Kamis, 07 Maret 2013

PERJALANAN BACKPACKERS KE NEGERI SAKURA (BAGIAN 1)


Dalam setahun ini saya benar-benar menderita sebuah penyakit. Penyakit yang tidak mematikan, namun bisa menimbulkan komplikasi yang berakibat menurunkan kualitas hidup.  Penyakit yang saya maksud adalah penyakit “malas”. Malas untuk melakukan apa saja, kecuali kegiatan yang bersifat rutin karena memang terpaksa untuk melakukannya. Perilaku “malas” ini juga menyebabkan momen-momen bagus dalam hidup tidak terdokumentasikan secara baik.   Salah satu momen yang sebenarnya bagus untuk didokumentasikan dalam hidup saya, adalah saat saya dan isteri melakukan perjalanan backpacker ke Jepang setahun yang lalu.  Ini penting buat saya, karena dengan bertambahnya usia di tataran 60-an, berpetualang dalam segala keterbatasan merupakan pengalaman yang sangat menarik untuk dikenang.  Keterbatasan tersebut paling tidak meliputi dua aspek yaitu fisik yang sudah masuk “sweet” artinya masuk usia "sewidakan" atau "60-an" dan  keterbatasan dana.  Dengan keterbatasan tersebut, maka seni untuk mencapai tujuan merupakan pembelajaran yang sangat menarik. Suatu saat ketika fisik sudah tidak mampu melakukan perjalanan jauh, maka pengalaman backpacker ke negeri jauh yang terangkum dalam setiap tulisan akan menjadi kenangan yang super indah. Pengalaman tersebut seakan hidup lagi melalui ungkapan dalam tulisan.   Untung saja saat saya membuka memo aplikasi di BB, rekaman singkat tentang perjalanan ke Jepang tersebut masih tersimpan meskipun hanya secara garis besar. Saya tertarik pergi ke Jepang  karena beberapa sebab.  Pertama  perjalanan tidak memakan waktu terlalu lama, yaitu hanya sekitar 6 jam penerbangan dari Kuala Lumpur.  Dengan demikian kondisi fisik yang sudah tua ini masih mampu bertahan dengan durasi perjalanan yang tidak terlalu panjang.  Alasan kedua karena ada beberapa pilihan maskapai yang melayani penerbangan ke sana antara lain AirAsia yang banyak menawarkan program promo.  Alasan berikutnya karena terobsesi oleh image bahwa  Jepang  sebagai negara maju dan modern, tetapi masyarakatnya  tetap memegang tradisi dan tidak kehilangan identitasnya.  Disamping itu masyarakat Jepang juga sangat disiplin dan santun dalam berperilaku.  Dalam memilh waktu kunjunganpun saya mempertimbangkannya dengan  keistimewaan yang mungkin terjadi di Jepang.  Salah satunya adalah mekarnya bunga sakura, yang konon hanya terjadi sekali dalam setahun yaitu antara tanggal 28 Maret sampai dengan  8 April.  Dengan dasar itulah maka petualangan ke negeri Sakura ini melalui perencanaan yang serius mulai dari pemesanan tiket, perencanaan ititenary, pemesanan hostel, dokumen perjalanan (visa turis), transportasi, asuransi perjalanan, termasuk perbekalan berupa pakaian, makanan, dan yang sangat penting uang. Karena pertimbangan usia, maka saya selalu menggunakan asuransi pada setiap bepergian ke luar negeri.  Mengenai tempat tinggal,  sangatlah mahal jika harus tinggal di hotel.  Tinggal di hostel jauh lebih murah, disamping dari segi lokasi, tingkat kenyamanan dan kebersihan dirasa cukup memadai bagi wisatawan backpackers.  Kemudian tentang visa sudah kami urus ke kedutaan Jepang 2 bulan sebelum hari keberangkatan.  Seperti diketahui bahwa tranportasi di Jepang cukup mahal. Bayangkan harga tiket naik kereta api supercepat Shinkansen dari Osaka ke Tokyo sekali jalan paling tidak 1,5 juta rupiah.  Oleh karena itu  biaya transportasi harus ditekan dengan cara berlangganan.  Untuk transportasi di Jepang saya menggunakan Japan Railways Pass (JR Pass) yang hanya bisa dibeli di luar Jepang dan untuk di Indonesia harganya 2,9 juta rupiah.  Dengan JR Pass kita bisa menggunakan kereta api yang dioperasikan oleh JR termasuk Shinkansen, kecuali Shinkansen Supernozomi. Karena penerbangan AK 1393 AirAsia dari Surabaya dengan destinasi Osaka dijadwalkan waktu pemberangkatannya pukul 08.50, maka untuk tidak ambil resiko terlambat saya berangkat dari tempat tinggal saya di Yogyakarta sehari sebelumnya dengan pesawat Sriwijaya Air.  Selanjutnya dengan pertimbangan penghematan sekaligus kedekatan lokasi, maka jauh-jauh hari saya pesan kamar di “Mess Aircrew” Lanud Juanda.  Yah sekaligus bernostalgia dengan saat-saat dulu ketika masih aktif (maklum pensiunan).  Selain pengobat rindu suasana saat masih aktif di kedinasan TNI AU, ternyata saya juga diberikan “free” alias tidak membayar.  Pada saat saya akan check out, petugas mess menyampaikan bahwa saya diberi “free” atas perintah pimpinan.  Ada perasaan “trenyuh” dalam hati, karena meski saya sudah pensiun 8 tahun yang lalu tetapi masih ada yang memperhatikan kami yang terbukti di “Mess Aircrew “ ini saya dilayani dengan baik dan diberi gratis lagi.  Penerbangan pagi hari di Lanud Juanda cukup ramai, termasuk penerbangan internasional. Setelah  check in kami langsung menuju ke ruang tunggu yang sudah ditentukan.  Pesawat AirAsia  AK 1393 dijadwalkan tinggal landas pada pukul 0850 menuju Kualalumpur,  namun pesawat baru tiba di Juanda pada pukul 08.50 yang bertepatan dengan waktu keberangkatan. Guna menghindari keterlambatan, maka kami diperintahkan boarding bersamaan waktu dengan para penumpang yang turun, sehingga kami saling berpapasan di garbarata.  Wah ini kreatif juga, dan jujur ini pengalaman pertama baru buat saya yaitu pelaksanaan embarkasi bersamaan dengan debarkasi.      Pada pukul 09.20 pesawat Airbus 320 tinggal landas dari Surabaya menuju Kualalumpur, dan mendarat di LCCT (Low Cost Carrier Terminal) Kualalumpur pada pukul 12.34 (waktu lokal).  Perlu diketahui LCCT adalah terminalnya penerbangan murah AirAsia, yang berdekatan dengan bandara internasional Kualalumpur (Kualalumpur International Air Port).  Turun dari pesawat kami menelusuri koridor LCCT dan belum separuh jalan dari tempat parkir pesawat ke terminal ketibaan (arrival terminal), bagi  penerbangan lanjutan  dibelokkan ke ruang tunggu transit.  Pada pukul 14.10 pesawat Airbus 330-200 tinggal landas dari bandara internasional Kualalumpur menuju Osaka, dan setelah menempuh waktu penerbangan sekitar 6 jam, pesawat mendarat di Kansai Airport dengan selamat pada pukul 21.10.  Sebenarnya saya ingin jadwal penerbangan siang hari, karena saya ingin melihat seperti apa bandara yang dibangun di atas pulau buatan (manmade island).  Pulau ini tadinya berupa kawasan laut di Teluk Osaka yang berhasil ditimbun dan dibuat bandara dengan 2 landasan pacu dan dua terminal.  Landasan pacu yang dibangun masing-masing dengan ukuran panjang 3500 m dan 4000 m, yang menampung 107,791 penumpang dan 13,857,000  penerbangan (data 2011).  Dua terminal yang dibangun berlantai empat, tercatat sebagai terminal terpanjang di dunia.  Atap  terminal berbentuk seperti irisan sayap (airfoil) yang menjamin sirkulasi udara ruangan yang membuat nyaman. Kansai International Airport dihubungkan dengan jembatan bernama Sky Gate sepanjang 5 km, yang sekaligus sebagai  jalan raya dan rel kereta api menuju daratan Osaka. Berhubung kedatangan kami pada malam hari, maka hanya bisa melihat gemerlapannya lampu bandara.  

Kansai International Airport
Begitu kami turun, langsung dibawa dengan kereta api listrik menuju ke terminal kedatangan.  Pada saat kami sedang proses imigrasi di terminal kedatangan, sudah terasa udara dingin karena nampaknya  tidak ada fasilitas pemanas di ruangan ini.  Begitu kami ke luar gedung terminal dan berada dalam ruang terbuka meskipun masih terlindungi bangunan, terpaan angin dengan suhu udara 5 derajat membuat  rasa  dingin menusuk sampai tulang belulang.  Oleh karena itulah kami bergegas menuju ke stasiun kereta Nankai Railway setelah membeli tiket melalui “vending machine”.  Wah inilah tipikal transportasi di negara-negara maju.  Begitu turun dari pesawat, maka  hanya tinggal mendorong luggage kita sudah bisa berganti moda transportasi darat untuk menuju ke tempat  lain yang dikehendaki.   Sistem transportasi ini juga sudah ditiru oleh beberapa kota di Indonesia, misalnya di Bandara Adisutjipto.  Misalnya  begitu turun dari pesawat langsung bisa melanjutkan perjalanan dengan kereta api atau bus.  Bedanya kalau frekwensi kedatangan kereta api dan bus di Jepang jauh lebih tinggi, lebih aman dan lebih nyaman dibanding dengan transportasi di Indonesia.

Suasana dalam kereta api
 Perjalanan dari Kansai International Airport ke Shin-Imamiya ditempuh dalam waktu 1 jam dengan menggunakan Nankai Railway dengan harga tiket 1030 yen.  Tepat pada pukul 23.00 kami sampai di Shin Imamiya.  Pengalaman menarik terjadi saat kami kebingungan untuk menuju ke Hostel Mikado. Meskipun cara menuju Hostel Mikado sudah cukup jelas dengan disertai peta situasi, namun gara-gara ke luar exit yang berbeda dengan petunjuk yang diberikan oleh Hostel Mikado, maka akhirnya bingung juga.  Saya berusaha bertanya kepada beberapa orang, namun karena kesulitan bahasa hasilnya tidak memberikan pencerahan sama sekali.  Nah dalam perjalanan kami bertemu dengan orang yang berwajah serem bak preman sambil kedua tangannya menyangga beban.  Karena waktu beranjak tengah malam dan hanya satu-satunya orang yang kami temui, akhirnya kamipun berani bertanya kepadanya.  Dengan memadukan antara bicara dan isyarat gerakan tubuh dan matanya, saya menerjemahkan kira-kira jawabannya begini. “Tunggu di sini sebentar, saya mau masukin barang-barang bawaan ini setelah itu saya segera kembali”.
 
Stasiun Kansai Airport
  Wah ini kecerdasan tersendiri untuk menangkap bahasa isyarat.  Ternyata betul juga, tidak sampai 2 menit orang tadi ke luar menemui saya.  Dia langsung melambaikan tangan ke arah kami sambil berbicara, yang kira-kira maksudnya “ikutin saya!”  Dengan langkahnya yang panjang dan cepat, kami terutama isteri tertinggal cukup jauh.  Apalagi saat dia berada dengan jarak begitu jauh di depan dan kami tidak bisa mengejarnya karena terhalang lampu pedestrian yang menyala merah.  Makanya saya bertepuk tangan dengan harapan mudah-mudahan dia tahu apa yang saya maksudkan.  Ternyata dia  membalikkan badan terus berhenti, dan dari penerangan jalan saya melihat dia tersenyum.  Perjalanan antara stasiun Shin Imamiya ke Hostel Mikdao hanya memakan waktu sekitar 5 menit.  Setelah sampai di Hostel Mikado, orang berwajah preman tersebut menyerahkan kami berdua ke resepsionis.  Sebelum dia pergi kami berdua mengucapkaan banyak terima kasih atas budi baiknya, tentu dengan bahasa yang tidak dia pahami.  Setelah dia pergi,  saya berbisik dalam hati.  Kalau di Jakarta atau di kota lain di Indonesia  ketemu orang berwajah preman seperti dia apalagi di malam hari, lebih baik menghindar dari pada kemungkinan harus menanggung resiko  di belakang.  Di Jepang justru kami lebih berani, karena sebelum perjalanan ke Negeri Sakura ini saya telah membaca banyak tentang perangai masyarakat Jepang.  Masyarakat Jepang sangat ramah, suka menolong, tertib, disiplin, serta mempunyai harga diri tinggi.  Di Jepang tidak mengenal tips atau ongkos untuk jasa tertentu. Karena itu saya juga tidak memberikan uang tip untuk orang yang mengantar kami tadi. Setelah kami menunjukkan hard copy  bukti booking ke resepsionis hostel, maka kami langsung dapat kamar dengan harga yang lebih murah dari harga yang tertera dalam bukti booking. Ternyata murahnya rate hostel karena memang kondisi kamarnya cukup jelek.  Yah akhirnya kami menerima saja kamar ini karena hostel yang berlantai 8 ini dikatakan penuh.  Apalagi saat itu sudah hampir pukul 1 yang berarti 3 jam lagi sudah masuk waktu Subuh, meskipun saya tidak tahu waktu-waktu sholat di Jepang.  Waktu sholat di Osaka menurut perkiraan saya akan lebih cepat dari pada di Wilayah Indonesia Barat, karena lokasi tempat ini berada di garis bujur lebih besar dari Yogyakarta.  Oleh karena itu kamipun tidak ingin segera tidur, tetapi lebih baik mempersiapkan untuk program perjalanan besok.  Sesuai yang kami rencanakan, kami akan menuju ke Tokyo besok pagi.  Tentu tidak semua luggage kami bawa, melainkan hanya secukupnya yang bisa dimasukkan ke dalam dua tas punggung yang masing-masing akan dibawa  isteri dan saya. Selebihnya kami masukkan dalam 2 koper besar dan kami tinggal di hostel Mikado, karena setelah 2 hari di Tokyo kami akan kembali ke Osaka dan menginap di hostel yang sama.  Disamping itu battery untuk lapotop dan HP betul-betul kosong semua, sehingga harus diisi.  Memang ada pertanyaan apa repotnya mengisi battery laptop ataupun HP?  Kalau di Indonesia mungkin sangat sederhana, namun di Jepang akan bermasalah jika tidak dipersiapkan sebelumnya.  Stop kontak di Jepang kakinya berbentuk pipih yang tentu berbeda dengan di negeri kita yang kakinya berbentuk bundar.  Oleh karena itu saya sudah mempersiapkan dari Indonesia dengan membawa kabel yang siap diikatkan dengan stop kontak lampu hotel.  Coba bayangkan dengan badan capek, mata ngantuk, masih ditambah lagi laptop dan HP tidak bisa digunakan lantaran battery weak dan kita tidak bisa mengisinya lantaran stop kontak tidak cocok.  Wah pasti pusing tujuh keliling!  Malam itu sebagai malam pertama di Jepang saya lewati tanpa bisa tidur.  Dalam hati besok akan kami tebus rasa kantuk malam ini dengan tidur di sepanjang perjalanan, mengingat perjalanan menuju ke Tokyo memerlukan waktu sekitar 150 menit dengan kereta api supercepat Shinkansen.  Bagaimana perjalanan kami selanjutnya, ikuti Perjalanan Backpacker ke Negeri Sakura Bagian 2.  Sampai ketemu lagi ...... !!!!!