Tampilkan postingan dengan label Wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Februari 2016

REKREASI PENGURUS CABANG PPAU 03 DIY KE SARANGAN DAN LANUD IWY

Ingat santiaji  yang diberikan senior saat pendidikan di AAU, bahwa “rekreasi” didefinisikan secara sederhana dengan menggabungkan kata “re” dan “kreasi” yang artinya kegiatan untuk mengembalikan kreasi. Jadi  semua kegiatan yang berdampak  meningkatnya daya cipta disebut “rekreasi”. Tidak peduli jenis kegiatan apapun olah raga, bermain musik, kegiatan rohani, bahkan tidurpun sejauh memberikan kesegaran dalam berkreasi maka kegiatan tersebut termasuk “rekreasi”.  Mungkin definisi ini digunakan untuk tidak membatasi pemahaman para Karbol bahwa rekreasi itu hanya diartikan pada kegiatan “pesiar” ke luar kampus.  Kegiatan rekreasi yang bertujuan meningkatkan daya cipta, mungkin sudah tidak terlalu penting bagi sebagian besar para orang tua. Kemunduran fisik dan psikologis para pensiunan yang notabene orang tua, menganggap yang terpenting dalam kegitan rekreasi hanya untuk mendapatkan “fun” atau kegembiraan. Dengan kegembiraan  yang diperoleh bersama komunitasnya, maka akan memberikan suasana relaks dan santai yang sedikit banyak akan berpengaruh positif pada kesehatan fisik dan jiwa. Dengan pertimbangan tersebut dan sekaligus melaksanakan program kerja tahun 2016, pada tanggal 14 sd 15 Januari 2016 Pengurus PPAU Cabang 03 DIY mengadakan kegiatan rekreasi ke Sarangan dan Lanud Iswahyudi yang dikoordinir oleh Ketua Bidang Wanita yaitu Ibu Nancy Eko Budiono.
Syukur alhamdulillah ibarat gayung bersambut, Komandan Lanud Iswahyudi (Marsma TNI Fachri Adamy) berkenan memberikan berbagai fasilitas dan keperluan dalam kegiatan wisata ini. Kami rombongan berjumlah 20 orang diberikan fasilitas akomodasi mulai dari kedatangan sampai dengan pulang ke Yogya pada keesokan harinya. Rombongan bermalam di Ghraha Cirro Stratus yang berlokasi pada ketinggian di tepian telaga Sarangan, sehingga memberikan view yang indah sekali.  Pada hari pertama tidak banyak yang dilakukan kecuali makan siang/malam, bersantai ria sambil bernyanyi dan menari poco-poco diiringi organ tunggal di Hall Cirro Stratus.  Bahkan pada sore hari Komandan Lanud Iwy berkenan menyambangi kami didampingi Kadisops dan Kadispers mengobrol santai tentang berbagai hal sampai waktu maghrib.  

Bergembira di tepian Telaga Sarangan

 Acara keesokan harinya merupakan pengalaman yang spektakuler khususnya bagi para ibu-ibu.  Setelah pagi-pagi rombongan melakukan kegiatan di tepi telaga seperti joging, naik kuda ataupun speed boat mengitari telaga, maka dilanjutkan kunjungan ke Lanud Iwy. Kebetulan pada saat kami turun dari kendaraan bersamaan dengan 6 penerbang yang baru turun dari cockpit  pesawat F-16/Fighting Falcon yang baru saja diterbangkannya.



Para penerbang F-16/Fighting Falcon foto bersama dengan Pengurus PPAU 
Cabang 03 DIY
Kontan para ibu mendaulat untuk foto bersama.  Akhirnya 6 penerbang yang masih muda dan gagah, lengkap dengan “flying suits” nya berpose jongkok di depan para purnawirawan.  Bagai anak yang diberi mainan baru, maka anggota rombongan terutama ibu-ibu saling berfoto dan ber-selfie ria di depan pesawat F-16 yang nampak gagah dan angker.   
Setelah puas di Skadron 3 perjalanan dilanjutkan ke Skadron 14 pesawat F-5/Tiger. Pesawat F5/Tiger buatan North Throp AS yang berkemampuan supersonik pada awal tahun 1980-an mengingatkan kita pada pesawat-pesawat yang berkemampuan intercepter supersonik yang pernah dimiliki TNI AU. Pada tahun 1960-an TNI AU memiliki beberapa pesawat supersonik seperti MIG 19 dan MIG 21 buatan Uni Sovyet.  Namun setelah itu terjadi kevakuman yang cukup lama,  ketika semua pesawat buatan Uni Sovyet tidak boleh diterbangkan.  Meskipun telah digunakan TNI AU selama hampir 35 tahun, F-5 masih nampak kokoh berwibawa sebagai pesawat buru-sergap (intercepter).  Terakhir kami mengunjungi Skadron 15 pesawat T-50/Golden Eagle buatan Republik Korea.  Melihat pesawat ini mengingatkan kami pada peristiwa tanggal 20 Desember 2015 di Lanud Adi, yang mengakibatkan gugurnya 2 pilot dan pesawatnya mengalami total lost.  Hari saat kunjungan bertepatan dengan 40 hari sejak kejadian tersebut, di mana malam harinya akan diadakan acara kirim do’a kepada ke dua arwah pilot yang gugur oleh seluruh anggota Lanud Iswahyudi. 


Foto bersama dengan latar belakang pesawat T-50/Golden Eagle
 Sebagai penutup acara, rombongan dijamu makan siang bersama Komandan Lanud beserta staf dengan menu makanan khas Madiun/Jawa Timur yaitu soto dan rujak cingur yang lezat merangsang selera. Pada saat rombongan kami berpamitan, Komandan Lanud Iwy menyampaikan bahwa hubungan kita ibarat orang tua dan anak, yang tentunya anak akan siap menerima setiap kehadiran orang tua.  Selanjutnya Komandan mendoakan agar kami para purnawirawan senantiasa diberi kesehatan dan bisa merasakan kebahagiaan dalam menjalani masa pensiun. Bagi kami para purnawirawan yang dianggap orang tua, tentu harus tahu betul kondisi anak dan selalu mendoakan agar anak senantiasa diberikan keselamatan, kelancaran dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas negara.  Sebelum meninggalkan Lanud Iwy kami mendapat kehormatan foto bersama dengan Komandan Lanud Iwy.

Kami rombongan meninggalkan Lanud Iwy setelah lepas tengah hari dengan perasaan haru, bangga, senang, puas bercampur aduk menjadi satu. Terus terang penerimaan dan penghormatan yang diberikan Komandan Lanud Iwy beserta staf kepada rombongan, jauh melebihi ekspektasi yang kami bayangkan.  Kami meyakini bahwa ada ketentuan Tuhan yang tidak pernah berubah sepanjang zaman, bahwa kebaikan pasti akan berbuah kebaikan meskipun kita tidak pernah tahu kapan dan dari mana datangnya. Mungkin kebaikan itu kita peroleh  lantaran kita dulu pernah menjadi pembina, guru ataupun senior yang membimbing mereka. 

Foto bersama dengan Komandan Lanud Iwy
  
Atau bisa jadi kebaikan itu kita terima karena kebaikan sesepuh TNI AU/para purnawirawan senior yang pernah membimbing dalam meniti karier mereka di TNI AU ….. 






Jumat, 29 Januari 2016

WISATA “BACKPACKINGAN” KE THAILAND



Ini adalah kali yang ke tiga saya ke Thailand dan kali yang ke dua perjalanan “backpackingan”. Pertama kali ke Thailand saat masih aktif di TNI AU pada tahun 1994 dalam acara “officers exchange visit” antara TNI AU dengan RTAF. Pada tahun 2014  kami berenam ke Thailand pada saat Bangkok digoncang demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Si Cantik Yingluck Shinawatra.  Pada kesempatan tersebut kami berkunjung ke Bangkok, Pantai Pattaya, Silver Lake di Propinsi Chonburry serta  Supattra Land di Provinsi Rayong. Di Supattra Land kami meninjau perkebunan buah seperti durian, jambu, mangga, kelengkeng, manggis, anggur dan sebagainya. Sedangkan di Silver Lake utamanya adalah perkebunan anggur, disamping ada buah labu, buah naga serta taman bunga yang cukup luas dan tertata sangat indah. Pada bulan Agustus 2015 kami bersepuluh kembali meninjau berbagai obyek wisata yang kali ini di wilayah Thailand Utara  yaitu di provinsi Chiang Mai dan Chiang Rai. Rombongan kami hampir semuanya pakar tanaman, kecuali saya saja yang awam kecuali hanya sebagai “penikmat” saja. Mereka adalah dosen pertanian ataupun pengusaha perkebunan khususnya kelengkeng yang sudah “go national”. Oleh karena itu wisata kami lebih banyak berfokus pada obyek-obyek yang berhubungan dengan masalah pertanian dan pertanaman (agriculture and plantation).  Namun tulisan akan memuat obyek yang baik-baik secara umum dan dianggap bernilai lebih.
 Kami bersepuluh menamakan diri “Komunitas Jalan-jalan Yogya”, karena semuanya asli Yogya yang mempunyai hobi jalan-jalan.  Namun “jalan-jalan” yang kami lakukan sangatlah mandiri, yang dimulai dari perencanaan, menentukan obyek, menyusun itinerary (jadwal perjalanan), pengelolaan biaya, dan semuanya berbasis “backpackers”. Artinya semua dilaksanakan dengan dasar “limited-budget” alias dana terbatas. Saya pernah menulis di majalah ini tentang “Wisata Backpacker” yang memuat kiat-kiat agar bisa jalan-jalan dengan biaya murah. Semua komponen wisata mulai dari transportasi udara, transportasi lokal, tempat tinggal dan makan harus ditekan seminim mungkin, tetapi tetap pada batas aman, sehat dan nyaman. Perjalanan dengan membawa rombongan baru kali ke dua kami lakukan, karena sebelumnya hanya berdua saja dengan isteri. Tapi dengan bertambahnya usia terasa ada penurunan kepercayaan diri kalau bepergian jauh, sehingga butuh teman. Dari kunjungan selama 5 hari efektif (termasuk 1 hari transit di Kualalumpur), ada 14 obyek wisata yang kami tinjau.  Setelah mendarat dan menyelesaikan urusan imigrasi  di Bandara Internasional Chiang Mai selesai serta “drop luggage” di hotel, kami langsung menuju obyek-obyek yang tertulis di itinerary pada hari ke 1.  Ada 5 obyek yang kami kunjungi, yaitu peristirahatan raja di Bhuping Palace, kuil terbesar Wat Phratap Doi Suthep, kampung industri sutra dan payung di Borsang dan Khampaeng, Raja Pruek Park, dan Queen Sirikit Botanical Garden. Namun yang paling berkesan yaitu kunjungan adalah taman bunga Raja Pruek. Pada tahun tahun 2006 pemerintah kerajaan Thailand menyelenggarakan pameran taman bunga dalam rangka memperingati 60 tahun penobatan Raja Bhumibol Adulyadej, sekaligus merayakan ulang tahun Sang Raja yang ke 80.   Pameran tersebut dianggap sangat sukses karena berhasil menghadirkan pengunjung lebih dari 3 juta orang.  Taman seluas 200 hektar tersebut akhirnya dijadikan pusat studi agrikultur dan obyek agro-wisata serta budaya tingkat internasional.

Salah sudut tanaman bunga di dalam green-house ber AC di Royal Raja Pruek

Pada tanggal 23 Januari 2010, Raja memberikan nama “The Royal Park Rajapruek”. Dari sekian keindahan berbagai macam bunga dan tatanan artistiknya, saya sangat tertarik dengan area  situs taman anggrek, khususnya anggrek yang ditanam dalam  rumah tertutup beratap plastik transparan (green house).  Pada saat kami datang pintu dalam kondisi tertutup, dan saya mencari barang kali ada penjaga taman yang bisa membantu kami untuk masuk dan melihatnya. Ternyata setelah tepat di depan pintu, maka secara otomatis pintu bergeser membuka. Dengan terbukanya pintu maka kami merasakan tiupan udara dingin dari dalam green house yang sangat menyejukkan. Pemandangan di dalam green house sangat membuat orang terkagum-kagum dengan bunga anggrek yang diselang-seling dengan bunga2  yang berwarna-warni. Dalam green house  dilengkapi AC dan banyak blower angin, yang kelihatannya untuk mendistribusikan udara dingin ke seluruh ruangan yang luas.  Kami berlama-lama di tempat itu karena selain memanjakan mata dengan pemandangan yang indah, juga menikmati sejuknya udara ber AC di saat suhu udara Chiang Mai yang cukup panas.
            Pada hari ke dua, kami pukul 08.00 berangkat menuju ke obyek yang berada di wilayah bagian utara-barat dekat dengan perbatasan Myanmar. Di sana kami melihat perkebunan jeruk dengan luas sekitar 400 hektar yaitu Orange Farm Thanathon Orchard.  Lama perjalanan sekitar 3 jam dengan minibus dari Chiang Mai. Dalam perjalanan kami menjumpai tanaman hijau di kiri kanan jalan yang kami lalui. Yang dominan adalah pohon jati dan buah-buahan terutama kelengkeng.  Akses masuk ke perkebunan ini langsung dari jalan raya, terus kita masuk ke ruang penjualan produk mereka.  Tiket masuk 90 Bath atau 40 ribu rupiah termasuk untuk angkutan keliling kebun menggunakan mobil odong-odong berbentuk kapal (boat car).  Orange Farm Thanathon Orchard sebenarnya ada di 2 lokasi yaitu yang saya kunjungi sekarang dengan luas 400 hektar dan di tempat lain yang berjarak 60 km seluar 700 hektar.  

Untuk mengelilingi perkebunan yang sangat luas digunakan boat car (mobil odong-odong berbentu perahu)

Tapi sayang bulan Agustus bukan masa panen, sehingga yang berbuah baru sebagian itupun masih kecil-kecil. Dalam perjalanan kami diajak untuk berhenti di beberapa spot yang menghadirkan view yang indah sekali.  Perkebunan ini selain menanam banyak varietas jeruk, ternyata juga menanam buah naga. Hal menarik yang menjadi perhatian kami adalah bahwa mereka menggunakan cara yang konvensional dalam memelihara kebun buah yang sangat luas ini.  Dalam memenuhi kebutuhan air, di area perkebunan dibuat beberapa empang yang cukup luas guna menampung air hujan dan juga menjaga kelembaban udara di sekitar kebun.  Kemudian nampak ada jaringan pipa untuk mendistribusikan air ke seluruh kebun dengan cara dipompa, dan menyembur melalui nosel-nosel yang nampak tersebar di seluruh kebun.  Kunjungan ke kebun ini berakhir di tempat yang sama dengan saat datang, di mana dijual berbagai macam souvenir dan produk makanan dari jeruk.  Mengingat hari terasa panas, maka kami minum juice jeruk dari kemasan dalam botol-botol plastik yang lucu. Segar rasanya meminum jeruk yang dipetik dari kebun dan langsung diperas dengan mesin pemeras.

 Penyiraman kebun dengan memompakan air secara terjadwal

Setelah merasa puas di tempat ini,  kami melanjutkan perjalanan menuju obyek berupa taman yang namanya “Mae Fah Luang ”. Taman ini terletak di bukit Doi Tung yang sudah masuk wilayah provinsi Chiang Rai dan dekat dengan perbatasan Myanmar.  Perjalanan yang tadinya datar kali ini harus menanjak dan berbelok-belok, karena tempat yang kami tuju terletak di punggung bukit dengan ketinggian sekitar 1500 m dari dasar laut.  Mobil van merk Commuter Toyota yang dimuati 11 orang termasuk driver, terasa enteng saja menaiki punggung bukit yang cukup terjal dan sempit ini. Pemandangan kiri kanan jalan hampir sama seperti layaknya jalanan perbukitan di Indonesia, yang dipenuhi pepohonan rimbun. Setelah setengah jam perjalanan, sampailah ke lokasi yang kami tuju. Asal usul cerita, taman yang terletak di lereng perbukitan ini dulu merupakan kebun opium yang sangat luas. Saya hanya membayangkan betapa seremnya daerah pegunungan ini, jika sekelilingnya adalah perkebunan opium yang tidak dilegalkan oleh dunia. Bahkan konon di daerah ini juga terkenal dengan perdagangan senjata gelap. Tentu kedua komoditi yang dilarang itu pasti akan mengundang berbagai kejahatan. Ibu dari Raja Thailand saat itu berhasil merubah perkebunan opium sekaligus tempat perdagangan barang terlarang tersebut menjadi sebuah kebun bunga yang indah.  Taman “Mae Fah Luang” yang artinya “ibu putri yang turun dari langit”, diberikan sebagai penghormatan kepada Ibu Putri.  Taman seluas 10 hektar tersebut telah menjadi obyek wisata dunia yang sangat populer. Tepat di tengah-tengah taman dibangun patung yang diberi nama “Continuity”. Mungkin kalau dalam bahasa Indonesia adalah “keberlangsungan” atau dalam bahasa Arab sama dengan “istiqomah”. Maknanya dengan usaha yang konsisten, terus menerus dan bersungguh-sungguh, maka kesuksesan akan bisa diraih.  

Hampirilah Tuhanmu saat engkau lapang, maka Tuhan akan menghampirimu saat engkau sempit.
Maka dalam keadaan senang rombongan tetap melaksanakan kewajiban dalam kondisi seadanya
dibawah Patung “Continuity” yang terletak di tengah2 taman.
Acara hari ke tiga ini adalah mengunjungi perbatasan wilayah 3 negara yaitu Thailand, Myanmar dan Laos  yang lebih dikenal dengan Golden Triangle (segitiga emas). Daerah ini dulunya juga merupakan produsen dan perdagangan opium dan senjata gelap.  Kebun opium di wilayah perbukitan Doi Tung konon bisa memenuhi 70% kebutuhan dunia.  Perdagangan opium dan senjata gelap sangat terdukung oleh faktor geografis, mengingat daerah ini langsung berhubungan dengan daratan tiga negara yang hanya dibatasi sungai.  Namun di sisi lain dunia harus mengakui cara pemerintah Thailand yang konon mengetrapkan strategi dengan tidak menggunakan “hard power” melainkan “soft power”.  Pemerintah Thailand tidak merusak perkebunan opium mereka, juga tidak mencaci maki profesi penanam opium, dan tindak-tindak intimidasi atau agitasi serta tindakan kekerasan lainnya.  Mereka hanya melakukan pendekatan persuasif dengan merebut hati dan mengisi perut mereka. Usaha tersebut  secara perlahan tetapi pasti, telah menjadikan tempat  dan budaya masyarakat sekitar menjadi berubah 180 derajad. 

 Dengan perahu kecil bermotor, anggota rombongan telah siap di dermaga
untuk menyeberangi Sungai Mae Khong menuju Laos

Thailand dan Myanmar dibatasi oleh Ruak River, Myanmar dan Laos demikian juga antara Laos dan Thailand dibatasi oleh sungai besar yang cukup terkenal yaitu Mae Khong River. Jadi ada dua pertemuan antara Ruak River yang mengalir ke Mae Khong River, dan sekaligus membatasi ke tiga negara tersebut.  Daratan Myanmar terlihat sangat dekat dari wilayah Thailand di  tepian Mae Khong, demikian juga wilayah Laos.  Cuma yang agak geli, bangunan menyolok yang pertama kali terlihat di daratan Laos dan Myanmar itu adalah Gedung “Casino”.  Sementara kalau di Thailand ditandai dengan patung besar berwarna keemasan Phra That Doi Pu Khao yang duduk di atas kapal.  Apa ini artinya Laos dan Myanmar memaklumatkan sebagai negara yang melegalkan judi dan kemaksiatan lainnya, sedangkan Thailand mensimbolkan sebagai negara yang religeous? Wah logika ini tentu tidak pas, dan semuanya bisa jadi hanya kebetulan saja. Kami berangkat dari dermaga kecil di Thailand menelusuri Mae Khong ke wilayah perbatasan Myanmar untuk melihat dari dekat, selanjutnya menyeberang dan mengikuti arus sungai untuk masuk ke wilayah kecil di Laos.  Sungai Mae Khong cukub lebar dan air nampak berlimpah dengan gelombang yang lumayan tinggi, sehingga perahu motor kecil yang kami tumpangi melaju dengan hidung yang mengangguk-angguk. Perahu akhirnya merapat di dermaga kecil di Pasar Don Sao wilayah Laos.   Pasar yang memperdagangkan souvenir hasil kerajinan lokal ini berukuran tidak luas, namun cukup banyak turis yang datang untuk membelanjakan uangnya. Rombongan kamipun tak terkecuali, karena berpendapat kapan lagi mendapatkan souvenir berlogo Laos di tempatnya kalau tidak sekarang.  Yah perjalanan pagi sampai siang ini bisa dibilang paling seru, karena melihat Myanmar secara dekat dan masuk menelusup ke negara Laos meskipun hanya pinggirannya yaitu sebuah pasar yang bernama Don Sao.      



Sungai Ruak dan Mae Khong membagi wilayah Thailand, Myanmar dan Laos.
Bangunan kanan sungai adalah gedung Casino Laos

Perjalanan berikutnya adalah kembali ke Chiang Mai, namun dalam perjalanan balik ada 2 obyek wisata yang kami kunjungi salah satunya yaitu Wat Rhong Kun.  Wat Rhong Khun merupakan kuil terbaru di Thailand dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan kebanyakan kuil yang ada di Thailand. Kuil yang berwarna serba putih  ini dibangun oleh seorang artis kelahiran Chiang Rai bernama Chalermchai Kositpipat dengan uangnya sendiri yang telah menghabiskan biaya 140 juta Bath. Kuil mulai dibangun pada tahun 1997 dan dibuka untuk umum secara gratis tahun 2009. Untuk memasuki bangunan utama yang disebut “ubosot” harus melewati sebuah jembatan yang disebut “siklus kelahiran kembali” atau “the cycle of rebirth”. Di sebelah kiri dan kanan jembatan, terdapat ratusan replika tangan-tangan yang menggapai-nggapai, menggambarkan bagaimana penderitaan orang-orang yang mendapatkan siksa neraka karena dosa-dosanya. Setelah melewati jembatan para pengunjung sampai pada suatu bangunan yang disebut  “gate of heaven” atau gerbang nirwana. Dari keseluruhan bangunan Wat Rhong Khun yang serba putih cerah itu, ada sebuah bangunan dengan cat kuning keemasan yaitu toilet. Bangunan warna emas  katanya merupakan representasi dari bodi (badan) yang menggambarkan nafsu dan uang.  Sedangkan bangunan warna putih merupakan representasi dari pikiran atau jiwa yang jauh dari nafsu harta dan kekayaan.

 Bangunan utama Wat Rhong Khun yang seba putih “bright” (kiri) dan toilet warna kuning emas (kanan)

Gempa bumi yang mengguncang Chiang Rai pada tanggal 4 Mei 2014, tidak terkecuali telah merusakkan beberapa bagian dari kuil. Pemilik kuil yaitu Chalermchai Kositpipat merasa frustasi dengan kerusakan yang terjadi, sehingga dia berminat untuk membongkar semua bangunan kuil demi keselamatan. Namun dari hasil surve bahwa kuil tidak mengalami kerusakan besar dan bisa diperbaiki. Nyatanya saat bulan Agustus 2015 kami bisa menyaksikan temple tersebut meskipun sebagian bangunan masih tertutup untuk umum guna keperluan perbaikan.
Demikianlah catatan sebagian dari perjalanan kami selama 4 hari efektif di wilayah utara Thailand. Sebuah perjalanan yang dilakukan secara mandiri dan dengan cara “bacpackingan” oleh orang-orang yang hampir semuanya berusia di atas 50 tahun.…….