Minggu, 27 Mei 2012


BAGAIMANA MENYIKAPI SETIAP KEJADIAN KECELAKAAN PESAWAT TERBANG



Kecelakaan pesawat terbang, selalu mengundang berbagai tanggapan, ulasan, ataupun analisa dari berbagai kalangan.  Kejadian luar biasa ini selalu dimanfaatkan oleh berbagai media massa khususnya televisi untuk menayangkan acara yang secara khusus membahas kecelakaan,  dengan menghadirkan para nara sumber /pengamat penerbangan.  Inilah salah satu sisi buruk dari suatu informasi yang  sudah menjadi komoditi masyarakat, sehingga sering informasi hanya dipandang dari sisi “laku jual”.  Kecenderungan dari pandangaan tersebut menjadikan informasi tidak dinilai secara kualitas, namun hanya dilihat dari sejauh mana suatu informasi bisa memberikan dampak sensasi bagi masyarakat yang pada ujung-ujungnya akan meningkatkan rating penonton.
Black Box (VCR dan FDR). Menganalisa kecelakaan pesawat terbang mempunyai kesulitan tinggi karena minimnya saksi, yang sangat berbeda dengan menganalisa kecelakaan transportasi darat yang biasanya disaksikan banyak orang.  Salah satu contoh peristiwa jatuhnya SSJ 100 (Sukhoi Super Jet 100) di Gunung Salah yang sunyi sepi dan seluruh penumpang dan awaknya meninggal dunia, sehingga tidak ada saksi hidup yang bisa menjelaskan proses terjadinya kecelakaan. Dengan demikian pola sebaran serpihan pesawat, pola kerusakan bagian-bagian pesawat, posisi alat kendali, bekas tumbukan pesawat di tanah bisa digunakan sebagai petunjuk investigasi. Pola sebaran serpihan pesawat bisa memberikan petunjuk apakah pesawat meledak di suatu ketinggian atau jatuh baru meledak. Sudu-sudu kompresor yang terdeformasi  cenderung melengkung ke depan berarti saat kecelakaan kondisi mesin hidup, dan sbaliknya jika melengkung ke belakang berarti saat terjadi kecelakaan mesin pesawat dalam keadaan mati. Demikian juga posisi alat-alat kendali seperti tuas mesin, alat pendarat, flap bisa juga sebagai petunjuk investigasi.  Namun ada bagian pesawat yang merupakan saksi super penting yaitu black box. Black box terdiri dari dua komponen yaitu Voice Cockpit Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR). Voice Cockpit Recorder memuat dokumen pembicaraan antar crew dalam cockpit dan komunikasi antara pilot dengan ATC, sedangkan FDR memuat dokumen tentang data-data penerbangan (misalnya kecepatan, ketinggian, posisi pesawat, dan sebagainya). Hasil pengolahan data-data tersebut akhirnya bisa diambil sebuah kesimpulan tentang penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Heboh Analisa Pengamat Terhadap Kecelakaan Pesawat MA-60. Ambil sebuah contoh tentang kecelakaan pesawat terbang  MA-60 buatan Xian Aircraft nomor penerbangan MZ 8968 milik MNA di Kaimana Papua setahun lalu.  Kecelakaan tersebut begitu heboh diulas oleh para pengamat baik  yang memang berbasis kompetensi penerbangan ataupun pengamat “instant” yang sekedar ikut nimbrung. Kejadian ini menjadi menarik karena kebetulan pesawat yang jatuh merupakan produk China, dioperasika oleh maskapai milik BUMN,  belum tersertifikasi Federation Aviation Administration (FAA), dan proses pengadaannyapun dikatakan berbau kontroversi. Para nara sumber/pengamat beramai-ramai menyampaikan ulasan di media massa dengan parameter-parameter yang serba minim. Sebagian besar para nara sumber saat itu menduga kuat bahwa kecelakaan disebabkan karena faktor pesawat, antara lain kesalahan dalam design ataupun mengalami kegagalan sistem/strukturnya. Dalam sebuah gurauan dikatakan bahwa pesawat MA-60 buatan China ini ibarat “Mochin” yang kualitasnya kurang memadai.  Dalam acara “talk show” di salah satu TV seorang mantan pilot menyampaikan bahwa pesawat MA-60 saat melakukan “landing approach” tiba-tiba jatuh dengan posisi vertikal, sehingga dengan penuh keyakinan dikatakan bahwa pesawat tersebut bermasalah dalam stabilitas terbangnya. Bahkan beberapa anggota DPR juga ikut nimbrung memberikan ulasan dan merekomendasikan agar semua pesawat MA-60 di “grounded”, alias tidak boleh terbang sampai dengan diketemukannya penyebab kecelakaan. Kalau dengan kejadian ini seorang anggota DPR  mempertanyakan aspek cara pengadaannya, maka wajar karena DPR mempunyai hak budgeting. Tetapi kalau soal “grounded” pesawat terbang, mestinya sudah bukan wilayah DPR lagi. 
Hasil Investigasi KNKT. Beberapa minggu yang lalu KNKT telah mengeluarkan secara resmi hasil investigasi kecelakaan pesawat MA-60 di Pulau Kaimana Papua yang terjadi setahun lalu.  Tidak ada satupun pendapat, ulasan, ataupun analisa dari para nara sumber/pengamat yang cocok dengan hasil investigasi KNKT ini.  Dengan meyakini bahwa hasil investigasi KNKT diperoleh dari pengolahan berbagai data termasuk data yang tersimpan dalam black box, maka tidak satupun data yang mengarah bahwa pesawat sebagai penyebabnya.  Rekaman dalam VCR tidak terdengar adanya kegaduhan dalam cockpit sesaat sebelum kecelakaan. Hal ini membuktikan bahwa kecelakaan terjadi secara mendadak dan tanpa disadari oleh pilot/copilot, yang berarti pula kecelakaan tidak disebabkan oleh kegagalan struktur ataupun sistem.  Selanjutnya KNKT menyimpulkan bahwa kecelakaan disebabkan karena “human error”, yaitu pilot memaksakan pendaratan secara visual dalam kondisi yang tidak memenuhi syarat. Persyaratan pendaratan visual antara lain harus mempunyai jarak pandang minimal 5 km dan ketinggian dasar awan minimal 1500 kaki.  Pada saat itu bandara dalam keadaan cuaca buruk dengan jarak pandang hanya 2 km dan ketinggian dasar awan 1400 ft, sedangkan landasan tidak tersedia alat bantu untuk pendaratan secara instrumen. Kecelakaan pesawat terbang selalu dihubungkan dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor manusia (human), faktor pesawat terbang (machine), dan faktor media (cuaca, fasilitas bandara, dll). Menurut statistik “human error” andilnya  paling besar yaitu 66%;  faktor pesawat terbang 31.8% dan cuaca 13.2%. Ketiga faktor penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus. Berdasarkan pertimbangan tersebut berarti kecelakaan MA-60 di Kaimana diawali oleh faktor cuaca dan fasilitas bandara Utarom yang tidak memenuhi syarat untuk pendaratan dengan instrumen, yang akhirnya  memicu terjadinya “pilot error”. Dalam hal ini pilot memaksakan pendaratan secara visual pada kondisi cuaca yang tidak memenuhi syarat.  Seharusnya yang dilakukan pilot adalah membatalkan pendaratan dan melakukan “go around”.   
 Bagaimana Mensikapi Setiap Kejadian Kecelakaan Pesawat. Perbedaan tajam antara perkiraan penyebab kecelakaan hasil analisa para nara sumber/pengamat dengan hasil akhir investigasi oleh KNKT, hendaknya menjadi pembelajaran untuk lebih bijak dalam mensikapi terjadinya kecelakaan pesawat terbang.  Ketidak profesionalan para narasumber/pengamat dalam memberikan ulasan/analisa kecelakaan pesawat terbang akan banyak berdampak negatif. Ulasan yang mengarah kepada kesalahan design ataupun kegagalan struktur/sistem pesawat, telah membuat para pengguna jasa transportasi udara menjadi takut menggunakan pesawat terbang khususnya pesawat yang diisukan tidak layak terbang. Kondisi ini telah menyebabkan kerugian besar baik secara finansial maupun “image” bagi maskapai penerbangan selaku operator pesawat yang mengalami kecelakaan termasuk pabrik pembuat pesawat tersebut. Sekali lagi bahwa saksi yang sangat minim pada setiap kecelakaan pesawat terbang, membuat parameter-parameter sebagai pendukung dalam mencari penyebab terjadinya kecelakaan juga sangat terbatas. Asumsi-asumsi yang dibangun dengan menghubungkan antar parameter saat sebelum terjadinya kecelakaan seperti cuaca, jejak pesawat, komunikasi dengan ATC, riwayat pesawat terbang dan parameter-parameter yang lain sangatlah tidak cukup untuk membuat kesimpulan besar. Oleh karena itu para nara sumber/pengamat harus bisa mengeluarkan pernyataan secara bijak dalam mengulas kecelakaan pesawat terbang.  Ulasan yang bersifat normatif, general, namun akademis, mungkin malahan akan bermanfaat bagi pembelajaran publik khususnya tentang wawasan ilmu penerbangan. Tetapi jika ulasannya cenderung tendensius, dampak negatifnya akan lebih besar dan cenderung membingungkan serta membodohi masyarakat.  Kecelakaan SSJ 100 di Gunung Salak Bogor baru saja reda dari berbagai ulasan/analisa dari para nara sumber/pengamat. Kita menunggu sampai dimana tingkat akurasi dari ulasan yang disampaikan, dibandingkan dengan hasil investigasi KNKT yang semoga bisa diumumkan secara transparan kepada publik. Sebaiknya memang kita harus menunggu hasil investigasi KNKT.  Hanya sayang sampai artikel ini ditulis, FDR sebagai salah satu saksi kunci untuk membuka misteri penyebab kecelakaan pesawat tersebut belum ditemukan.   

SEMANGAT BELA NEGARA YANG MULAI LUNTUR

 Dikisahkan Panglima Besar Sudirman yang menderita sakit di Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta, tiba-tiba dikejutkan dengan suara ledakan. Ternyata ledakan tersebut berasal dari serangan Belanda ke kota Yogyakarta, sebagai wujud kemauan keras Belanda yang ingin mengulang kembali penjajahannya di Indonesia. Pak Dirman pada saat itu dalam kondisi sakit serius, karena baru saja menjalani operasi paru-paru yang mengakibatkan beliau hanya menggunakan paru-paru sebelah. Anak buah Pak Dirman berusaha untuk menutupi kejadian sebenarnya dengan mengatakan bahwa sumber ledakan berasal dari suara tembakan anak-anak buah beliau yang sedang menjalani latihan. Namun naluri keprajuritan Pak Dirman mengatakan bahwa ada suatu yang tidak beres telah terjadi pada negeri yang beliau cintai. Sadar terhadap kondisi negara yang sedang terancam, maka dalam kondisi sakit beliau menemui Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung Yogyakarta. Pada saat Pak Dirman menyampaikan niatnya untuk meminta ijin memimpin perang gerilya melawan Belanda, disitu terjadi dialog singkat tetapi sarat dengan nilai yang tidak akan terlupakan dalam sejarah perjuangan bangsa. Pada saat itu Bung Karno melarang dengan mengatakan : “Kangmas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota”. Permintaan Bung Karno tersebut dijawab dengan tegas oleh Pak Dirman dengan mengatakan : “Yang sakit adalah Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit”. Pernyataan ini mengandung makna intrinsik yang membedakan antara Sudirman sebagai individu dan Sudirman sebagai Panglima Besar. Sudirman sebagai individu lebih terwujud dalam bentuk fisiknya yang sakit, sedangkan panggilan tanggung jawab dan kehormatannya sebagai Panglima Besar terwujud dalam bentuk jiwanya yang sehat. Meskipun Sudirman saat itu dalam kondisi fisik yang lemah dan pergerakannyapun harus ditandu dari satu tempat ke tempat lainnya, namun jiwa Pak Dirman berlari sangat cepat dan bisa menguasai serta membakar semangat prajurit-prajuritnya untuk bertempur. Dengan demikian terwujud sosok pemimpin yang meskipun fisiknya sakit, tetapi jiwanya sehat dan bersemangat menggelora. Dalam kondisi seperti itu tidak ada satupun yang menyangkal bahwa yang ada dalam pikiran Sudirman saat itu hanyalah semangat untuk memberi kepada negara, dan mengesampingkan sama sekali pikiran untuk mengambil ataupun memanfaatkan apapun yang berasal dari negara. Inilah makna dari “bela negara” yang diimplementasikan oleh Pak Dirman. Bela Negara Merupakan Hak dan Kewajiban. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan bela negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 45. Sebagai hak berarti setiap warganegara sebagai subyek yang bisa menuntut kepada negara untuk diberi peran bela negara, sedangkan arti kewajiban berarti negara menuntut setiap individu untuk berperan sebagai bela negara. Dengan demikian setiap warganegara Indonesia berada pada posisi menuntut ataupun dituntut untuk melakukan bela negara sesuai dengan profesi dan kompetensi masing-masing. Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Bela negara merupakan fitroh manusia sebagai bentuk keserasian hubungan antara manusia dengan bumi tempat mereka berpijak. Nilai Bela Negara Tidak Pernah Berubah. Bela negara mempunyai nilai yang selalu sama dan tidak pernah akan berubah dari zaman ke zaman, serta berbagai perubahan situasi dan kondisi yang terjadi. Nilai yang tidak pernah berubah dari bela negara adalah sikap dan perilaku dalam bentuk pengabdian yang nyata kepada bangsa dan negara, sedangkan yang berbeda adalah implementasinya. Jadi nilai yang sama dalam bela negara adalah memberikan sesuatu kepada negara, sedangkan yang dimaksud dengan implementasi bela negara adalah bagaimana cara bela negara itu harus diwujudkan. Apa yang dilakukan oleh Panglima Besar Sudirman dengan memimpin serta mengatur taktik dan strategi perang merupakan implementasi bela negara yang paling cocok dan sangat dibutuhkan oleh negara pada saat itu. Negara saat itu sedang dalam kondisi “survive”, dan harus diselamatkaan dengan cara mengangkat senjata untuk bertempur melawan musuh negara yaitu Belanda yang ingin mengulang penjajahannya di Indonesia. Saat ini zaman telah berubah, demikian juga musuh negara juga telah berubah baik jenis, sifat, dan eskalasinya. Musuh negara bukan lagi dalam bentuk penjajahan secara fisik seperti dulu, tetapi justru banyak didominasi oleh permasalahan internal bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketidakpedulian, sikap eksklusivisme kelompok, disintegrasi bangsa, dan sebagainya. Akar dari semua permasalahan tersebut banyak disebabkan oleh nilai bangsa yang terus mengalami erosi dan degradasi, yang salah satunya adalah semangat bela negara yang semakin luntur. Semangat bela negara yang rendah secara nyata ditunjukkan mulai dari tingkatan masyarakat biasa sampai dengan sebagian para pejabat di negeri ini. Oleh karena itu bentuk implementasi bela negara justru banyak pada pembenahan diri baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Sikap dan perilaku sebagian dari masyarakat mulai dari rakyat biasa dalam bentuk tidak disiplin dan tidak jujur, sampai dengan beberapa penguasa yang tidak memikirkan kepentingan rakyat dan justru banyak menyalahgunakan kekuasaannya, merupakan musuh negara yang harus diperangi. Karena yang diperangi adalah diri sendiri, maka cara memeranginya harus dengan suatu kesadaran, yang salah satu caranya adalah penyadaran tentang membangun semangat bela negara. Bela Negara merupakaan interaksi antara manusia dengan negara. Tuhan telah mentakdirkan kita bangsa Indonesia untuk hidup di tanah air yang kaya raya ini, maka wajib hukumnya kita harus membalas kebaikan Negara dengan senantiasa menjaga agar tanah dan air Indonesia ini senantiasa terjaga potensinya untuk memberikan kehidupan penghuninya secara berkelanjutan baik untuk generasi saat ini sampai generasi-generasi yang akan datang. Eksplorasi kekayaan bumi yang bersifat terbarukan, maka wajib hukumnya bagi kita untuk menjaga terus kesetimbangannya. Hutan yang telah kita ambil kayunya serta laut dan sungai yang telah kita ambil ikannya, namun dengan mengimplementasikan bela negara yang baik, maka dengan penuh kesadaran kita akan melakukan reboisasi dan menjaga habitat kehidupan biota air dengan baik. Eksplorasi kekayaan bumi yang tidak terbarukan, maka dengan semangat bela negara kita akan menggantikannya dalam bentuk investasi bagi keberlanjutan kehidupan generasi yang akan datang.
Bagaimana Implementasi Bela Negara Saat Ini. Bela negara bukan hanya sekedar konsep, pandangan hidup, ataupun suatu gagasan/ide yang hanya cukup diendapkan di ranah kognitif. Sebaliknya bela negara harus diwujudkan dalam realita kehidupan, sikap, dan perilaku yang diwujudkan dalam ranah psikomotor dan afektif. Secara makro banyak kebijakan negara yang kurang mencerminkan nilai dan semangat bela negara. Ekonomi Indonesia yang sejak masa orde baru selalu dibanggakan karena mencapai angka pertumbuhan tinggi, tetapi kalau disimak bahwa ternyata pertumbuhan ekonomi tersebut banyak disumbang dari hasil eksplorasi kekayaan alam dan bukan dari produktivitas sumber daya manusia. Jika pertumbuhaan ekonomi sebagian besar hanya ditopang dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, maka pertumbuhan ekonomi tersebut akan bersifat tidak langgeng (unsustainable). Apabila semangat bela negara ditrapkan pada masalah ini, maka eksplorasi kekayaan alam yang dilakukan hasilnya akan dikembalikan sebagai investasi negara antara lain dalam wujud peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian sumber daya alam yang berkurang akan ditukar dengan produktifitas sumber daya manusia yang dipintarkan oleh hasil eksplorasi sumber daya alam. Kerusakan lingkungan akibat eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak seimbangnya tindakan restoratif yang dilakukan, menjadi salah satu bukti monumental tentang semakin langkanya sifat bela negara yang dimiliki oleh bangsa kita. Sebagian besar kita hanya bernafsu untuk mengambil sebanyak mungkin dari negara, tetapi sebaliknya enggan memberikan sesuatu kepada negara. Inilah perilaku yang berseberangan dengan makna bela negara. Barangkali Presiden AS Jonh F. Kennedey adalah seorang guru bela negara yang baik. Salah satu ajarannya yang banyak diingat sampai saat ini, yaitu : ”Jangan pikirkan apa yang telah diberikan oleh negara kepadamu, tetapi pikirkanlah apa yang kamu berikan kepada negara”.

Sabtu, 18 Februari 2012

HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN




HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN
 
Meski pengadaan pesawat terbang kepresidenan RI sudah direncanakan sejak tahun 2010, namun penyerahan secara resmi pesawat seri 737-800 Boeing Business Jet 2 (BBJ 2) pada tanggal 21 Januari 2012 ternyata mengundang banyak reaksi. Reaksi paling keras ditujukan kepada para penyelenggara negara yang tidak peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat yang lebih membutuhkan pelayanan yang lebih baik di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan.   Kebutuhan transportasi udara untuk perjalanan presiden baik dalam atau luar negeri saat ini selalu menyewa pesawat Garuda. Namun dengan pertimbangan beberapa aspek, maka pengadaan pesawat kepresidenan dianggap sebagai kebutuhan.  Sebenarnya sampai sejauh mana pentingnya Indonesia untuk memiliki pesawat kepresidenan, maka tinjauan ini didasarkan pada beberapa aspek.
Aspek Geografis.  Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (lebih dari 17.000 pulau) dan wilayahnya cukup luas.  Selanjutnya dengan keberagaman suku, agama, dan adat istiadat, maka seorang kepala negara harus menjadi perekat bangsa. Karena itulah seorang kepala negara siapapun orangnya, harus selalu dekat dan dicintai rakyatnya. Guna memperoleh itu semua, maka dalam mengeluarkan kebijakan seorang kepala negara harus selalu memihak kepentingan rakyat dan juga tidak kalah pentingnya harus sering mengunjungi rakyatnya.  Jangan sampai terjadi kecenderungan seperti pada akhir-akhir ini, sebagian masyarakat kita misalnya yang tinggal di daerah perbatasan lebih mengenal pemimpin negara tetangga dari pada pemimpin negeri sendiri. Agar memenuhi kebutuhan tersebut, maka satu-satunya jenis transportasi yang menjamin kecepatan, daya jangkau, serta fleksibilitas adalah pesawat terbang. 
Aspek Sejarah.  Presiden Indonesia terdahulu yang mempunyai masa jabatan lebih dari sekali masa jabatan dalam masa pemerintahannya, telah melakukan pengadaan pesawat kepresidenan.  Presiden pertama Bung Karno yang berkuasa selama 21 tahun, pernah memiliki DC-3/Dakota, Ilyushin 14, dan tiga buah pesawat jet transport Jetstar.  Pesawat DC-3/Dakota bernomor ekor RI 001 Seulawah merupakan hadiah dari rakyat Aceh, Ilyushin 14 hadiah dari pemerintah Uni Sovyet, sedangkan 3 Jet Star dibeli dari Lockhead AS.  Pesawat kepresidenan inilah yang digunakan untuk mendukung perjalanan sang presiden ke segenap wilayah Nusantara. Dalam perjalanan  ke luar negeri, Presiden Soekarno tidak selalu menggunakan Garuda karena belum mempunyai pesawat yang mampu untuk penerbangan jarak jauh.
Salah satu dari 3 C-140/Jet Star Pesawat Kepresidenan Era Bung Karno
 
 Ketika berkunjung ke AS dan bertemu dengan presiden Kennedy, Bung Karno justru menyewa pesawat Boeing 707 milik maskapai penerbangan AS yaitu Panam lengkap dengan awak cabin dan pilotnya. Presiden Sukarno juga mempunyai pesawat helikopter kepresidenan jenis Hiller 360A, yang penerbangan perdananya dilakukan  dengan membawa presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati keliling Jakarta secara bergantian, karena kapasitas helikopter hanya 1 penumpang saja. Helikopter Hiller 360 A diganti dengan dengan Bell 47 G dan Bell-47J-2E, serta Sikorsky S-58 yang berkapasitas lebih besar. Bahkan pada tanggal 11 Maret 1966 yang merupakan proses awal lengsernya sang presiden, Bung Karno terbang ke istana Bogor karena istana Merdeka dikepung oleh pasukan yang tidak diketahui identitasnya.

Helikopter Kepresidenan Hiller 360 A
Presiden Soeharto sebagai pengganti Bung Karno, termasuk mengeluarkan kebijakan untuk mengganti semua pesawat kepresidenan yang pernah dipakai Bung Karno. Pada awal pemerintahan Soeharto menggunakan pesawat C-130/Hercules TNI AU untuk perjalanan dalam negeri, sedangkan untuk lawatan ke luar negeri menyewa pesawat milik Garuda. Pesawat yang digunakan antara lain DC 8, DC 10, dan MD 11.  Bahkan pesawat MD-11 Garuda beregistrasi PK-GIM, merupakan pesawat yang mengantarkan Soeharto ke Mesir yang sekaligus merupakan  perjalanan terakhir sebagai seorang presiden pada bulan Mei 1998.  Selama masa pemerintahannya Presiden Soeharto pernah membeli beberapa pesawat, yaitu Fokker 28, Bae 146 buatan British Aerospace, dan Avro RJ-185. 
Salah satu pesawat kepresidenan era Suharto BAe 146

Soeharto lengser dan digantikan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, dengan masa kepemimpinan yang hanya beberapa bulan.  Pada masa pemerintahan presiden Abdul Rachman Wahin (Gus Dur), Megawati, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono, dalam melakukan perjalanan baik ke dalam ataupun luar negeri selalu  menggunakan Garuda.  Pesawat yang digunakan antara lain Airbus A-330  ataupun  Boeing 737 series.  Ada sedikit catatan yang berhubungan dengan penggunaan pesawat untuk mendukung perjalanan pada saat masa pemerintahan Gus Dur.  Karena seringnya bepergian ke luar negeri, maka dengan pertimbangan penghematan biaya perjalanan, Gus Dur pernah menggunakan Boeing 707 milik TNI AU yang tentu sebelumnya harus mengalami perbaikan dan perubahan konfigurasi.  Ada suatu kejadian yang agak tidak mengenakkan pada saat kunjungan Gus Dur ke Australia dengan menggunakan Boeing 707 ini.  Pada saat itu pesawat terpaksa didaratkan secara darurat  di Darwin setelah diketahui indikator tekanan oli menyala, yang dicurigai terjadi kerusakan pada sistem pelumasan mesin.  Akhirnya Gus Dur beserta rombongan menggunakan pesawat angkut Australian Air Force untuk melanjutkan perjalanan ke Sidney, dan pulangnya ke tanah air dijemput pesawat Garuda. Kejadian tersbut menuai kritikan dari para anggota DPR lantaran biaya perjalanan menjadi membengkak dua kali. 
Boeing 707 TNI AU yang membawa Gus Dur ke Aussie

Berdasarkan aspek sejarah sebenarnya Indonesia telah memiliki pesawat kepresidenan semenjak era presiden pertama, sehingga keinginan memiliki pesawat kepresidenan pada era presiden sekarang merupakan hal yang wajar.

Aspek Keamanan

Meskipun standar pengamanan seorang presiden selalu disesuaikan dengan eskalasi ancaman terhadap negara yang bersangkutan, namun standar minimal pengamanan selalu diberikan bagi seorang kepala negara.  Pengamanan tersebut diberikan dalam berbagai hal tidak terkecuali alat transportasi yang digunakan termasuk pesawat terbang.  Pesawat terbang kepresidenan akan memberikan jaminan keamanan yang lebih baik dari pada pesawat sewaan.  Berbagai alasan karena pemeliharaan dan pengoperasian pesawat bisa dilakukan oleh SDM dengan integritas, kompetensi, dan security awareness yang tinggi. Dengan demikian peluang terjadinya ancaman terhadap keamanan presiden melalui wahana transportasi udara berupa pesawat terbang kepresidenan akan menjadi lebih kecil dari pada jika menggunakan pesawat sewaan. Disamping itu pesawat kepresidenan juga dilengkapi peralatan keamanan misalnya badan pesawat yang dirancang anti peluru, pemasangan anti jamming guna melindungi sistem komunikasi pesawat dari gangguan lawan, dan sebagainya.  Dengan demikian seorang kepala negara yang sarat dengan tugas-tugas kenegaraan harus juga diberikan jaminan keamanan yang lebih baik dalam penerbangan. Keamanan dalam penerbangan bagi seorang kepala negara akan lebih terjamin jika memiliki pesawat kepresidenan sendiri.  
    
Penggunaan Pesawat Kepresidenan Lebih Efisien dan Optimal

Berdasarkan penjelasaan dari Sekretaris Kemensesneg Lambock  Nahattands bahwa biaya sewa pesawat terbang pada tahun 2005 s/d 2009 sebesar  90,4 juta dollar AS, dengan kenaikan biaya sewa setiap tahun sebesar 10%.  Adapun jika membeli pesawat BBJ2 dengan harga 91,2 juta dollar AS, biaya perawatan dan operasional selama 5 tahun sebesar 36,5 juta dollar AS. Kemudian jika diperhitungkan depresiasi pesawat selama 5 tahun senilai 10,423 juta dollar AS dan nilai buku aset pesawat sebesar 80,785 juta dollar AS, maka akan diperoleh penghematan 32,136 juta dollar AS. Gambaran di atas merupakan penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan pemilikan sendiri dibanding dengan sewa selama 5 tahun. Penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan cara memiliki sendiri dibanding dengan cara sewa pesawat akan terus bertambah seiring dengan semakin lamanya usia pemakaian pesawat.  Selanjutnya pemakaian pesawat juga akan lebih optimal, karena tingkat kesiapan (readiness rate) yang lebih tinggi.
Berdasarkan catatan di atas, maka sebaiknya pengadaan pesawat kepresidenan tidak perlu diributkan lagi.  Proses pengadaan ini sudah dimulai sejak tahun 2010 dan sudah dibayar lunas dengan cara pembayaran dicicil tiga kali.  Secara prosedural menurut aturan pengadaan barang yang dibiayai APBN sudah benar yang dimulai antara lain penentuan spesifikasi teknik, persetujuan DPR, proses tender dan sebagainya.  Namun proses pengadaan baru pada pembayaran harga “green aircraft” sebesar 58,6 juta dollar AS. Yang dimaksud “green aircraft” adalah pesawat kosong belum termasuk interior kabin dan sistem keamanan.  Pengadaan interior kabin dianggarkan sebesar 27 juta dollar, sistem keamanan sebesar 4,5 juta dollar, dan biaya administrasi sekitar 1,1 juta dollar AS.  Menurut Sekretaris Kemensetneg, pengadaan interior kabin dan sistem keamanan saat ini dalam proses pelelangan yang pemenangnya ditentukan pada akhir Februari ini.  Dengan adanya reaksi keras dari masyarakat terhadap pengadaan pesawat terbang kepresidenan ini, diharapkan dapat menekan harga pengadaan interior kabin dan sistem keamanan menjadi lebih rendah dari pada pagu yang dianggarkan.
Kemudian ada beberapa pertanyaan mengapa pesawat kepresidenan tidak menggunakan produksi dalam negeri.  Kebutuhan pesawat terbang kepresidenan tentu disesuaikan dengan luas wilayah geografi Indonesia, juga termasuk pemetaan jarak negara-negara yang akan dikunjungi.  Oleh karena itu dibutuhkan pesawat yang bisa terbang cepat dan stamina terbang (flight endurance) yang tinggi, sehingga jarak capai penerbangan menjadi lebih jauh.  Selain itu kapasitas penumpang juga harus disesuaikan dengan jumlah rombongan presiden pada setiap kunjungan baik di dalam maupun ke luar negeri.  Pesawat dengan spesifikasi teknik tersebut belum dibuat di PTDI sampai saat ini.  Pesawat transport produksi PTDI yang sudah banyak digunakan baik sebagai angkut militer maupun sipil di beberapa negara adalah CN 235. Pesawat CN 235 merupakan pesawat transport ukuran sedang bermesin turboprop dengan kecepatan jelajah sekitar 450 km/jam, sedangkan kapasitas hanya 44 penumpang. Bandingkan dengan kecepatan pesawat BBJ 2 yang terbang dengan kecepatan lebih dari dua kali CN 235, serta mempunyai flight endurance sekitar 9 jam. Kapasitas penumpang CN 235 hanya 44 orang, sedangkan kapasitas pesawat BBJ2 lebih dari 150 penumpang.  Namun kapasitas pesawat BBJ 2 setelah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan konfigurasi pesawat kepresidenan, maka jumlah tempat duduk bisa berkurang menjadi sekitar setengahnya. Pengurangan jumlah tempat duduk tersebut antara lain karena ruangan diambil untuk penyediaan ruang tidur, ruang rapat, dan sebagainya. Memang kadang kita lupa dengan menganggap bahwa presiden adalah manusia super. Padahal seorang presiden kurang lebih juga sama dengan kita dalam hal ketahanan fisik, apalagi usia seorang presiden biasanya sudah tergolong “senior”. Dalam penerbangan yang lama, ia butuh istirahat, santai, dan ingin memanfaatkan setiap peluang untuk hal-hal yang berhubungan dengan tugas kepresidennya, misalnya bisa melakukan rapat, jumpa pers, atau bisa memberikan perintah atau arahan kepada para pejabat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar jika pesawat kepresidenan dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk mendukung keperluan tersebut.  
Dalam rangka menjangkau seluruh wilayah Indonesia, memang belum cukup kalau hanya menggunakan BBJ2 sebagai pesawat kepresidenan, karena pesawat ini tentu tidak bisa mendarat pada landasan pendek semacam lapangan terbang perintis.  Oleh karena itu, idealnya selain pesawat BBJ2 masih harus didukung pesawat sejenis CN 235 yang mampu mendarat pada landasan pendek, dan juga helikopter untuk mengunjungi daerah-daerah yang jauh dari lapangan terbang.
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebaiknya pembelian pesawat kepresidenan ini tidak usah dihebohkan, karena semua telah dilakukan dengan pertimbangan berbagai aspek termasuk prosedur pengadaannya.  Hal ini perlu agar atmosfer negeri ini tidak bertambah semakin keruh, yang pada akhirnya hanya akan menurunkan kinerja kita sebagai komponen bangsa.