkapi mesin pendingin dan WIFI.  Malah ada yang memberi istilah capsule hotel ini sebagai tempat pembekuan mayat.  Artinya sebagai tempat yang sempit dan dingin.  Nah karena ada salah satu rombongan kami yang kurang enak badan, agar bisa istirahat dengan baik maka menggunakan fasilitas ini.  Sewa hotel ini dihitung per 3 jam.  He...he…he…. ya begitu berharganya lahan di daerah padat orang seperti ini, sehingga kamar hotel dibuat seperti “locker” barang biar ngirit ruang.         



Suasana di arrival hall

Selamat tidur Pak semoga mimpi indah
Ternyata tetep semangat meski semalaman kurang tidur

Yah akhirnya pagi tiba, dan setelah bersih-bersih badan maka kami menuju ke counter check in untuk  drop luggage serta proses pemeriksaan imigrasi.  Sebelum masuk ke ruang tunggu, terlebih dulu kami menuju outlet kuliner untuk makan pagi.  Jarak proses check in dan ruang tunggu di KLIA2 yang serba jauh membuat perut terasa lapar. Setelah menikmati soto khas KLIA2 dengan porsi jumbo yang membuat super kenyang, maka kami menuju ruang tunggu.
Setelah 2 jam 15 menit penerbangan, pesawat yang membawa kami mendarat dengan mulus di bandara Adisutjipto dan parkir di appron terminal B. Dengan demikian berakhirlah perjalanan kami yang meliputi wilayah 3 negara sekaligus yaitu Malaysia, Thailand dan Laos selama 6 hari (termasuk perjalanan).
See you at the next tour ..........