Tampilkan postingan dengan label Penerbangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbangan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Oktober 2020

ENGINE MOUNTING

 

 

 Pernyataan bahwa sesuatu yang kecil, ringan tapi harus kuat, tentu mengundang kontroversi. Gimana mau kuat? Kalau kecil, ringan ya biasanya lemah. Yah tapi inilah salah satu syarat yang harus dipenuhi pada struktur pesawat terbang. Dengan keunikan ini pernahkah kita memikirkan dengan cara apa mesin pesawat yang ukurannya segede itu digantungkan pada sayap. Jujur saya sering terganggu jika naik pesawat tiba-tiba masuk cuaca buruk dan terkena “bumping” atau tergoncang dan melihat bagaimana  engine segede itu bergoyang-goyang.Terus muncul pertanyaan apa baut/sekrup yang digunakan untuk mengikat engine ke sayap itu cukup kuat untuk menahan beban tersebut? Untuk mengobati rasa takut, saya berusaha mencoba mencari ilmunya. Pesawat-pesawat transport modern yang biasanya menggunakan mesin turbofan dengan bypass ratio tinggi, sebagian besar  menggandulkan mesinnya di bawah sayap. Malahan dengan pertimbangan beberapa keuntungan, pemasangan engine di bawah agak di depan sayap. 

 

  Engine mounting

 

Mesin tidak dipasang langsung ke struktur utama sayap (spar), tapi lewat struktur yang melekat pada sayap dengan kokoh yg disebut pylon. Salah satu tujuannya agar jika sesuatu terjadi pada engine tidak langsung merusak struktur sayap. Salah satu contoh engine pesawat Boeing 737 NG (CFM56-7B). Untuk melekatkan mesin pd pylon melalui 2 gantungan. Gantungan depan pd rumah kompresor hanya dg 4 baut dan 2 shear pin, sedangkan gantungan belakang pd rumah turbin dg 4 baut dan 1 shear pin. Ukuran diameter baut cukup kecil hanya segede ibu jari tangan (22 mm). Meski kecil bahannya terbuat dr bahan pilihan yaitu Nickel Super Alloy 718 atau lebih dikenal dg nama Inconel 718. Bukan covid 19 ya! Itu beda lagi. Inconnel 718 mempunyai kekuatan tegangan tarik 180 N/mm2. Jadi dengan diameter baut 22 mm berarti setiap baut mempunyai kekuatan tarik yang besarnya sama dengan luas penampang melintang baut dikalikan kekuatan tegangan tarik Inconel 718 yaitu 0.25 π (0,22 mm2) 180 N/mm2. Hasilnya dibulatkan menjadi 70000 N atau 70 kN. Kalau ada 8 baut berarti kekuatannya menjadi 560 kN. Selanjutnya 8 buah baut itu utamanya menahan 2 jenis beban. Yaitu beban thrust (gaya dorong engine) sebesar maksimum 100 kN yang arahnya ke depan, dan beban berat engine 20 kN yang arahnya ke bawah. Masih ada beban satu lagi yaitu beban torsi akibat anti torsi dari mesin yang berputar. Dan ini semua ditanggung oleh 8 baut dan 3 shear pin. Jadi kesimpulannya kekuatan 8 baut sebesar 560 kN mempunyai margin keselamatan yang cukup besar untuk menahan beban thrust sebesar 100 kN dan berat engine sebesar 20 kN. Jadi sekalipun pesawat mengalami goncangan 5 G misalnya, yang artinya beratnya menjadi 5 X lipat yaitu menjadi 100 kN, maka tetap aman. Karena itu kalau melihat mesin bergoyang-goyang di bawah sayap, just take it easy. Lanjutkan untuk tetap tidur saja! Baut sebanyak 8 buah dapat memegangnya dengan kuat dan aman. Makanya selama ini jarang dengar kecelakaan pesawat yang disebabkan mesin pesawat jatuh. Salah satu kecelakaan terburuk akibat engine jatuh dialami oleh American Airline DC 10 flight number 191 pada tahun 1979 dari Chicago ke LA. Konon dari hasil investigas dari  KNKTnya Amrik (NTBS) bahwa kecelakaan terjadi akibat kesalahan prosedur pada saat pemasangan engine yang berakibat adanya keretakan pada gantungan engine.

Namun kekuatan 8 baut Inconel 718 tidak cukup kuat untuk menerima beban dalam kasus tertentu. Misalnya saat proses pendaratan, tiba-tiba landing gear tidak bisa diturunkan. Atau landing gear tidak “down locked” secara sempurna,  sehinga saat menyentuh landasan terjadi collapse. Jika hal tersebut terjadi, maka komponen pesawat yang pertama kali mengalami “impact” atau tumbuk adalah engine. Tensile force 8 bolts dan 3 shear pins yang kekuatannya 560 kN tidak mampu sama sekali untuk menahan beban impact dari massa pesawat yang demikian besar. Maka  mounting akan patah dan engine akan terlepas dari sayap dan pesawat dibiarkan sliding atau meluncur di landasan. Coba bayangkan jika engine mounting di design terlalu kuat, dan engine tetap nempel di sayap saat pesawat mengalami tumbukan di landasan (belly landing). Maka engine akan menjadi penghambat dengan mengganjal gerakan sliding pesawat, yang bisa berakibat pesawat bisa rolling, tambling dan sebagainya. Yang pada akhirnya akan potensial mengakibatkan accident yang lbh besar. Kesimpulannya bahwa memang pesawat dirancang secara brilian dengan tujuan safety, safety dan safety ....!


Engine lepas karena mounting tidak kuat menahan beban tumbukan



 

Sabtu, 03 November 2018

MODA TRANSPORTASI UDARA MASIH YANG TERAMAN



Setiap terjadi kecelakaan pesawat,  selalu berdampak psikologis antara lain rasa takut terbang. Apalagi berita tentang aircraft accident biasanya selalu di "blow up" secara besar-besaran. Tetapi berdasarkan statistik, bahwa moda transportasi udara tetap yang teraman dibanding moda transportasi lainnya. Mengapa? Marilah secara sederhana kita analisis berdasarkan kondisi dari moda transpotasi udara dibandingkan dengan moda transportasi darat.
1. Hampir setiap orang bisa mengemudikan mobil. Syaratnya mudah, antara lain bisa menjalankan  mobil, bisa mundur dan memarkir dengan baik, mengerti rambu, mempunyai  Surat ijin Mengemudi (SIM), selesai perkara! Kalau menjadi pilot, saat direkrut saja membutuhkan persyaratan "sak abreg" jumlahnya. Misalnya harus sehat jasmani dan rochani, memiliki postur tubuh yang baik dan sebagainya. Pendidikan dan trainingnya membutuhkan waktu yang lama dan dengan biaya yang cukup tinggi. Setelah luluspun tidak langsung menerbangkan pesawat, karena harus menempuh pendidikan dan traning untuk mendapatkan lisensi pilot komersial. Kemudian untuk menjadi Captain Pilot pesawat tertentu masih harus melewati perjalanan yang cukup panjang. Kemudian kompetensi pilot harus di check setiap 6 bulan, seperti kesehatan dan juga kompetensi terbang dengan simulator. Artinya untuk menjadi pilot jauh lebih rumit dibanding menjadi sopir, disamping kompetensi pilot lebih terjaga dan terawasi.

Langit maha luas dan pesawat bisa diatur secara horizontal dan vertikal

2. Kita lihat lewat aplikasi flightradar 24 terlihat begitu banyak pesawat yang terbang di langit. Tetapi langit adalah daerah yang sangat luas, dan posisi pesawat bisa diatur penerbangannya baik secara vertikal ataupun horizontal. Ditambah lagi bahwa  pergerakan pesawat selalu diawasi dan diatur oleh Air Traffic Control (ATC), mulai dari fase awal sampai fase akhir penerbangan. Radar ATC berputar selama 24 jam nonstop, untuk selalu memonitor pergerakan pesawat di langit. Bandingkan dengan lalu lintas  di Jl. Solo Yogya yang sangat pada ibarat bumper beradu dengan bumper. Mereka hanya bisa diatur secara horisontal. Petugas terminal bus hanya bisa mengatur keberangkatan bus, tetapi tidak pernah mengetahui di mana posisi dan kondisi mereka dalam perjalanan. Artinya bahwa dengan alasan ketersediaan space yang ada, mobil lebih gampang bertubrukan dari pada pesawat. Pesawat yang bertubrukan di udara sangat tidak lazim terjadi, kecuali beberapa kasus yang terjadi dalam "aerobatic show".
3. Misalnya  kita naik bus, pernahkah kita bertanya ke Pak Sopir : "kondisi sistem remnya gimana Pak? Ganti oli mesin belum Pak? Filter AC kapan digantinya, jangan-jangan kalau sudah kotor nanti kompresor AC bisa meledak di jalan! Demikian seterusnya! Tentu kita tidak akan bertanya seperti itu! Jangankan bertanya, bahkan melihat ban bus sudah gundul saja kita segan menegur. Dari pada nanti si spoir gantian menegur kita : "sampeyan itu kok kepo banget tho!" Di pesawatpun kita tidak akan "kepo" untuk bertanya seperti itu. Tetapi semua jenjang perawatan pesawat dan komponen-komponennya mulai pemeliharaan preventive, corrective dan restorative dilaksanakan dengan baik serta terdokumentasi dalam log book dan selalu disupervisi. 
Belum lagi hampir semua sistem di pesawat ada sistem backup yang akan mengganti jika terjadi kegagalan dalam satu sistem. Dengan demikian frekuensi kerusakan sistem/komponen mobil jauh lebih  tinggi dari pada pesawat.
4. Pengendalian pesawat biasanya menggunakan autopilot yang sudah diprogram oleh pilot. Ini akan mengurangi beban pilot, shg PIC dan Co-pil tidak cepat lelah (fatique). Bandingkan dg mobil/bus, di mana tangan sopir hrs pegang stir dan juga me-mindah2 tuas gigi, sementara kaki kiri nginjak kopling (kalau transmisi manual) dan kaki kanan nginjak rem. Mata melotot tajan ke depan, yg semua ini membuat cepet capek fisik dan psikis (fatique). Maka banyak kecelakaan terjadi akibat sopir ngantuk/lelah.
Ini sekedar catatan yang hanya melihat sedikit dari aspek pilot dan pesawatnya. Pendek kata bahwa semua komunitas yang terlibat dalam penerbangan, menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama. Semua komunitas yang terlibat dalam dunia penerbangan baik captain pilot/copilot serta  aircrews lainnya, petugas ATC, ground crew dan lain-lain adalah komunitas yang "well educated" dan "well trained". Semuanya bekerja demi keselamatan. Gambar di bawah adalah statistik korban jiwa akibat kecelakaan semua moda transportasi di AS, yang menggambarkan tentang rasio jumlah korban jiwa pada setiap pergerakan 1 milyar penumpang dengan jarak permil yang diamati mulai tahun 2000-2009. Korban meninggal untuk tansportasi udara hanya 0.07 orang, sedangkan yang tertinggi yaitu motor 212.57 orang.

Rasio  korban meninggal dunia dari berbagai moda transportasi di AS

Bagaimana untuk negeri kita? Kelihatannya secara urutan sama, cuma angkanya saja yang berbeda. Hayo siapa yang berminat untuk mengadakan surve? Tapi kesimpulannya bahwa moda pesawat terbang tetap yang teraman. Bisa jadi dalam perjalanan dari rumah ke bandara yang jaraknya relatif sangat dekat, tetapi lebih berpotensi celaka dari pada penerbangan yang menyeberangi samudra dan melintasi berbagai negara, serta mendarat di bandara destinasi terakhir yang ribuan mil jaraknya ........




Sabtu, 17 Februari 2018

DIMANAKAH KITA SAAT INI?



   Fase penerbangan dimulai dari take off (tinggal landas), dan berakhir dengan landing (mendarat). Jika siklus hidup bisa  diibaratkan seperti fase-fase dlm penerbangan, maka setiap tahapan umur manusia akan bisa dipetakan  keberadaannya. Dari fase penerbangan tersebut, yang menarik untuk dibahas adalah fase climbing, cruise dan descend.
Saat masih di sekolah umum dan berlanjut mengikuti pendidikan militer termasuk getul-getulnya meniti karier di TNI AU, maka bisa dikatakan kita berada pada fase climbing. Climbing merupakan fase terbang menanjak untuk mencapai ketinggian terbang jelajah, dan kalau ditransformasikan dalam hidup manusia adalah masa di mana kita berjuang untuk mewujudkan cita-cita yang diimpikan. 
Dalam aerodinamika yang saya tahu ada yang disebut  "absolute ceiling" dan “service ceiling”. “Absolute ceiling” itu ketinggian di mana pesawat sudah "mentok" nggak bisa naik lagi, dan pesawat jarang terbang pada ketinggian ini karena kurang efisien. Terus “service ceiling” adalah ketinggian terbang di mana pesawat hanya mampu menanjak  dengan rate of climb 100 ft/menit.    Menurut “poro winasis” bahwa kemampuan "absolute/service ceiling" itu sudah ditentukan sejak design awal dari pabrik lewat uji, yaitu faktor daya mesin dan luas sayap. Daya mesin tinggi menjadikan absolute ceiling tinggi, misalnya “Concorde” absolute ceiling mencapai 68000 kaki (21 km).  Pengalaman saat “ndompleng” Airbus 330-300 dari Kuala Lumpur ke Busan Korsel, karena banyak turbulensi di atas Laut China Selatan akhirnya diijinkan untuk menambah ketinggian sampai 41000 kaki. Kata pilot itu adalah batas kemampuan terbang di mana pesawat tidak mampu lagi menambah ketinggian. Dan ternyata sesuai spesifikasi data yang saya baca bahwa  Airbus A330-300  itu kemampuan "absolute ceiling" nya 41000 feet (hampir 13 km). Pesawat yang terbang jelajah pada altitude yang tinggi, memperoleh banyak keuntungan. Antara lain hemat bensin, relatif bebas  cuaca buruk, kerja engine lebih efisien, true airspeed lebih kencang, dan syukur-syukur  dapat "jet stream" yang mendorong pesawat melaju lebih cepat.   Satu hal lagi keuntungan terbang tinggi yaitu jika terjadi kondisi darurat, maka pilot punya waktu cukup banyak untuk melakukan tindakan keselamatan. Misalnya mesin mati, maka ada cukup waktu untuk gliding dan mampu menempuh jarak luncur yang lebih jauh. Ingat incident Boeing 747-200 flight no 9 British Airways dari Heathrow London ke Auckland NZ. Pesawat dengan 263 penumpang onboard pada tahun 1982 saat melintas di atas Pelabuhan Ratu, tiba-tiba 4 mesinnya mati gara-gara  "keselek nyedot" debu vulkanik Galunggung yang "njeblug" saat itu. Meski 4 mesin semuanya mati  saat cruising pada  36000 kaki, namun pesawat masih bisa gliding (meluncur) dan mendarat di Halim P. yang berjarak sekitar 160 km dengan selamat. Kita berhandai-handai jika engine mati terjadi pada ketinggian rendah, tentu probabilitas keselamatan tidak sebaik itu. Kemudian bagaimana mentransformasikan pada kehidupan manusia? Memang menyambungnya agak “kewuhan”! Tadi sudah disampaikan bahwa kemampuan "absolute/service ceiling" pesawat sudah ditentukan saat design awal. Lha kalau manusia selain design awal berupa "talenta", juga masih harus disertai upaya pemberdayaan diri secara berlanjut. Meningkatkan daya mesin bisa diartikan sebagai upaya pemberdayaan daya nalar/akal/pikir yang didukung academic skill ataupun technical skill yang diterima di pendidikan. Kalau memperluas sayap bisa diartikan sebagai pemberdayaan kemampuan  soft skill atau life skill, yang intinya sebuah ketrampilan untuk membangun interaksi sosial juga loyalitas yang baik. Dalam menjalani hidup, memilih "absolute/service celing" itu pilihan! Misalnya seseorang kepingin memilih pada level yang rendahan saja! Cuma harus siap karena pada ketinggian ini rentan gangguan cuaca buruk, boros fuel, malah salah-salah  bisa juga bisa menabrak obstacle tinggi atau kemasukan FOD,  dsbnya. 
Fase cruising apalagi climbing bagi sebagian besar purnawirawan, pada dasarnya sudah berakhir dan kini tinggal  kenangan. Terus dimanakah kita saat ini? Mungkin yang paling pas  adalah ibarat pesawat yang berada pada fase descend, alias sudah meninggalkan ketinggian cruising menuju fase terakhir dalam penerbangan yaitu landing sebagai destinasi terakhir.   Pada setiap fase penerbangan harus dijalani dengan kehati-hatian dan tetap mengacu pada standard  "safety/keselamatan" yang sudah ditetapkan. Demikian juga dalam hidup kita. Banyak yang mengalami kegagalan pada setiap fase kehidupan.  Meskipun itu bisa jadi sudah menjadi takdir, tetapi bukankah takdir bisa berubah karena do'a dan usaha?  Terus usaha apa yang harus dilakukan jika merasa sudah berada di fase descend. Secara manusiawi setiap orang kepingin hidup lebih lama tetapi tetap sehat dan syukur-syukur masih bisa bermanfaat bagi sesama. Terus bagaimana menganalogikan keinginan manusia untuk hidup lebih lama tersebut, dengan pesawat yang berada pada fase descend untuk bertahan terbang lebih lama dan lama lagi. Kenyataan yang ada bahwa ketinggian terbang  akan terus menurun dan semakin mendekati daratan. Tetapi  agar laju turunnya (descent rate) itu secara perlahan, maka yang terbaik adalah berupaya seoptimal mungkin mengelola glide angle (sudut luncur) yang serendah mungkin. Dengan kata lain energi potensial tinggi yang masih dimiliki pesawat karena berada di altitude tinggi,  harus dikelola secara optimal dengan merubahnya secara gradual ke bentuk energi kinetik berupa kecepatan luncur yang rendah tetapi aman tidak “stall”. Selain itu juga berdoa semoga lalu lintas penerbangan di bandara tempat destinasi terakhir  cukup sibuk/crowded. Dg demikian kita juga disuruh mengantri dengan holding di udara lebih lama dan lama lagi.  Tetapi harus diingat bahwa landing adalah keniscayaan/kepastian! Tidak mungkin holding di udara terus menerus karena bahan bakar yang dibawapun terbatas jumlahnya. Mengelola glide angle untuk mengkonversi energi potensial menjadi energi kinetik secara gradual  untuk menghasilkan kecepatan yang aman, serta mengharap agar berlama-lama holding di udara itu "sanepo/perumpamaan".  Kalau ditrapkan dalam kehidupan yang nyata bagaimana? Telah banyak “wedar sabdo” yang disampaikan oleh para ulama/ahli agama, juga “poro winasis” di FB, WA, Tweeter, dan media sosial lainnya. Yaitu jalani gaya hidup sehat, ibadah/do'a yang khusyuk, rajin bersilaturohmi, rajin sedekah, hindari stress dan lain-lain. Tentang silaturohmi bagi para purnawirawan,  wadahnya sudah ada dan dijamin dari aspek “chemistry” sangat cocok yaitu PPAU karena komunitasnya sudah saling mengenal sangat lama.  Kehidupan setiap orang memang semuanya akan berakhir, sebagaimana pesawat yang harus mendarat dan siap proses “phase out” untuk "static display" di ground selamanya. Harapan akhir setiap fase penerbangan adalah pesawat bisa mendarat di destinasi yang dituju dengan “smooth”, sebagaimana do’a dan upaya kita agar perjalanan hidup ini juga berakhir dengan baik atau “husnul khotimah”.  Untuk itu agar  tidak vertigo atau disorientasi dalam menjalani hidup, maka sebaiknya selalu sadar dalam menetapkan posisi  “Dimana Kita Saat Ini?”…… 





Minggu, 27 Mei 2012


BAGAIMANA MENYIKAPI SETIAP KEJADIAN KECELAKAAN PESAWAT TERBANG



Kecelakaan pesawat terbang, selalu mengundang berbagai tanggapan, ulasan, ataupun analisa dari berbagai kalangan.  Kejadian luar biasa ini selalu dimanfaatkan oleh berbagai media massa khususnya televisi untuk menayangkan acara yang secara khusus membahas kecelakaan,  dengan menghadirkan para nara sumber /pengamat penerbangan.  Inilah salah satu sisi buruk dari suatu informasi yang  sudah menjadi komoditi masyarakat, sehingga sering informasi hanya dipandang dari sisi “laku jual”.  Kecenderungan dari pandangaan tersebut menjadikan informasi tidak dinilai secara kualitas, namun hanya dilihat dari sejauh mana suatu informasi bisa memberikan dampak sensasi bagi masyarakat yang pada ujung-ujungnya akan meningkatkan rating penonton.
Black Box (VCR dan FDR). Menganalisa kecelakaan pesawat terbang mempunyai kesulitan tinggi karena minimnya saksi, yang sangat berbeda dengan menganalisa kecelakaan transportasi darat yang biasanya disaksikan banyak orang.  Salah satu contoh peristiwa jatuhnya SSJ 100 (Sukhoi Super Jet 100) di Gunung Salah yang sunyi sepi dan seluruh penumpang dan awaknya meninggal dunia, sehingga tidak ada saksi hidup yang bisa menjelaskan proses terjadinya kecelakaan. Dengan demikian pola sebaran serpihan pesawat, pola kerusakan bagian-bagian pesawat, posisi alat kendali, bekas tumbukan pesawat di tanah bisa digunakan sebagai petunjuk investigasi. Pola sebaran serpihan pesawat bisa memberikan petunjuk apakah pesawat meledak di suatu ketinggian atau jatuh baru meledak. Sudu-sudu kompresor yang terdeformasi  cenderung melengkung ke depan berarti saat kecelakaan kondisi mesin hidup, dan sbaliknya jika melengkung ke belakang berarti saat terjadi kecelakaan mesin pesawat dalam keadaan mati. Demikian juga posisi alat-alat kendali seperti tuas mesin, alat pendarat, flap bisa juga sebagai petunjuk investigasi.  Namun ada bagian pesawat yang merupakan saksi super penting yaitu black box. Black box terdiri dari dua komponen yaitu Voice Cockpit Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR). Voice Cockpit Recorder memuat dokumen pembicaraan antar crew dalam cockpit dan komunikasi antara pilot dengan ATC, sedangkan FDR memuat dokumen tentang data-data penerbangan (misalnya kecepatan, ketinggian, posisi pesawat, dan sebagainya). Hasil pengolahan data-data tersebut akhirnya bisa diambil sebuah kesimpulan tentang penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Heboh Analisa Pengamat Terhadap Kecelakaan Pesawat MA-60. Ambil sebuah contoh tentang kecelakaan pesawat terbang  MA-60 buatan Xian Aircraft nomor penerbangan MZ 8968 milik MNA di Kaimana Papua setahun lalu.  Kecelakaan tersebut begitu heboh diulas oleh para pengamat baik  yang memang berbasis kompetensi penerbangan ataupun pengamat “instant” yang sekedar ikut nimbrung. Kejadian ini menjadi menarik karena kebetulan pesawat yang jatuh merupakan produk China, dioperasika oleh maskapai milik BUMN,  belum tersertifikasi Federation Aviation Administration (FAA), dan proses pengadaannyapun dikatakan berbau kontroversi. Para nara sumber/pengamat beramai-ramai menyampaikan ulasan di media massa dengan parameter-parameter yang serba minim. Sebagian besar para nara sumber saat itu menduga kuat bahwa kecelakaan disebabkan karena faktor pesawat, antara lain kesalahan dalam design ataupun mengalami kegagalan sistem/strukturnya. Dalam sebuah gurauan dikatakan bahwa pesawat MA-60 buatan China ini ibarat “Mochin” yang kualitasnya kurang memadai.  Dalam acara “talk show” di salah satu TV seorang mantan pilot menyampaikan bahwa pesawat MA-60 saat melakukan “landing approach” tiba-tiba jatuh dengan posisi vertikal, sehingga dengan penuh keyakinan dikatakan bahwa pesawat tersebut bermasalah dalam stabilitas terbangnya. Bahkan beberapa anggota DPR juga ikut nimbrung memberikan ulasan dan merekomendasikan agar semua pesawat MA-60 di “grounded”, alias tidak boleh terbang sampai dengan diketemukannya penyebab kecelakaan. Kalau dengan kejadian ini seorang anggota DPR  mempertanyakan aspek cara pengadaannya, maka wajar karena DPR mempunyai hak budgeting. Tetapi kalau soal “grounded” pesawat terbang, mestinya sudah bukan wilayah DPR lagi. 
Hasil Investigasi KNKT. Beberapa minggu yang lalu KNKT telah mengeluarkan secara resmi hasil investigasi kecelakaan pesawat MA-60 di Pulau Kaimana Papua yang terjadi setahun lalu.  Tidak ada satupun pendapat, ulasan, ataupun analisa dari para nara sumber/pengamat yang cocok dengan hasil investigasi KNKT ini.  Dengan meyakini bahwa hasil investigasi KNKT diperoleh dari pengolahan berbagai data termasuk data yang tersimpan dalam black box, maka tidak satupun data yang mengarah bahwa pesawat sebagai penyebabnya.  Rekaman dalam VCR tidak terdengar adanya kegaduhan dalam cockpit sesaat sebelum kecelakaan. Hal ini membuktikan bahwa kecelakaan terjadi secara mendadak dan tanpa disadari oleh pilot/copilot, yang berarti pula kecelakaan tidak disebabkan oleh kegagalan struktur ataupun sistem.  Selanjutnya KNKT menyimpulkan bahwa kecelakaan disebabkan karena “human error”, yaitu pilot memaksakan pendaratan secara visual dalam kondisi yang tidak memenuhi syarat. Persyaratan pendaratan visual antara lain harus mempunyai jarak pandang minimal 5 km dan ketinggian dasar awan minimal 1500 kaki.  Pada saat itu bandara dalam keadaan cuaca buruk dengan jarak pandang hanya 2 km dan ketinggian dasar awan 1400 ft, sedangkan landasan tidak tersedia alat bantu untuk pendaratan secara instrumen. Kecelakaan pesawat terbang selalu dihubungkan dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor manusia (human), faktor pesawat terbang (machine), dan faktor media (cuaca, fasilitas bandara, dll). Menurut statistik “human error” andilnya  paling besar yaitu 66%;  faktor pesawat terbang 31.8% dan cuaca 13.2%. Ketiga faktor penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus. Berdasarkan pertimbangan tersebut berarti kecelakaan MA-60 di Kaimana diawali oleh faktor cuaca dan fasilitas bandara Utarom yang tidak memenuhi syarat untuk pendaratan dengan instrumen, yang akhirnya  memicu terjadinya “pilot error”. Dalam hal ini pilot memaksakan pendaratan secara visual pada kondisi cuaca yang tidak memenuhi syarat.  Seharusnya yang dilakukan pilot adalah membatalkan pendaratan dan melakukan “go around”.   
 Bagaimana Mensikapi Setiap Kejadian Kecelakaan Pesawat. Perbedaan tajam antara perkiraan penyebab kecelakaan hasil analisa para nara sumber/pengamat dengan hasil akhir investigasi oleh KNKT, hendaknya menjadi pembelajaran untuk lebih bijak dalam mensikapi terjadinya kecelakaan pesawat terbang.  Ketidak profesionalan para narasumber/pengamat dalam memberikan ulasan/analisa kecelakaan pesawat terbang akan banyak berdampak negatif. Ulasan yang mengarah kepada kesalahan design ataupun kegagalan struktur/sistem pesawat, telah membuat para pengguna jasa transportasi udara menjadi takut menggunakan pesawat terbang khususnya pesawat yang diisukan tidak layak terbang. Kondisi ini telah menyebabkan kerugian besar baik secara finansial maupun “image” bagi maskapai penerbangan selaku operator pesawat yang mengalami kecelakaan termasuk pabrik pembuat pesawat tersebut. Sekali lagi bahwa saksi yang sangat minim pada setiap kecelakaan pesawat terbang, membuat parameter-parameter sebagai pendukung dalam mencari penyebab terjadinya kecelakaan juga sangat terbatas. Asumsi-asumsi yang dibangun dengan menghubungkan antar parameter saat sebelum terjadinya kecelakaan seperti cuaca, jejak pesawat, komunikasi dengan ATC, riwayat pesawat terbang dan parameter-parameter yang lain sangatlah tidak cukup untuk membuat kesimpulan besar. Oleh karena itu para nara sumber/pengamat harus bisa mengeluarkan pernyataan secara bijak dalam mengulas kecelakaan pesawat terbang.  Ulasan yang bersifat normatif, general, namun akademis, mungkin malahan akan bermanfaat bagi pembelajaran publik khususnya tentang wawasan ilmu penerbangan. Tetapi jika ulasannya cenderung tendensius, dampak negatifnya akan lebih besar dan cenderung membingungkan serta membodohi masyarakat.  Kecelakaan SSJ 100 di Gunung Salak Bogor baru saja reda dari berbagai ulasan/analisa dari para nara sumber/pengamat. Kita menunggu sampai dimana tingkat akurasi dari ulasan yang disampaikan, dibandingkan dengan hasil investigasi KNKT yang semoga bisa diumumkan secara transparan kepada publik. Sebaiknya memang kita harus menunggu hasil investigasi KNKT.  Hanya sayang sampai artikel ini ditulis, FDR sebagai salah satu saksi kunci untuk membuka misteri penyebab kecelakaan pesawat tersebut belum ditemukan.   

Sabtu, 18 Februari 2012

HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN




HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN
 
Meski pengadaan pesawat terbang kepresidenan RI sudah direncanakan sejak tahun 2010, namun penyerahan secara resmi pesawat seri 737-800 Boeing Business Jet 2 (BBJ 2) pada tanggal 21 Januari 2012 ternyata mengundang banyak reaksi. Reaksi paling keras ditujukan kepada para penyelenggara negara yang tidak peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat yang lebih membutuhkan pelayanan yang lebih baik di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan.   Kebutuhan transportasi udara untuk perjalanan presiden baik dalam atau luar negeri saat ini selalu menyewa pesawat Garuda. Namun dengan pertimbangan beberapa aspek, maka pengadaan pesawat kepresidenan dianggap sebagai kebutuhan.  Sebenarnya sampai sejauh mana pentingnya Indonesia untuk memiliki pesawat kepresidenan, maka tinjauan ini didasarkan pada beberapa aspek.
Aspek Geografis.  Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (lebih dari 17.000 pulau) dan wilayahnya cukup luas.  Selanjutnya dengan keberagaman suku, agama, dan adat istiadat, maka seorang kepala negara harus menjadi perekat bangsa. Karena itulah seorang kepala negara siapapun orangnya, harus selalu dekat dan dicintai rakyatnya. Guna memperoleh itu semua, maka dalam mengeluarkan kebijakan seorang kepala negara harus selalu memihak kepentingan rakyat dan juga tidak kalah pentingnya harus sering mengunjungi rakyatnya.  Jangan sampai terjadi kecenderungan seperti pada akhir-akhir ini, sebagian masyarakat kita misalnya yang tinggal di daerah perbatasan lebih mengenal pemimpin negara tetangga dari pada pemimpin negeri sendiri. Agar memenuhi kebutuhan tersebut, maka satu-satunya jenis transportasi yang menjamin kecepatan, daya jangkau, serta fleksibilitas adalah pesawat terbang. 
Aspek Sejarah.  Presiden Indonesia terdahulu yang mempunyai masa jabatan lebih dari sekali masa jabatan dalam masa pemerintahannya, telah melakukan pengadaan pesawat kepresidenan.  Presiden pertama Bung Karno yang berkuasa selama 21 tahun, pernah memiliki DC-3/Dakota, Ilyushin 14, dan tiga buah pesawat jet transport Jetstar.  Pesawat DC-3/Dakota bernomor ekor RI 001 Seulawah merupakan hadiah dari rakyat Aceh, Ilyushin 14 hadiah dari pemerintah Uni Sovyet, sedangkan 3 Jet Star dibeli dari Lockhead AS.  Pesawat kepresidenan inilah yang digunakan untuk mendukung perjalanan sang presiden ke segenap wilayah Nusantara. Dalam perjalanan  ke luar negeri, Presiden Soekarno tidak selalu menggunakan Garuda karena belum mempunyai pesawat yang mampu untuk penerbangan jarak jauh.
Salah satu dari 3 C-140/Jet Star Pesawat Kepresidenan Era Bung Karno
 
 Ketika berkunjung ke AS dan bertemu dengan presiden Kennedy, Bung Karno justru menyewa pesawat Boeing 707 milik maskapai penerbangan AS yaitu Panam lengkap dengan awak cabin dan pilotnya. Presiden Sukarno juga mempunyai pesawat helikopter kepresidenan jenis Hiller 360A, yang penerbangan perdananya dilakukan  dengan membawa presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati keliling Jakarta secara bergantian, karena kapasitas helikopter hanya 1 penumpang saja. Helikopter Hiller 360 A diganti dengan dengan Bell 47 G dan Bell-47J-2E, serta Sikorsky S-58 yang berkapasitas lebih besar. Bahkan pada tanggal 11 Maret 1966 yang merupakan proses awal lengsernya sang presiden, Bung Karno terbang ke istana Bogor karena istana Merdeka dikepung oleh pasukan yang tidak diketahui identitasnya.

Helikopter Kepresidenan Hiller 360 A
Presiden Soeharto sebagai pengganti Bung Karno, termasuk mengeluarkan kebijakan untuk mengganti semua pesawat kepresidenan yang pernah dipakai Bung Karno. Pada awal pemerintahan Soeharto menggunakan pesawat C-130/Hercules TNI AU untuk perjalanan dalam negeri, sedangkan untuk lawatan ke luar negeri menyewa pesawat milik Garuda. Pesawat yang digunakan antara lain DC 8, DC 10, dan MD 11.  Bahkan pesawat MD-11 Garuda beregistrasi PK-GIM, merupakan pesawat yang mengantarkan Soeharto ke Mesir yang sekaligus merupakan  perjalanan terakhir sebagai seorang presiden pada bulan Mei 1998.  Selama masa pemerintahannya Presiden Soeharto pernah membeli beberapa pesawat, yaitu Fokker 28, Bae 146 buatan British Aerospace, dan Avro RJ-185. 
Salah satu pesawat kepresidenan era Suharto BAe 146

Soeharto lengser dan digantikan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, dengan masa kepemimpinan yang hanya beberapa bulan.  Pada masa pemerintahan presiden Abdul Rachman Wahin (Gus Dur), Megawati, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono, dalam melakukan perjalanan baik ke dalam ataupun luar negeri selalu  menggunakan Garuda.  Pesawat yang digunakan antara lain Airbus A-330  ataupun  Boeing 737 series.  Ada sedikit catatan yang berhubungan dengan penggunaan pesawat untuk mendukung perjalanan pada saat masa pemerintahan Gus Dur.  Karena seringnya bepergian ke luar negeri, maka dengan pertimbangan penghematan biaya perjalanan, Gus Dur pernah menggunakan Boeing 707 milik TNI AU yang tentu sebelumnya harus mengalami perbaikan dan perubahan konfigurasi.  Ada suatu kejadian yang agak tidak mengenakkan pada saat kunjungan Gus Dur ke Australia dengan menggunakan Boeing 707 ini.  Pada saat itu pesawat terpaksa didaratkan secara darurat  di Darwin setelah diketahui indikator tekanan oli menyala, yang dicurigai terjadi kerusakan pada sistem pelumasan mesin.  Akhirnya Gus Dur beserta rombongan menggunakan pesawat angkut Australian Air Force untuk melanjutkan perjalanan ke Sidney, dan pulangnya ke tanah air dijemput pesawat Garuda. Kejadian tersbut menuai kritikan dari para anggota DPR lantaran biaya perjalanan menjadi membengkak dua kali. 
Boeing 707 TNI AU yang membawa Gus Dur ke Aussie

Berdasarkan aspek sejarah sebenarnya Indonesia telah memiliki pesawat kepresidenan semenjak era presiden pertama, sehingga keinginan memiliki pesawat kepresidenan pada era presiden sekarang merupakan hal yang wajar.

Aspek Keamanan

Meskipun standar pengamanan seorang presiden selalu disesuaikan dengan eskalasi ancaman terhadap negara yang bersangkutan, namun standar minimal pengamanan selalu diberikan bagi seorang kepala negara.  Pengamanan tersebut diberikan dalam berbagai hal tidak terkecuali alat transportasi yang digunakan termasuk pesawat terbang.  Pesawat terbang kepresidenan akan memberikan jaminan keamanan yang lebih baik dari pada pesawat sewaan.  Berbagai alasan karena pemeliharaan dan pengoperasian pesawat bisa dilakukan oleh SDM dengan integritas, kompetensi, dan security awareness yang tinggi. Dengan demikian peluang terjadinya ancaman terhadap keamanan presiden melalui wahana transportasi udara berupa pesawat terbang kepresidenan akan menjadi lebih kecil dari pada jika menggunakan pesawat sewaan. Disamping itu pesawat kepresidenan juga dilengkapi peralatan keamanan misalnya badan pesawat yang dirancang anti peluru, pemasangan anti jamming guna melindungi sistem komunikasi pesawat dari gangguan lawan, dan sebagainya.  Dengan demikian seorang kepala negara yang sarat dengan tugas-tugas kenegaraan harus juga diberikan jaminan keamanan yang lebih baik dalam penerbangan. Keamanan dalam penerbangan bagi seorang kepala negara akan lebih terjamin jika memiliki pesawat kepresidenan sendiri.  
    
Penggunaan Pesawat Kepresidenan Lebih Efisien dan Optimal

Berdasarkan penjelasaan dari Sekretaris Kemensesneg Lambock  Nahattands bahwa biaya sewa pesawat terbang pada tahun 2005 s/d 2009 sebesar  90,4 juta dollar AS, dengan kenaikan biaya sewa setiap tahun sebesar 10%.  Adapun jika membeli pesawat BBJ2 dengan harga 91,2 juta dollar AS, biaya perawatan dan operasional selama 5 tahun sebesar 36,5 juta dollar AS. Kemudian jika diperhitungkan depresiasi pesawat selama 5 tahun senilai 10,423 juta dollar AS dan nilai buku aset pesawat sebesar 80,785 juta dollar AS, maka akan diperoleh penghematan 32,136 juta dollar AS. Gambaran di atas merupakan penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan pemilikan sendiri dibanding dengan sewa selama 5 tahun. Penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan cara memiliki sendiri dibanding dengan cara sewa pesawat akan terus bertambah seiring dengan semakin lamanya usia pemakaian pesawat.  Selanjutnya pemakaian pesawat juga akan lebih optimal, karena tingkat kesiapan (readiness rate) yang lebih tinggi.
Berdasarkan catatan di atas, maka sebaiknya pengadaan pesawat kepresidenan tidak perlu diributkan lagi.  Proses pengadaan ini sudah dimulai sejak tahun 2010 dan sudah dibayar lunas dengan cara pembayaran dicicil tiga kali.  Secara prosedural menurut aturan pengadaan barang yang dibiayai APBN sudah benar yang dimulai antara lain penentuan spesifikasi teknik, persetujuan DPR, proses tender dan sebagainya.  Namun proses pengadaan baru pada pembayaran harga “green aircraft” sebesar 58,6 juta dollar AS. Yang dimaksud “green aircraft” adalah pesawat kosong belum termasuk interior kabin dan sistem keamanan.  Pengadaan interior kabin dianggarkan sebesar 27 juta dollar, sistem keamanan sebesar 4,5 juta dollar, dan biaya administrasi sekitar 1,1 juta dollar AS.  Menurut Sekretaris Kemensetneg, pengadaan interior kabin dan sistem keamanan saat ini dalam proses pelelangan yang pemenangnya ditentukan pada akhir Februari ini.  Dengan adanya reaksi keras dari masyarakat terhadap pengadaan pesawat terbang kepresidenan ini, diharapkan dapat menekan harga pengadaan interior kabin dan sistem keamanan menjadi lebih rendah dari pada pagu yang dianggarkan.
Kemudian ada beberapa pertanyaan mengapa pesawat kepresidenan tidak menggunakan produksi dalam negeri.  Kebutuhan pesawat terbang kepresidenan tentu disesuaikan dengan luas wilayah geografi Indonesia, juga termasuk pemetaan jarak negara-negara yang akan dikunjungi.  Oleh karena itu dibutuhkan pesawat yang bisa terbang cepat dan stamina terbang (flight endurance) yang tinggi, sehingga jarak capai penerbangan menjadi lebih jauh.  Selain itu kapasitas penumpang juga harus disesuaikan dengan jumlah rombongan presiden pada setiap kunjungan baik di dalam maupun ke luar negeri.  Pesawat dengan spesifikasi teknik tersebut belum dibuat di PTDI sampai saat ini.  Pesawat transport produksi PTDI yang sudah banyak digunakan baik sebagai angkut militer maupun sipil di beberapa negara adalah CN 235. Pesawat CN 235 merupakan pesawat transport ukuran sedang bermesin turboprop dengan kecepatan jelajah sekitar 450 km/jam, sedangkan kapasitas hanya 44 penumpang. Bandingkan dengan kecepatan pesawat BBJ 2 yang terbang dengan kecepatan lebih dari dua kali CN 235, serta mempunyai flight endurance sekitar 9 jam. Kapasitas penumpang CN 235 hanya 44 orang, sedangkan kapasitas pesawat BBJ2 lebih dari 150 penumpang.  Namun kapasitas pesawat BBJ 2 setelah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan konfigurasi pesawat kepresidenan, maka jumlah tempat duduk bisa berkurang menjadi sekitar setengahnya. Pengurangan jumlah tempat duduk tersebut antara lain karena ruangan diambil untuk penyediaan ruang tidur, ruang rapat, dan sebagainya. Memang kadang kita lupa dengan menganggap bahwa presiden adalah manusia super. Padahal seorang presiden kurang lebih juga sama dengan kita dalam hal ketahanan fisik, apalagi usia seorang presiden biasanya sudah tergolong “senior”. Dalam penerbangan yang lama, ia butuh istirahat, santai, dan ingin memanfaatkan setiap peluang untuk hal-hal yang berhubungan dengan tugas kepresidennya, misalnya bisa melakukan rapat, jumpa pers, atau bisa memberikan perintah atau arahan kepada para pejabat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar jika pesawat kepresidenan dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk mendukung keperluan tersebut.  
Dalam rangka menjangkau seluruh wilayah Indonesia, memang belum cukup kalau hanya menggunakan BBJ2 sebagai pesawat kepresidenan, karena pesawat ini tentu tidak bisa mendarat pada landasan pendek semacam lapangan terbang perintis.  Oleh karena itu, idealnya selain pesawat BBJ2 masih harus didukung pesawat sejenis CN 235 yang mampu mendarat pada landasan pendek, dan juga helikopter untuk mengunjungi daerah-daerah yang jauh dari lapangan terbang.
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebaiknya pembelian pesawat kepresidenan ini tidak usah dihebohkan, karena semua telah dilakukan dengan pertimbangan berbagai aspek termasuk prosedur pengadaannya.  Hal ini perlu agar atmosfer negeri ini tidak bertambah semakin keruh, yang pada akhirnya hanya akan menurunkan kinerja kita sebagai komponen bangsa.

Sabtu, 10 Desember 2011

THRUST AUGMENTATION

 




THRUST AUGMENTATION ( PEMBESARAN THRUST)





Pembesaran thrust pada turbojet engine sangat diperlukan dalam kondisi tertentu, antara lain pada saat tinggal landas pada cuaca panas  atau untuk kepentingan manoeuvre bagi pesawat tempur.  Besarnya  thrust pada jet engine ditentukan oleh jumlah laju massa udara yang dihisap kompresor (m), kecepatan aliran gas hasil pembakaran yang disemburkan dari nosel (Cj), dan kecepatan udara masuk melalui inlet nozzle (Ca),  yang bisa dinyatakan :

F = m (Cj - Ca)

Turbojet engine merupakan mesin konversi energi yang merubah energi panas menjadi thrust.  Berdasarkan rumus thrust,  besarnya Cj dipengaruhi oleh suhu maksimum yang dihasilkan dalam siklus turbojet engine.  Semakin tinggi suhu maksimum berarti semakin besar harga Cj. Oleh karena itu salah satu cara memperbesar thrust pada turbojet engine dengan cara meningkatkan suhu maksimum pada siklus engine.  Cara lain dalam meningkatkan thrust sesuai rumus di atas adalah dengan memperbesar laju aliran massa (m). Pesawat yang mampu menghasilkan thrust yang besar akan memperpendek jarak take-off,  laju terbang menanjak yang tinggi (high climb rate), dan mampu manoeuvre dengan lincah khususnya untuk pesawat militer.  Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada 3 cara pembesaran thrust dalam turbojet engine, yaitu menggunakan afterburner, water injection, dan bleedoff.

Rabu, 12 Oktober 2011

C-130/HERCULES SANG PERKASA

C-130/HERCULES SANG PERKASA



Pesawat C-130/Hercules adalah pesawat angkut militer yang diproduksi oleh Lockheed AS. Proses pembuatan pesawat ini merupakan hasil kemenangan dari suatu kompetisi dengan melibatkan beberapa industri penerbangan, yang diadakan oleh Departemen Pertahanan AS tentang kebutuhan pesawat angkut militer. Kriteria jenis pesawat angkut militer yang diinginkan oleh Departemen Pertahanan AS tersebut, akhirnya diwujudkan dengan pembuatan 2 prototype YC-130 yang diuji terbang pertama kali dengan sukses pada tanggal 23 Agustus 1954. Setelah proses uji prototype selesai dan memulai produksi, maka pabrik pesawat dialihkan dari Lockheed di Burbank California ke Lockheed di Marietta Georgia. Sampai saat telah lebih dari 2.000 pesawat C-130 dibuat, dan telah digunakan oleh lebih dari 60 negara di dunia. Model pertama yang dibuat adalah jenis C-130A pada tahun 1956, yang menggunakan tenaga pendorong 4 mesin turboprop T56-A-9 buatan Allison dengan propeller 3 blades (bilah) buatan Hamilton Standard. Turboprop merupakan kepanjangan dari turbo-propeller, yang berarti mesinnya adalah jenis gas turbin, namun daya yang dihasilkan merupakan daya poros untuk memutar propeller guna menghasilkan daya dorong. Pada tahun 1959 mulai diproduksi seri yang lebih baru, yaitu C-130B yang menggunakan 4 mesin pendorong T56-A-7 dengan propeller 4 blades. Sekitar 134 pesawat Hercules model B digunakan oleh Angkatan Udara AS, sedangkan Indonesia tercatat sebagai pembeli C-130B pertama di luar AS (the first overseas customer). Memang pengguna pesawat Hercules di luar AS adalah Australia, namun jenis yang dibeli adalah tipe C-130A. Pembelian C-130B oleh Indonesia terkait erat dengan kepiawaian diplomasi presiden pertama RI Bung Karno, sebagai kompensasi pembebasan pilot AS bernama Allan Pope. Sebanyak 10 pesawat yang tadinya diprioritaskan untuk keperluan Tactical Air Command (TAC) Angkatan Udara AS dialihkan untuk Indonesia. Ini membuat iri banyak negara karena Indonesia seolah-olah mendapat prioritas istimewa, sehingga tetangga AS, yaitu Kanada, baru mendapat giliran sesudah Indonesia. Pesawat C-130B saat ini masuk sebagai armada angkut TNI AU dan ditempatkan di Skadron 32 Lanud Abdulrachman Saleh Malang. Selanjutnya pada tahun 1980, kembali Indonesia membeli pesawat C-130H sebanyak 12 buah. Pesawat ini menggunakan mesin pendorong seri T56-A-15 dengan daya dorong 4.591 shp (shaft horse power), berarti lebih besar dari pada mesin yang digunakan tipe A dan B yaitu 4.200 shp. Disamping itu ada peningkatan berupa redesign pada outer wing, peralatan avionic yang lebih update, serta beberapa improvisasi minor lainnya. Dibanding dengan tipe B, Hercules tipe H yang diterima TNI AU mempunyai ukuran badan lebih panjang dibanding ukuran aslinya (stretched version), sehingga C-130H sering disebut Hercules “long body”. Pesawat C-130H saat ini masuk Skadron 31 yang merupakan skadron pesawat angkut berat yang berkedudukan di Lanud Halim Perdanakusumah. Sebagai jenis model terbaru adalah C-130J, yang meskipun secara fisik serupa dengan model Hercules sebelumnya, namun sebenarnya mempunyai perbedaan secara signifikan. Perbedaan tersebut terdapat pada mesin pendorong yang lebih besar yaitu Rolls Royce AE2100D3 dengan daya 4.700 shp serta propeller Dowty R391 dengan 6 blades terbuat dari bahan komposit, dan dilengkapi digital avionics. Disamping itu performance C-130J lebih unggul diantara model sebelumnya, antara lain kemampuan angkut beban/penumpang lebih besar, kecepatan terbang lebih tinggi, jarak tempuh lebih jauh, dan operating cost 27% lebih rendah. Dalam hal penggunaan crew, C-130J lebih efisien karena hanya diawaki oleh kapten pilot, co-pilot, dan load master, sedangkan model sebelumnya diawaki oleh 5 crew (2 pilot, navigator, flight engineer, dan load master). Ada model C-130/Hercules lain yang dibuat Lockheed, antara lain C-130D dan C-130E. Pesawat C-130D adalah C-130A yang dimodifikasi dengan memasang alat pendarat berupa ski, yang digunakan di Antartika. Kemudian untuk memudahkan proses tinggal landas dengan ski, maka pada C-130D dipasang mesin penghasil daya dorong tambahan yang disebut JATO (Jet Assisted TakeOff). Selanjutnya C-130E adalah pengembangan C-130B dengan penggantian mesin berdaya dorong lebih besar yaitu T56-A-7A, serta penambahan sepasang tangki eksternal (drop tanks) berisi 1.360 gallon. Versi C-130/Hercules yang lain adalah KC130 yang merupakan pesawat tanker yang mampu melakukan air refueling (pengisian bahan bakar di udara). Pesawat ini dilengkapi dengan tangki stainless steel berisi 3.600 US gallon, yang dapat dibongkar pasang dalam ruang cargo pesawat KC-130. Pesawat KC-130 mampu melakukan air refueling terhadap dua pesawat sekaligus dengan laju aliran bahan bakar 300 US gallon atau 13.626 liter permenit. Dalam latihan air refueling , ternyata pesawat tanker TNI AU yaitu Hercules KC-130 dari Skadron 32 mampu melakukan air refueling terhadap dua pesawat Hawk di wilayah udara Lanud Iswahyudi Madiun. Hercules, nama pahlawan Yunani kuno yang dilegendakan di dunia mitologi yang melambangkan kekuatan dan keperkasaan, sesuai benar dengan kemampuan pesawat buatan Lockheed ini. Kemampuan C-130/ Hercules sebagai pesawat angkut militer terbukti sangat berhasil di berbagai belahan dunia. Pesawat ini mampu mendarat dan tinggal landas pada landasan pacu yang cukup pendek, dan landasan yang tidak dipersiapkan (unprepared runways). Pesawat C-130 merupakan pesawat yang mampu melaksanakan fungsi yang banyak (multi roles), antara lain pesawat ini dengan mudah dan cepat untuk dirubah konfigurasinya, misalnya untuk angkut penumpang, pasukan, angkut VIP, angkut pasien dalam rangka medevac (medical evacuation), ataupun cargo. Selain itu pesawat ini juga mampu ditugaskan untuk air refueling, search end rescue, patroli maritim, dan pemadam kebakaran suatu medan terbuka. Bahkan pesawat ini juga mampu dipersenjatai untuk penyerangan udara (airborn attack). Oleh karena itu C-130/Hercules merupakan pesawat yang mumpuni digunakan baik untuk misi perang dan selain perang. Kemampuan C-130/Hercules dalam mengangkut pasukan (troop carrier) dan logistik tidak usah diragukan lagi. Demikian juga dalam melaksanakan operasi selain perang, misalnya misi kemanusiaan dalam rangka penanggulangan bencana alam C-130/Hercules telah membuktikannya. Pesawat C-130/Hercules sebagai sang perkasa, merupakan pesawat yang handal dan aman dalam pengoperasiannya. Sejak pesawat C-130/Hercules dimiliki TNI AU tercatat mengalami enam kali kecelakaan yang berakibat total lost. Pada tanggal 3 September 1964, pesawat C-130B nomor ekor T-1307 jatuh di Selat Malaka, yang dicurigai tertembak musuh saat Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Selanjutnya pada tanggal 16 September 1965, pesawat C-130B nomor ekor T-1306 jatuh di Kalimantan Timur. Sedangkan pesawat C-130H telah mengalami empat kali kecelakaan. Dua kecelakaan terjadi di Sumatra, yaitu pesawat C-130H nomor ekor T-1322 jatuh di Gunung Sibayak pada tanggal 21 Nopember 1985, dan pesawat jenis L-100 TNI AU mendarat overshoot di Lanud Malikul Saleh NAD dan terbakar pada tanggal 20 Desember 2001. Dua kejadian di Jawa masing-masing pesawat dengan nomor ekor A-1324 yang jatuh dan terbakar di Condet Jakarta Timur pada tanggal 5 Oktober 1991, dan yang baru saja terjadi pesawat dengan nomor ekor A-1325 jatuh dan terbakar pada tanggal 20 Mei 2009 di daerah persawahan Magetan sekitar 8 km dari landasan Lanud Iswahyudi Madiun. Pesawat C-130/Hercules telah memperkuat armada TNI AU hampir setengah abad lamanya, dan selama itu telah mampu melaksanakan fungsinya sebagai pesawat angkut untuk misi militer maupun selain militer. Misi strategis telah dilakukannya dengan sukses antara lain Operasi Trikora di Papua, Operasi Dwikora, operasi keamanan di dalam negeri, latihan-latihan gabungan ataupun latihan militer bersama antar bangsa, melakukan patroli di perairan kita, melakukan misi kemanusiaan, bahkan pernah digunakan operasi jembatan udara pada saat penerbangan sipil mogok terbang, dan lain-lain. Pendek kata itulah gambaran C-130/Hercules Sang Perkasa. Lama pengabdian pesawat yang hampir setengah abad, menjadikan C-130/Hercules sang perkasa ini telah memasuki usia udzur. Tentu saja perhatian harus diberikan secara lebih, dan perhatian itu adalah bentuk pemeliharaan yang memadai. Kecelakaan pesawat terbang TNI AU yang terjadi secara beruntun belakangan ini, diyakini telah menjadi perhatian serius bagi TNI AU dan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pemeliharaan yang selama ini diterapkan. Semoga !!!!

Suyitmadi,