Sabtu, 17 Februari 2018

DIMANAKAH KITA SAAT INI?



   Fase penerbangan dimulai dari take off (tinggal landas), dan berakhir dengan landing (mendarat). Jika siklus hidup bisa  diibaratkan seperti fase-fase dlm penerbangan, maka setiap tahapan umur manusia akan bisa dipetakan  keberadaannya. Dari fase penerbangan tersebut, yang menarik untuk dibahas adalah fase climbing, cruise dan descend.
Saat masih di sekolah umum dan berlanjut mengikuti pendidikan militer termasuk getul-getulnya meniti karier di TNI AU, maka bisa dikatakan kita berada pada fase climbing. Climbing merupakan fase terbang menanjak untuk mencapai ketinggian terbang jelajah, dan kalau ditransformasikan dalam hidup manusia adalah masa di mana kita berjuang untuk mewujudkan cita-cita yang diimpikan. 
Dalam aerodinamika yang saya tahu ada yang disebut  "absolute ceiling" dan “service ceiling”. “Absolute ceiling” itu ketinggian di mana pesawat sudah "mentok" nggak bisa naik lagi, dan pesawat jarang terbang pada ketinggian ini karena kurang efisien. Terus “service ceiling” adalah ketinggian terbang di mana pesawat hanya mampu menanjak  dengan rate of climb 100 ft/menit.    Menurut “poro winasis” bahwa kemampuan "absolute/service ceiling" itu sudah ditentukan sejak design awal dari pabrik lewat uji, yaitu faktor daya mesin dan luas sayap. Daya mesin tinggi menjadikan absolute ceiling tinggi, misalnya “Concorde” absolute ceiling mencapai 68000 kaki (21 km).  Pengalaman saat “ndompleng” Airbus 330-300 dari Kuala Lumpur ke Busan Korsel, karena banyak turbulensi di atas Laut China Selatan akhirnya diijinkan untuk menambah ketinggian sampai 41000 kaki. Kata pilot itu adalah batas kemampuan terbang di mana pesawat tidak mampu lagi menambah ketinggian. Dan ternyata sesuai spesifikasi data yang saya baca bahwa  Airbus A330-300  itu kemampuan "absolute ceiling" nya 41000 feet (hampir 13 km). Pesawat yang terbang jelajah pada altitude yang tinggi, memperoleh banyak keuntungan. Antara lain hemat bensin, relatif bebas  cuaca buruk, kerja engine lebih efisien, true airspeed lebih kencang, dan syukur-syukur  dapat "jet stream" yang mendorong pesawat melaju lebih cepat.   Satu hal lagi keuntungan terbang tinggi yaitu jika terjadi kondisi darurat, maka pilot punya waktu cukup banyak untuk melakukan tindakan keselamatan. Misalnya mesin mati, maka ada cukup waktu untuk gliding dan mampu menempuh jarak luncur yang lebih jauh. Ingat incident Boeing 747-200 flight no 9 British Airways dari Heathrow London ke Auckland NZ. Pesawat dengan 263 penumpang onboard pada tahun 1982 saat melintas di atas Pelabuhan Ratu, tiba-tiba 4 mesinnya mati gara-gara  "keselek nyedot" debu vulkanik Galunggung yang "njeblug" saat itu. Meski 4 mesin semuanya mati  saat cruising pada  36000 kaki, namun pesawat masih bisa gliding (meluncur) dan mendarat di Halim P. yang berjarak sekitar 160 km dengan selamat. Kita berhandai-handai jika engine mati terjadi pada ketinggian rendah, tentu probabilitas keselamatan tidak sebaik itu. Kemudian bagaimana mentransformasikan pada kehidupan manusia? Memang menyambungnya agak “kewuhan”! Tadi sudah disampaikan bahwa kemampuan "absolute/service ceiling" pesawat sudah ditentukan saat design awal. Lha kalau manusia selain design awal berupa "talenta", juga masih harus disertai upaya pemberdayaan diri secara berlanjut. Meningkatkan daya mesin bisa diartikan sebagai upaya pemberdayaan daya nalar/akal/pikir yang didukung academic skill ataupun technical skill yang diterima di pendidikan. Kalau memperluas sayap bisa diartikan sebagai pemberdayaan kemampuan  soft skill atau life skill, yang intinya sebuah ketrampilan untuk membangun interaksi sosial juga loyalitas yang baik. Dalam menjalani hidup, memilih "absolute/service celing" itu pilihan! Misalnya seseorang kepingin memilih pada level yang rendahan saja! Cuma harus siap karena pada ketinggian ini rentan gangguan cuaca buruk, boros fuel, malah salah-salah  bisa juga bisa menabrak obstacle tinggi atau kemasukan FOD,  dsbnya. 
Fase cruising apalagi climbing bagi sebagian besar purnawirawan, pada dasarnya sudah berakhir dan kini tinggal  kenangan. Terus dimanakah kita saat ini? Mungkin yang paling pas  adalah ibarat pesawat yang berada pada fase descend, alias sudah meninggalkan ketinggian cruising menuju fase terakhir dalam penerbangan yaitu landing sebagai destinasi terakhir.   Pada setiap fase penerbangan harus dijalani dengan kehati-hatian dan tetap mengacu pada standard  "safety/keselamatan" yang sudah ditetapkan. Demikian juga dalam hidup kita. Banyak yang mengalami kegagalan pada setiap fase kehidupan.  Meskipun itu bisa jadi sudah menjadi takdir, tetapi bukankah takdir bisa berubah karena do'a dan usaha?  Terus usaha apa yang harus dilakukan jika merasa sudah berada di fase descend. Secara manusiawi setiap orang kepingin hidup lebih lama tetapi tetap sehat dan syukur-syukur masih bisa bermanfaat bagi sesama. Terus bagaimana menganalogikan keinginan manusia untuk hidup lebih lama tersebut, dengan pesawat yang berada pada fase descend untuk bertahan terbang lebih lama dan lama lagi. Kenyataan yang ada bahwa ketinggian terbang  akan terus menurun dan semakin mendekati daratan. Tetapi  agar laju turunnya (descent rate) itu secara perlahan, maka yang terbaik adalah berupaya seoptimal mungkin mengelola glide angle (sudut luncur) yang serendah mungkin. Dengan kata lain energi potensial tinggi yang masih dimiliki pesawat karena berada di altitude tinggi,  harus dikelola secara optimal dengan merubahnya secara gradual ke bentuk energi kinetik berupa kecepatan luncur yang rendah tetapi aman tidak “stall”. Selain itu juga berdoa semoga lalu lintas penerbangan di bandara tempat destinasi terakhir  cukup sibuk/crowded. Dg demikian kita juga disuruh mengantri dengan holding di udara lebih lama dan lama lagi.  Tetapi harus diingat bahwa landing adalah keniscayaan/kepastian! Tidak mungkin holding di udara terus menerus karena bahan bakar yang dibawapun terbatas jumlahnya. Mengelola glide angle untuk mengkonversi energi potensial menjadi energi kinetik secara gradual  untuk menghasilkan kecepatan yang aman, serta mengharap agar berlama-lama holding di udara itu "sanepo/perumpamaan".  Kalau ditrapkan dalam kehidupan yang nyata bagaimana? Telah banyak “wedar sabdo” yang disampaikan oleh para ulama/ahli agama, juga “poro winasis” di FB, WA, Tweeter, dan media sosial lainnya. Yaitu jalani gaya hidup sehat, ibadah/do'a yang khusyuk, rajin bersilaturohmi, rajin sedekah, hindari stress dan lain-lain. Tentang silaturohmi bagi para purnawirawan,  wadahnya sudah ada dan dijamin dari aspek “chemistry” sangat cocok yaitu PPAU karena komunitasnya sudah saling mengenal sangat lama.  Kehidupan setiap orang memang semuanya akan berakhir, sebagaimana pesawat yang harus mendarat dan siap proses “phase out” untuk "static display" di ground selamanya. Harapan akhir setiap fase penerbangan adalah pesawat bisa mendarat di destinasi yang dituju dengan “smooth”, sebagaimana do’a dan upaya kita agar perjalanan hidup ini juga berakhir dengan baik atau “husnul khotimah”.  Untuk itu agar  tidak vertigo atau disorientasi dalam menjalani hidup, maka sebaiknya selalu sadar dalam menetapkan posisi  “Dimana Kita Saat Ini?”……