Minggu, 26 Juni 2011

PERJALANAN "BACK PACKER"

WISATA MACAU, HONGKONG, DAN SHENZHEN BAGIAN 2

Pada pukul 12.00 kami checkout hotel dan berangkat ke Macau Ferry Terminal dengan menggunakan free shuttle bus dari hotel.  Kami memilih ferry yang dioperasikan oleh Turbojet menuju dermaga di Sheung Wan Hongkong Island dengan harga tiket 140 MOP.  Meskipun Macau dan Hongkong termasuk wilayah Macau, namun untuk ke luar Macau harus dilakukan pemeriksaan  imigrasi.  Pemeriksaan imigrasi dilakukan sebelum memasuki ruang tunggu keberangkatan ferry ke Hongkong. Perjalanan ferry dari Macau ke Hongkong memakan waktu selama sekitar 1 jam.  Sepanjang perjalanan cuaca agak berkabut, sehingga visibilitas hanya terbatas pada jarak beberapa ratus meter saja.  Mungkin karena lelah dan sengaja memanfaatkan waktu untuk istirahat, kami terbangun saat ferry menurunkan daya mesinnya dan di depan sudah terlihat gedung-gedung pencakar langit sebagai ciri khas kepulauan Hongkong.  Setelah sampai di dermaga ferry Sheung Wan kami menuju ke stasiun MTR Sheung Wan yang ternyata jaraknya dekat untuk naik MTR menuju ke Tsim Sha Tsui.  MTR (Mass Transit Railway), yaitu kereta api yang melintas di bawah tanah termasuk di bawah dasar laut,  yang menghubungkan  89 stasiun di seluruh wilayah Hongkong.  Tempat penginapan kami yaitu  Maple Leaf Guesthouse yang berdekatan dengan stasiun MTR Tsim Sha Tsui di kawasan Kowloon, sedangkan terminal terakhir ferry ini ada di Sheung Wan yang berada di Hongkong Island.  Setelah sampai Sheung Wan dan mengalami pemeriksaan imigrasi untuk masuk Hongkong, kami menuju ke stasiun MTR Sheung Wan untuk menuju ke stasiun Central.  Pembelian tiket dilakukan secara mandiri melalui mesin penjual tiket (ticket vending machine), yang secara otomatis tiket dan uang kembali akan keluar setelah kita pencet stasiun tujuan dan uang pembayaran tiket.  Selanjutnya dari stasiun Sentral ganti MTR yaitu Tsuen Wan line (jalur Tsuen Wan) dan berhenti di stasiun Tsim Sha Tsui.  Sesuai arahan dari manajer Mapple Leaf Guesthouse,  kami menuju ke exit E dan setelah mencapai jalan Napthan dibawah layar TV besar di situ kami temukan Chungking Mansiun dimana hostel berada.  Sekitar pukul 14.00 kami sampai di Mapple Leaf Guesthouse.  Posisi Gueshoust sangat strategis, karena berada di pusat perbelanjaan dan sangat dekat dengan  stasiun MTR Tsim Sha Tsui.  Ukuran  kamar hostel (nama hotel berskala kecil) sangat sempit, karena tidak lebih dari 3 X 2.5 m lengkap dengan kamar mandi dalam,  dan dua bed tempat tidur ukuran 2 X 0.8 m.  Meskipun sempit, tetapi fasilitasnya cukup lengkap antara lain TV, meja lengkap dengan pesawat telepon, AC.  Kamar mandi lengkap dengan wastafel, shower, dan pemanas air, serta fasilitas WIFI.  Coba bayangkan kira-kira sesempit apa ruangan tersebut.  Bahkan untuk sholatpun kami lakukan tidak bisa dengan berdiri, melainkan dengan cara duduk.  Masalah kiblat dalam ibadah sholat, sudah nggak perlu lagi diperdebatkan.  Bertanya orang di Hongkong tentang hal-hal yang tidak biasa bagi mereka, pasti memperoleh jawaban yang tidak memuaskan.  Ruangan yang sangat sempit ini, sekaligus menggambarkan bahwa di Hongkong tanah demikian mahal. Saya hanya berhandai-handai, jika seandainya rumah saya di Yogya bisa dipindah di Hongkong, mungkin langsung jadi kaya raya mendadak hanya dari menyewakan rumah.  Karena sempitnya ruangan ini sampai saat tidur saya bermimpi kejatuhan TV dan kejepit koper, haa …haa …haa.  

Senin, 20 Juni 2011

PERJALANAN WISATA KE MACAU, HONGKONG, DAN SHENZHEN

Meskipun jadwal keberangkatan pesawat Air Asia dari bandara Adisutjipto Yogyakarta pada pukul 09.00, namun untuk penerbangan intenasional sebaiknya kami check in lebih awal. Disamping sudah merupakan ketentuan dari maskapi penerbangan, juga didorong oleh perasaan “exciting” untuk segera cepat-cepat berangkat. Oleh karena itu pada pukul 07.00 kami sudah standby di bandara. Setelah check in dan proses imigrasi yang cukup sederhana, maka pada pukul 08.45 sudah boarding dan pada pukul 09.00 tepat pesawat Air Bus A320 sudah lepas landas menuju Kuala Lumpur. Penerbangan di pagi hari memang enak, karena pesawat bisa terbang dengan mulus, tanpa goncangan, dan pemandangan ke luar lewat jendela cukup baik. Pemandangan dalam pesawat tidak berbeda dengan maskapai penerbangan lainnya, hanya gambar iklan dalam cabin cukup menyolok.  Jenis pesawat dengan kapasitas 180 penumpang buatan Air Bus ini,  telah diperkenalkan sebagai armada angkutan udara sejak tahun 1988, dan tercatat sebagai jenis pesawat angkut pertama yang menggunakan sistem kendali digital (fly by wire).  Meski pesawat yang dioperasikan Air Asia ini bukan baru-baru amat, namun pesawat yang sudah mengantongi sertifikasi Joint Aviation Authorities sejak awal dioperasikan ini nampak handal.  Kehandalan pesawat terbang  tidak ditentukan oleh baru tidaknya pesawat, namun antara lain banyak ditentukan oleh kualitas perancangan serta  sistem pemeliharaan dan pengoperasian yang baik.   Penerbangan Air Asia merupakan penerbangan kelas ekonomi, oleh karenanya jangan mengharapkan ada  "snack and drink" dalam pesawat, bahkan ke toilet tidak bayarpun  sudah sangat untung.  Saya hanya berpikir bahwa dengan gencarnya tiket pesawat murah saat ini, jangan-jangan untuk menambah margin keuntungan,  maka ke toiletpun harus bayar!  Makan dan minum bisa dibeli di dalam pesawat baik dengan pesan online sebelumnya atau membeli secara langsung.   Mengingat makan siang masih lama, maka sekedar untuk mengisi perut kami berdua pesan teh susu dan kue kukus.   Penerbangan ke Kuala Lumpur memakan waktu sekitar 2 jam 30 menit, dan mendarat di Bandara Internasional Kuala Lumpur pukul 12.30 (beda waktu dengan Yogyakarta 1 jam mendahului). Pemandangan yang saya sukai yaitu beberapa saat sebelum mendarat di Kuala Lumpur, kita bisa melihat perkebunan kelapa sawit yang pohon-pohonnya berderet rapi seperti tentara yang sedang berbaris. Terminal Air Asia adalah LCCT (Low Cost Carrier Terminal) dan bukan di KLIA (Kuala Lumpur International Air Port). Terminal ini dirancang oleh Air Asia untuk pelayanan pengguna jasa penerbangan murah. Karena itu di LCCT tidak ditemui fasilitas seperti garbarata (aerobridge) yang disambung dengan dengan escalator panjang yang nyaman dan adem. Karena itu turun dari pesawat langsung jalan kaki melalui lorong terbuka yang lumayan jauh dengan sistem pendingin udara alam (AC alam), menuju terminal kedatangan (terminal ketibaan). Proses imigrasi di terminal kedatangan cukup ramai, sehingga harus mengantri beberapa saat. Keluar dari imigrasi kami langsung menuju ke terminal keberangkatan internasional yang letaknya tidak jauh. Sampai di terminal keberangkatan ternyata waktu masih cukup lama untuk menunggu jadwal keberangkatan ke Macau. Namun karena di bandara tersedia fasilitas hot spot, maka waktu menunggu saya gunakan untuk internetan. Pada pukul 14.30 kami sudah bisa check in berikut 2 koper yang kami masukkan ke checked baggage. Sambil menunggu waktu boarding yang masih cukup lama, kami gunakan untuk makan siang di salah satu kafetaria di ruang keberangkatan. Memang sejak sarapan pagi di Yogya dan makan sepotong kue kukus yang dibeli di pesawat, perut belum kemasukan apa-apa kecuali air (biar nggak dehidrasi ha..ha..ha).  Setelah perut kenyang, maka kami bergegas menuju ruang tunggu. Namun sebelum memasuki ruang tunggu kami harus mengalami pemeriksaan imigrasi.  Jumlah antrian untuk foreign phasport tidak terlalu panjang seperti waktu pemeriksaan imigrasi di terminal kedatangan tadi.  Rasanya hati menjadi lega setiap selesai melakukan check in dan pemeriksaan imigrasi.


LCCT Kualalumpur
Kini masih ada lagi satu kewajiban yang harus segera dilakukan, yaitu menghadap panglima tertinggi yang menguasai alam semesta yaitu sholat.  Kami akan menggunakan fasilitas yang diberikan Alloh untuk orang yang musafir berupa kemudahan untuk menjamak sholat.  Akhirnya kami jamak sholat Ashar dan Dhuhur di musholla yang ada di ruang tunggu keberangkatan. Memang kewajiban yang satu ini jangan pernah lupa baik saat senang atau susah.   Hampiri Tuhanmu saat engkau senang, maka Tuhanmu akan bersamamu saat engkau susah.  Sesuai jadwal keberangkatan pesawat, maka paling tidak masih lebih dari sejam kami harus menunggu.  Tetapi dengan adanya fasilitas hot spot di bandara, maka kami bisa internetan dengan laptop yang kami bawa.  Namun masa tunggu menjadi  terasa tidak lama, saat kami bertemu dengan 3 ibu-ibu dari Jakarta, yang mempunyai tujuan yang sama yaitu ke Macau, Hongkong dan Senzhen.  Saya hanya berkata dalam hati, ternyata ibu-ibu ini cukup berani bepergian tanpa ada seorangpun lelaki menemaninya.  Ternyata salah satu dari ibu-ibu tersebut telah memiliki pengalaman berpegian jauh, bahkan konon pernah ke wilayah Tibet segala. Dengan mengobrol tanpa terasa ada panggilan bagi penumpang penerbangan AK 56 menuju Macau untuk boarding.  Sesuai jadwal pada pukul 16.45 pesawat Airbus A-320 tinggal landas menuju Macau.  Menurut pengumuman awak pesawat, bahwa penerbangan menuju Macau memerlukan waktu selama tiga setengah jam.  Cuaca  di Kuala Lumpur dan selama perjalanan cukup baik, sehingga pesawat yang terbang pada ketinggian 37000 kaki tersebut cukup tenang.  Namun pada saat sudah meninggalkan ketinggian jelajah dan masuk di area udara Macau cuaca agak kurang bagus, sehingga  pesawat  terasa beberapa kali terguncang. Pesawat mendarat dengan  baik pada pukul 20.30.  Kesan pertama saat roda pesawat menyentuh bandara Macau Internasional, adalah bahwa Macau merupakan kota yang terang benderang dan serba bergemerlapan.  Nampak ada display lampu konfigurasi roda besar yang dipasang di atas bangunan terminal kedatangan.  Setelah melalui proses pemeriksaan imigrasi yang sederhana, maka kami langsung menuju ke tempat mangkal taksi yang sudah berderet di depan bandara. Kebetulan sopir taksi yang saya tumpangi agak galak, dengan menyuruh saya agar segera masuk saja. Saya bilang ke Regency Macau Hotel, tetapi dia langsung menyodori daftar nama hotel dalam tulisan China dan Latin. Setelah saya tunjuk hotel yang saya kehendaki, maka dia langsung mengangguk. Tidak terlalu lama kami telah sampai di hotel dimana kami menginap. Pada saat isteri saya bertanya bayarannya, dia menunjuk argometer yang jumlahnya 46 MOP. Setelah dibayar 50 MOP ternyata dia bilang bahwa ada tambahan 30 MOB lagi. Tapi pada saat isteri saya menunjukkan tambahan 20 MOP langsung dia terima dan merasa sudah cukup. Ada sedikit perasaan bahwa perilaku sopir ini mengandung ketidakjujuran dan saya pikir bahwa ia agak kasar, sebagai kompensasi keterbatasan dia dalam berkomunikasi. Proses check in hotel tidak masalah. Malam itu selain capek karena perjalanan panjang serta waktu sudah pukul 21.30 (beda waktu 1 jam dengan WIB), dan juga masih bingung mau kemana dan menggunakan transportasi apa. Karena itu kami hanya berjalan-jalan di sekitar hotel saja. Lagi pula bahwa transportasi bus di Macau hanya sampai pukul 20.00, sehingga selebihnya menggunakan taksi. Posisi hotel kami di Taipa berdekatan dengan Macau Taipa Bridge yaitu salah satu jembatan yang melintas laut cukup panjang (seperti Suramadu) yang menghubungkan Taipa dengan semenanjung Macau. Pada malam hari jembatan nampak asri dengan kilauan lampu yang menerangi mulai dari kaki jembatan sampai bagian atas jembatan. Disamping Macau Taipa Bridge ada dua jembatan lagi yang menghubungkan Taipa dan Macau, yaitu Friendship Bridge dan Sai Van Bridge. Dari hotel kami dapat melihat semenanjung Macau dengan jelas berupa gedung-gedung yang tinggi. Dari bangunan-bangunan tinggi tersebut, yang paling menyolok adalah Macau Tower dan hotel dengan arsitektur yang sangat spesifik yaitu Grand Lisboa. Di dekat hotel tempat kami menginap banyak pertokoan, dan juga beberapa hotel dengan bangunan tinggi berikut fasilitas casinonya, sepeti hotel Atira dan MGM Casino. Hotel ini sebenarnya terdaftar sebagai hotel bintang 5, namun tidak seperti layaknya bintang 5. Tempatnya agak sepi dan fasilitasnya sedikit kurang dibanding dengan layaknya hotel bintang 5. Tapi saya anggap cukup representatif karena kamar cukup luas, kamar mandi cukup luas dan bersih, pelayanan bagus, breakfast lumayan bagus, ada transportasi pada setiap jam ke berbagai tempat wisata di Macau. Dan yang lebih penting dari turis “back packer” seperti saya adalah rate hotel yang relatif murah dibanding dengan rate hotel bintang 5 lainnya. "Back packer" merupakan julukan bagi pelancong  yang terbatas anggarannya, sehingga semuanya serba menggunakan azas hemat.  Makanya disebut back packer atau backpackingan karena agar menghemat maka segala keperluannya telah tersedia dalam tas yang selalu digendong di punggungnya.  Mau tahu isinya? Sebut saja mulai dari sarung untuk selimut, kompor dan periuk untuk masak, bumbu dapur, pakaian ganti, alat mandi dan sebagainya.   Demikian sekilas tentang "back packer".  Kembali berbicara tentang hotel ini, mengingat hotel ini tidak menyediakan fasilitas casino, maka kurang cocok bagi para pelancong dengan tujuan judi di pulau ini. Akhirnya hari pertama di Macau saya manfaatkan untuk tidur pulas tanpa gangguan apapun, meskipun dalam hati berkata “kalau cuma pingin tidur pulas, ngapain jauh-jauh ke Macau”. Tapi nggak apa-apa, hitung-hitung untuk mengumpulkan energi buat acara besoknya. Bener juga sekitar pukul 22.00 kami sudah tidur, setelah capek muter-muter jalanan di sekitar hotel. Pukul 04.00 bangun, sholat dan sebagainya. Makan pagi di hotel mulai pukul 07.00. Acara hari ini kami akan mengunjungi Senado Square, gereja Ruins of St Paul’s, Mount Fortress dan Museum of Macau, dan Ama Temple. Kalau kami mengikuti jadwal transportasi hotel yang berangkat pukul 08.00 kami kehilangan banyak waktu, karena tengah hari kami harus sudah berangkat ke Hongkong. Oleh karena itu kami langsung menuju ke Shuttle Bus Stop dekat hotel, dan dengan biaya 4.2 MOP kami langsung menuju ke arah Bus Stop di sekitar Hotel Grand Lisboa.   Ada yang unik dalam bus yang kami tumpangi.  Ternyata bahwa membayar ongkos bus dilakukan dengan cara memasukkan coin dengan jumlah yang pas ke kotak yang tersedia di dekat sopir.  Kalau ada kelebihan kita tidak akan dapat kembaliannya.  Karena isteri tidak punya uang pas dan kami merasa kebingungan,  ternyata orang-orang di dekat kami memberikan sejumlah uang receh untuk dimasukkan ke dalam kotak.  Eh..bagus banget orang-orang ini, bukan teman dan bukan saudara tapi kok mau menolong orang asing seperti kami.  Dalam hati, ah … ini mungkin gimana amal dan perbuatan!!! Eh tidak boleh ujub…! Dosa ..!  Ternyata kawasan Macau yang tidak terlalu luas wilayahnya, maka tempat yang kami kenali dari internet tidak terlalu sulit untuk ditemukan di lapangan yang sebenarnya.  Akhirnya kami berhenti di pemberhentian bus dekat Hotel Grand Lisboa. Hotel Grand Lisboa yang saangat unik bentuknya, sangat gampang dikenali.
  
Hotel Grand Lisboa
Dari sana kami berjalan kaki menuju ke Senado Square, yang bisa dianggap sebagai land marknya Macau. Kota Macau masih nampak sepi pada jam segini, dimana toko-toko masih pada tutup, demikian juga orang berlalu lalang. Tidak terlalu sulit untuk menemukan Senado Square (alun-alun Senado), karena merupakan area yang spesifik dan dikelilingi gedung-gedung dengan warna yang neo klasik berciri meditarian, sedangkan di tengah-tengah square terdapat air mancur yang cantik. Lantai Senado Square berupa paving block dari batu mosaik dengan warna klasik gaya Portugal.

  Senado Square dan Reruntuhan Gereja Ruins of St Paul's
Pada ujung Senado Square berdiri gedung Senat, dan pada ujung yang lain adalah gereja Dominic yang berdiri pada abad 17. Selanjutnya dengan berjalan kaki menyelusuri jalan-jalan yang tidak lebar, dan dengan memanfaatkan papan petunjuk yang ada, kami dapat menemukan jalan menuju ke Ruins of St Paul’s. Gereja Ruins of Paul’s atau masyarakat Macau lebih mengenal dengan nama Sam Ba Sing Tzik dibangun pada tahun 1580, dan dua kali terbakar pada tahun 1595 dan 1601. Gereja direkonstruksi mulai 1602 s/d 1637, dan menjadi gereja Katolik terbesar di Asia Timur pada saat itu. Namun adanya bencana angin taufan pada tahun 1835, gereja kembali terbakar untuk ketiga kalinya dan hanya meninggalkan dinding depan. Reruntuhan bangunan kuno ini akhirnya dijadikan monumen sejarah dan menjadi icon wisata Macau. Setelah mengamati berbagai relief pada dinding yang tersisa, dan ambil gambar secukupnya, perjalanan dilanjutkan ke Mount Fortress dan Museum of Macau. Mount Fortress merupakan pusat sejarah militer Macau, yang dibangun pada abad 16. Benteng ini merupakan benteng pertahanan yang berhasil mempertahankan Macau dari invasi Belanda pada tahun 1622. Peralatan militer yang bisa dilihat di benteng pertahanan ini antara lain beberapa meriam yang mengarah ke laut, sehingga memperkuat dugaan bahwa benteng ini memang dipersiapkan untuk memperkuat pertahanan pantai dari serangan musuh. Musem of Macau (Museu de Macau) dibangun di puncak bukit pada tahun 1990, namun karena baru dibuka pukul 10.00, maka kami tidak bisa melihat koleksi sejarah yang ada di dalam musem. Kerindangan pepohonan yang menaungi puncak bukit, serta fasilitas tempat duduk yang banyak tersedia, ditambah lagi dengan banyaknya masyarakat khususnya kaum manula melakukan kegiatan kesamaptaan jasmani, kami sangat menikmati berada di tempat ini. Setelah cukup puas berada di tempat ini, kami kembali turun dengan menempuh jalan yang sama. Kami melewati reruntuhan gereja Ruins of St Pauls, dan mampir di salah satu kios souvenir dan makanan di ujung jalan yang menghubungkan kembali ke Senado Square. Disitu kami mencicipi kue yang banyak dibicarakan para pelancong ke Macau, yaitu “egg tart” (kue telor). Kue seharga 7 MOP tersebut memang cukup lezat, apalagi setelah perut terasa lapar sehabis perjalanan yang cukup jauh dan menanjak ke Mount Fortress. Kami harus menyudahi perjalanan hari pertama kami, karena pada pukul 12.00 harus segera checkout dari hotel dan menuju ke Hongkong (bersambung ke Wisata Macau, Hongkong, Shenzhen bagian ke 2). Sebagai catatan, untuk hotel baik selama di Macau, Hongkong, ataupun Shenzhen, saya pesan secara online melalui Agoda, sehingga lebih mudah dan murah.