Ini hari ke 4 kami berada di
Thailand bagian utara dalam rangka wisata “backpackingan” 3 hari di Chiang Mai
dan sehari di Chiang Rai. Ada nuansa
yang berbeda dibanding dengan hari-hari sebelumnya, antara lain anggota
rombongan nampak lebih santai dan tidak terlalu “excited” mengejar target obyek
wisata yang akan dikunjungi. Mungkin disadari ini sebagai hari terkahir kami di
Thailand, dan bahkan waktu efektifnya hanya setengah hari. Penerbangan kami kembali ke tanah air terjadwal
pukul 16.30 waktu lokal, sehingga paling lambat pukul 14.00 kami sudah tiba di
bandara internasional Chiang Mai. Hari ini kita juga sudah tidak menggunakan van
Toyota Commuter sewaan dari Chiang Mai Minibus Company. Jadi program hari
terakhir kami di Chiang Mai adalah kegiatan yang “soft” tidak melakukan
perjalanan jauh melainkan dalam kota Chiang Mai saja. Semalam kami sudah bikin reservasi melalui
reception hotel untuk mengikuti “Mae Ping River Cruise”. Menurut website mereka, seharusnya fee untuk
ikut cruise ini 550 Bath perorang, namun karena kami sebanyak 10 orang akhirnya
dapat discount 50 Bath perorang. Seperti
biasa setelah makan pagi kami berkumpul di lobby hotel, dan pagi ini menunggu
jemputan dari Mae Ping River Cruise.
Sesuai yang dijanjikan pukul 09.45 mobil Toyota Van Comutter jemputan
dari Mae Ping River Cruise sudah tiba di
CH Hotel, dan kami langsung menuju dermaga kecil di pinggir sungai Mae Ping.
Kami langsung dipersilahkan memasuki perahu kecil bermotor dan penjelajahan Mae
Ping River dimulai. Mae Ping River
mengalir melalui kota Chiang Mai yang menjadikan wilayah kiri kanan sungai
bernuansa kota desa. Sungai yang panjangnya 569 km ini menjadi sumber irigasi
bagi pertanian, perkebunan dan taman-taman di wilayah Thailand utara termasuk
Chiang Mai. Mae Ping River pada daerah
hilir akan bertemu dengan Nan River (Sungai Nan) di wilayah Nakhon Sawan dan
menjadi sungai besar yaitu Chao Phraya River yang membelah kota Bangkok dan
akhirnya bermuara di Teluk Thailand. Memang jauh berbeda dengan penjelajahan di
sungai Chao Phraya yang menggunakan perahu besar (kapal) dengan sungai yang
jauh lebih lebar serta view bangunan gedung-gedung tinggi di sisi kiri
kanannya. Di sini sungainya lebih kecil
dan relatif sepi serta pemandangan kiri kanan yang banyak menampilkan suasana desa. Mae Ping River Cruise ini cocok
untuk rekreasi keluarga, pasangan muda-mudi atau suami isteri yang sedang berbulan madu. Apalagi pada malam hari di
sungai ada program “dinner” di atas perahu, yang tentu akan menciptakan suasana
romantis dan santai. Memang dalam
melaksanakan cruising beberapa kali rombongan kami bertemu dengan perahu yang
hanya ditumpangi oleh sepasang yang kayaknya suami-isteri. Dalam penjelajahan
yang berlangsung sekitar 30 menit, kami dipandu oleh seorang guide yang lumayan
fasih dalam berbahasa Inggris. Dia
banyak menjelaskan tentang landscape ataupun bangunan-bangunan yang berada di
kiri kanan aliran sungai. Dia juga menjelaskan banyaknya apartemen, condominium
atau sejenisnya yang dibangun di pinggiran sungai, dengan menawarkan view yang
alami. Dan tentu perumahan tersebut
cukup mahal dan rata-rata dihuni oleh orang-orang yang berduit. Akhirnya
perahu merapat di suatu dermaga kecil,
dan kami dibawa ke sebuah rumah model petani (farm house). Rumah yang dipamerkan ini mirip dengan
rumah-rumah pedesaan di tanah air pada zaman dulu, sebelum listrik dan
modernisasi masuk desa. Rumah beratap genteng ringan tanpa plafon, lantai tanah,
tiang-tiang kayu sederhana sebagai penyangga bangunan rumah, ruang-ruang
terbuka tanpa sekat, dan lain-lain.
Disamping itu dalam rumah penuh dengan perkakas pertanian ataupun
nelayan, seperti perahu dan jala ikan yang digantung di langit-langit rumah, lesung
penumbuk padi, alat pemecah gabah secara manual, bangku-bangku dan meja kayu
sederhana, dan banyak atribut-atribut lain sebagai simbol rumah desa. Untuk
menambah nuansa desa, di sekeliling rumah ditumbuhi berbagai macam tanaman
pepohonan serta beberapa jenis hewan peliharaan seperti babi, bebek, ayam,
kelinci dan sebagainya. Alhasil pengunjung sengaja dibawa masuk ke suatu ruang dan
waktu yang benar-benar bernuansa “ruralis”. Bagi saya yang dibesarkan di
kehidupan “ndeso”, melihat ini membangkitkan kerinduan terutama terhadap
suasananya, kesunyiannya, kesederhanaannya, termasuk bau “apek” yang
ditimbulkannya. Menurut penjelasan guide, tempat ini pernah digunakan untuk
lokasi shooting film “Rambo” dengan bintangnya “Silvester Staloon”. Saya pikir ya pantes saja mengingat film
Rambo adalah film “action” yang biasanya menampilkan cerita di balik Perang
Indochina. Jadi tempat ini sangat cocok kalau
diseting sebagai tipikal rumah orang Vietnam. Sebagai akhir dari kunjungan “farm house” ini
kami disuguhi minuman dan buah segar. Kebetulan saat itu bos atau “owner”
tempat ini ikut menjamu dan berfoto ria bersama kami. Rupanya kami adalah pengunjung pertama di
pagi itu, karena pada saat akan kembali datanglah pengunjung lain yaitu rombongan
bule. Kami kembali menyelusuri sungai
yang kali ini arahnya ke selatan dan mengikuti arus sungai. Setelah sampai ke dermaga, kami telah ditunggu
kendaraan pengantar menuju ke CH Hotel. Sampai di hotel kira-kira pukul 11.00,
sehingga waktu yang tersisa hanya digunakan untuk persiapan pulang ke tanah
air. Setelah makan siang dan check out hotel,
kami menunggu jemputan untuk menuju Bandara Internasional Chiang Mai.
|
Toyota Commuter Mae Phing River Cruise |
|
Mae Ping River Cruise Office |
|
Cruising di atas perahu tanpa alat pengaman karena memang ini sungai dangkal |
|
|
|
The Titanic 2 |
|
Rim Ping Condominium di tepian Mae Ping River |
|
Melintas di bawah Nakorn Phing Bridge | | | |
|
Dermaga di dekat Farm House |
|
Penjelasan tour guide tentang situasi dalam Farm House |
|
|
|
|
Nguleg gabah/beras |
|
Salah satu sudut di Farm House |
|
Bersantai sambil minum dan makan buah segar |
|
|
|
|
|
|
Air mineral, semangka dan nenas yang dibelah model buah durian |
|
Foto bersama owner Farm House |
|
Farm House river side |
Tepat pukul 13.00 kendaraan Songthaew yang kami
pesan semalam tiba, dan kami bergegas meninggalkan CH Hotel. Sebelum menuju
bandara kami telah bersepakat dengan sopir Songthaew untuk melihat kota Chiang
Mai. Memang obyek wisata yang kami
tinjau selama 4 hari di Thailand Utara, adalah obyek wisata yang berada di luar
kota Chiang Mai. Kota Chiang Mai berada sekitar 700 km dari Bangkok dan
merupakan kota terbesar ke dua setelah Ibu Kota Thailand. Meskipun “Chiang Mai”
dari kata “Chiang” yang artinya kota dan “Mai” artinya baru, tetapi kota ini menurut umur sudah bukan
“kota baru” lagi. Chiang Mai dengan
pusat sejarahnya yaitu “Old City”, merupakan ibu kota kerajaan Lannathai yang
dibangun pada tahun 1296. Old City
merupakan wilayah berbentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi sepanjang 1,5 km
yang dibatasi tembok-tembok tebal dan tinggi serta dikelilingi dengan sungai (parit)
buatan di bagian luarnya. Tembok itu
masih ada beberapa bagian yang bisa kita saksikan, cuma bentuknya sudah tidak
utuh lagi. Tembok beserta parit yang mengelilinginya, dahulu digunakan sebagai
pertahanan terhadap serangan musuh yang biasa datang dari utara yaitu Burma. Chiang
Mai selain terkenal dengan julukan “Rose of The North” atau “Mawar dari Utara”,
juga dapat sebutan kota banyak kuil. Di
dalam Old City sendiri terdapat 30 kuil.
Dalam perjalanan menuju bandara, kami menyusuri jalan-jalan di Old
City. Meskipun tembok di Old City
sebagian besar tinggal bekasnya, namun parit yang mengelilingi tembok dipenuhi
air dan terjaga keberihannya. Malahan ada beberapa spot yang dihiasi air mancur
ataupun dekorasi lainnya.
|
Salah satu sudut Old City dengan tembok dan parit yang mengelilinginya |
Akhirnya kami mampir di salah
satu spot wisata yaitu sebuah kuil yang paling populer di Old City yaitu Wat Chedi
Luang. Candi ini mulai dibangun pada
tahun 1391 dan selesai tahun 1475 dengan ukuran tinggi pada awalnya 84 m. Dalam candi ini semula
juga disimpan “Emerald Budha” yaitu patung Budha duduk bermeditasi terbuat dari
batu hijau (campuran batu giok dan zamrud) dan berpakaian emas. Namun seabad kemudian tepatnya pada tahun 1545
Chiang Mai diguncang gempa besar, dan puncak candi terpotong sekitar 30 m
sehingga tinggi kuil sekarang menjadi kurang dari 60 m. Selanjutnya dengan
adanya gempa bumi tersebut, maka demi keamanan “Emerald Budha” dipindahkan dan
sebagai gantinya dibuat replika yang terbuat dari batu giok hitam.
|
Selfie dengan latar belakang Wat Chedi Luang yang bagian atasnya terpenggal oleh gempa |
|
Replika Emerald Budha |
|
Sudut lain dari Wat Chedi Luang |
Kunjungan ke Wat Chedi Luang
tidak berlangsung lama, dan kami melanjutkan perjalanan ke bandara. Sekitar
pukul 14.30 sesuai rencana kami sudah tiba di Chiang Mai International Airport.
Bandara ini sebagai destinasi terakhir
bagi para pelancong yang akan mengunjungi Thailand Utara, yang rata-rata ada 2
juta turis mancanegara yang mendarat di airport ini pada setiap tahunnya.
Bandaranya cukup kecil, karena hanya punya single terminal dan juga sebuah runway yang mengarah ke
utara-selatan. Setelah drop luggage dan pemeriksaan imigrasi berjalan lancar, kami masuk ke ruang tunggu dan kami masih punya waktu sekitar 2 jam dari
jadwal keberangkatan pesawat.
Pesawat Airbus A-320 AirAsia nomor
penerbangan AK 857 akhirnya take off pukul 17.00 waktu lokal, menuju KLIA 2
yang sekaligus menandai berakhirnya petualangan
kami di kawasan “Rose of the North” atau negeri “Mawar dari Utara”. Penerbangan
antara CNX (kode bandara Chiang Mai oleh IATA) ke KLIA2 memerlukan waktur 2 jam
50 menit dengan beda waktu dimana Kualalumpur mendahului 1 jam.
Tidak banyak yang kami lakukan dalam pesawat
kelas ekonomi promo ini, kecuali menunggu makan malam yang sudah kami pesan
secara online sebelumnya. Tentu masing-masing
anggota rombongan mempunyai kesan sendiri tentang apa yang dilihat dan
dirasakan selama berpetualang 4 hari ini. Kalau saya mungkin karena lelah, maka
setelah makan malam langsung jatuh terlelap tidur. Baru terbangun pada saat deru mesin pesawat
diturunkan kebisingannya sebagai tanda bahwa pesawat sudah “descend” yang
berarti tidak lama lagi akan segera mendarat di KLIA2. Pesawat dengan mulus mendarat di bandara “low
cost carrier” KLIA2, dan setelah proses imigrasi kami segera mengambil bagasi.
Waktu menunjukkan pukul 22.00 saat semua urusan beres.
Nah sekarang menunggu penantian
panjang, karena jadwal penerbangan ke Yogya masih besok pagi pukul 09.40 waktu
lokal. Memang kami tidak menjadwalkan tinggal
di hotel sampai jadwal penerbangan kembali ke tanah air keesokan harinya. Waktu perjalanan dari bandara ke hotel yang
relatif jauh dan juga waktu yang sudah cukup malam, menjadi alasan kami untuk
menunggu di bandara saja. Disamping itu
cara inilah yang biasa dipakai oleh para “backpackers”, yaitu menggunakan
perjalanan malam hari untuk pengganti hotel.
Jadi menggunakan “hotel berjalan” apakah itu di kendaraan ataupun
menunggu jadwal penerbangan berikutnya di bandara seperti saat ini. Nah ini
akan “save money”! Oleh karenanya malam
itu kami gunakan untuk tidur di bandara.
Cuma kenyataan sering tidak sesuai dengan harapan. Delapan bulan yang lalu saya pernah mendarat
waktu dini hari di KLIA2 untuk transit
penerbangan terusan (flight through) dari Taipeh ke Yogyakarta. Nah saat itu saya lihat banyak turis-turis
asing, tidur di lantai berkarpet dan ber AC dengan cukup lelap dan nyaman. Saya juga banyak brawsing tentang pengalaman turis
yang menginap di KLIA2, dan mereka rata-rata nggak masalah. Tapi ternyata fasilitas yang ada di arrival
hall KLIA2 kurang nyaman. Baru saya
sadari bahwa para turis yang tidur lelap
di karpet ber AC yang pernah saya lihat saat itu, ternyata mereka sudah
berada di wilayah “airside” atau wilayah dimana orang-orang sudah “secure” alias
sudah melewati proses pemeriksaan bandara.
Saya yang saat itu transit karena terbang terusan dari Taipeh-Yogyakarta,
maka sudah masuk sebagai orang yang “secure”.
Lha bagaimana kondisi kami saat di KLIA2 kali ini. Kami berada di
wilayah “land site” yang artinya sudah tidak “secure” lagi. Tapi saya menilai memang fasilitas yang ada
di KLIA2 ini kurang jika dibanding dengan beberapa bandara yang lain. Contohnya
Changi di Singapore yang beralaskan karpet dan penyejuk udara yang cukup tidak
terkecuali di ruang kedatangan. Termasuk pengalaman saya mendarat pada waktu tengah
malam di Touyuan Airport Taipeh, tersedia fasilitas yang memadai untuk menunggu
waktu pagi tiba. Tersedia kursi sofa
empuk, fasilitas charging HP/laptop, ada pemanas air untuk bikin teh, kopi, mie
instant, dan seterusnya. Terus di situ tersedia minimart 24 jam yang siap melayani kebutuhan para traveler seperti makanan dan minuman. Lha ini yang namanya Musholla di KLIA2 saja, nggak ada karpetnya kecuali hanya 1 lembar di
shof depan itupun tidak penuh! Yah betul-betul minim. Akhirnya dengan kondisi KLIA2 yang seperti
itu saya lihat anggota rombongan menghabiskan waktu dengan caranya masing-masing. Ada yang duduk sambil ngopi di café, ada yang
rebahan di kursi, lha kalau saya mencoba tiduran di musholla. Namun kondisi yang ramai akhirnya semalaman saya
tidak bisa tidur. Nah untuk melengkapi pengalaman, di banyak kota atau bandara
yang ramai ada fasilitas hotel yang unik. Seperti di KLIA 2 ini ada hotel yang
disebut “capsule hotel”. Arti capsule
yang cocok untuk terminologi ini ya ruang yang sempit malahan super sempit
untuk ukuran sebagai tempat tidur. Jadi ruang itu cuma 2m X 1m dan sesuai
dengan ukuran alas tidur yang digunakan. Jadi kalau sudah terlentang di
dalamnya, ya cukup sulit untuk merubah posisi karena akan terganjal oleh sekat
pembatas.Tetapi ruang tidur ini nyaman karena dilengkapi mesin pendingin dan
WIFI. Malah ada yang memberi istilah capsule hotel
ini sebagai tempat pembekuan mayat. Artinya sebagai tempat yang sempit dan dingin. Nah karena ada salah satu rombongan kami yang
kurang enak badan, agar bisa istirahat dengan baik maka menggunakan fasilitas
ini. Sewa hotel ini dihitung per 3
jam. He...he…he…. ya begitu berharganya
lahan di daerah padat orang seperti ini, sehingga kamar hotel dibuat seperti
“locker” barang biar ngirit ruang.
|
Suasana di arrival hall |
|
Selamat tidur Pak semoga mimpi indah |
|
Ternyata tetep semangat meski semalaman kurang tidur |
Yah akhirnya pagi tiba, dan
setelah bersih-bersih badan maka kami menuju ke counter check in untuk drop luggage serta proses pemeriksaan
imigrasi. Sebelum masuk ke ruang tunggu,
terlebih dulu kami menuju outlet kuliner untuk makan pagi. Jarak proses check in dan ruang tunggu di KLIA2
yang serba jauh membuat perut terasa lapar. Setelah menikmati soto khas KLIA2
dengan porsi jumbo yang membuat super kenyang, maka kami menuju ruang tunggu.
Setelah 2 jam 15 menit penerbangan, pesawat yang membawa kami mendarat dengan mulus di bandara Adisutjipto dan parkir di appron terminal B. Dengan demikian berakhirlah perjalanan kami yang meliputi wilayah 3 negara sekaligus yaitu Malaysia, Thailand dan Laos selama 6 hari (termasuk perjalanan).
See you at the next tour ..........