Kamis, 12 November 2015

WISATA "BACKPACKINGAN" 4 HARI DI CHIANG MAI DAN CHIANG RAI (bagian 5/terakhir)


Ini hari ke 4 kami berada di Thailand bagian utara dalam rangka wisata “backpackingan” 3 hari di Chiang Mai dan sehari di Chiang Rai.  Ada nuansa yang berbeda dibanding dengan hari-hari sebelumnya, antara lain anggota rombongan nampak lebih santai dan tidak terlalu “excited” mengejar target obyek wisata yang akan dikunjungi. Mungkin disadari ini sebagai hari terkahir kami di Thailand, dan bahkan waktu efektifnya hanya setengah hari.  Penerbangan kami kembali ke tanah air terjadwal pukul 16.30 waktu lokal, sehingga paling lambat pukul 14.00 kami sudah tiba di bandara internasional Chiang Mai. Hari ini kita juga sudah tidak menggunakan van Toyota Commuter sewaan dari Chiang Mai Minibus Company. Jadi program hari terakhir kami di Chiang Mai adalah kegiatan yang “soft” tidak melakukan perjalanan jauh melainkan dalam kota Chiang Mai saja.  Semalam kami sudah bikin reservasi melalui reception hotel untuk mengikuti “Mae Ping River Cruise”.  Menurut website mereka, seharusnya fee untuk ikut cruise ini 550 Bath perorang, namun karena kami sebanyak 10 orang akhirnya dapat discount 50 Bath perorang.  Seperti biasa setelah makan pagi kami berkumpul di lobby hotel, dan pagi ini menunggu jemputan dari Mae Ping River Cruise.  Sesuai yang dijanjikan pukul 09.45 mobil Toyota Van Comutter jemputan dari Mae Ping River Cruise sudah tiba  di CH Hotel, dan kami langsung menuju dermaga kecil di pinggir sungai Mae Ping. Kami langsung dipersilahkan memasuki perahu kecil bermotor dan penjelajahan Mae Ping River dimulai.  Mae Ping River mengalir melalui kota Chiang Mai yang menjadikan wilayah kiri kanan sungai bernuansa kota desa. Sungai yang panjangnya 569 km ini menjadi sumber irigasi bagi pertanian, perkebunan dan taman-taman di wilayah Thailand utara termasuk Chiang Mai.   Mae Ping River pada daerah hilir akan bertemu dengan Nan River (Sungai Nan) di wilayah Nakhon Sawan dan menjadi sungai besar yaitu Chao Phraya River yang membelah kota Bangkok dan akhirnya bermuara di Teluk Thailand. Memang jauh berbeda dengan penjelajahan di sungai Chao Phraya yang menggunakan perahu besar (kapal) dengan sungai yang jauh lebih lebar serta view bangunan gedung-gedung tinggi di sisi kiri kanannya.  Di sini sungainya lebih kecil dan relatif sepi serta pemandangan kiri kanan yang banyak menampilkan suasana  desa.  Mae Ping River Cruise ini cocok untuk rekreasi keluarga, pasangan muda-mudi atau suami isteri yang sedang  berbulan madu. Apalagi pada malam hari di sungai ada program “dinner” di atas perahu, yang tentu akan menciptakan suasana romantis dan santai.  Memang dalam melaksanakan cruising beberapa kali rombongan kami bertemu dengan perahu yang hanya ditumpangi oleh sepasang yang kayaknya suami-isteri. Dalam penjelajahan yang berlangsung sekitar 30 menit, kami dipandu oleh seorang guide yang lumayan fasih dalam berbahasa Inggris.  Dia banyak menjelaskan tentang landscape ataupun bangunan-bangunan yang berada di kiri kanan aliran sungai. Dia juga menjelaskan banyaknya apartemen, condominium atau sejenisnya yang dibangun di pinggiran sungai, dengan menawarkan view yang alami.  Dan tentu perumahan tersebut cukup mahal dan rata-rata dihuni oleh orang-orang yang berduit. Akhirnya perahu  merapat di suatu dermaga kecil, dan kami dibawa ke sebuah rumah model petani (farm house).  Rumah yang dipamerkan ini mirip dengan rumah-rumah pedesaan di tanah air pada zaman dulu, sebelum listrik dan modernisasi masuk desa. Rumah beratap genteng ringan tanpa plafon, lantai tanah, tiang-tiang kayu sederhana sebagai penyangga bangunan rumah, ruang-ruang terbuka tanpa sekat, dan lain-lain.  Disamping itu dalam rumah penuh dengan perkakas pertanian ataupun nelayan, seperti perahu dan jala ikan yang digantung di langit-langit rumah, lesung penumbuk padi, alat pemecah gabah secara manual, bangku-bangku dan meja kayu sederhana, dan banyak atribut-atribut lain sebagai simbol rumah desa. Untuk menambah nuansa desa, di sekeliling rumah ditumbuhi berbagai macam tanaman pepohonan serta beberapa jenis hewan peliharaan seperti babi, bebek, ayam, kelinci dan sebagainya. Alhasil pengunjung sengaja dibawa masuk ke suatu ruang dan waktu yang benar-benar bernuansa “ruralis”. Bagi saya yang dibesarkan di kehidupan “ndeso”, melihat ini membangkitkan kerinduan terutama terhadap suasananya, kesunyiannya, kesederhanaannya, termasuk bau “apek” yang ditimbulkannya. Menurut penjelasan guide, tempat ini pernah digunakan untuk lokasi shooting film “Rambo” dengan bintangnya “Silvester Staloon”.  Saya pikir ya pantes saja mengingat film Rambo adalah film “action” yang biasanya menampilkan cerita di balik Perang Indochina. Jadi  tempat ini sangat cocok kalau diseting sebagai tipikal rumah orang Vietnam.  Sebagai akhir dari kunjungan “farm house” ini kami disuguhi minuman dan buah segar. Kebetulan saat itu bos atau “owner” tempat ini ikut menjamu dan berfoto ria bersama kami.  Rupanya kami adalah pengunjung pertama di pagi itu, karena pada saat akan kembali datanglah pengunjung lain yaitu rombongan bule.  Kami kembali menyelusuri sungai yang kali ini arahnya ke selatan dan mengikuti arus sungai.  Setelah sampai ke dermaga, kami telah ditunggu kendaraan pengantar  menuju ke CH Hotel.  Sampai di hotel kira-kira pukul 11.00, sehingga waktu yang tersisa hanya digunakan untuk persiapan pulang ke tanah air. Setelah makan siang dan  check out hotel, kami menunggu jemputan untuk menuju Bandara Internasional Chiang Mai.  

Toyota Commuter Mae Phing River Cruise
Mae Ping River Cruise Office



Cruising di atas perahu tanpa alat pengaman karena memang ini sungai dangkal


The Titanic 2

Rim Ping Condominium di tepian Mae Ping River


Melintas di bawah Nakorn Phing Bridge


Dermaga di dekat Farm House

Penjelasan tour guide tentang situasi dalam Farm House



Nguleg gabah/beras

Salah satu sudut di Farm House

Bersantai sambil minum dan makan buah segar





Air mineral, semangka dan nenas yang dibelah model buah durian

Foto bersama owner Farm House

 Farm House river side
Tepat pukul 13.00 kendaraan Songthaew yang kami pesan semalam tiba, dan kami bergegas meninggalkan CH Hotel. Sebelum menuju bandara kami telah bersepakat dengan sopir Songthaew untuk melihat kota Chiang Mai.  Memang obyek wisata yang kami tinjau selama 4 hari di Thailand Utara, adalah obyek wisata yang berada di luar kota Chiang Mai. Kota Chiang Mai berada sekitar 700 km dari Bangkok dan merupakan kota terbesar ke dua setelah Ibu Kota Thailand. Meskipun “Chiang Mai” dari kata “Chiang” yang artinya  kota dan “Mai” artinya  baru, tetapi kota ini menurut umur sudah bukan “kota baru” lagi.  Chiang Mai dengan pusat sejarahnya yaitu “Old City”, merupakan ibu kota kerajaan Lannathai yang dibangun pada tahun 1296.  Old City merupakan wilayah berbentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi sepanjang 1,5 km yang dibatasi tembok-tembok tebal dan tinggi serta dikelilingi dengan sungai (parit) buatan di bagian luarnya.  Tembok itu masih ada beberapa bagian yang bisa kita saksikan, cuma bentuknya sudah tidak utuh lagi. Tembok beserta parit yang mengelilinginya, dahulu digunakan sebagai pertahanan terhadap serangan musuh yang biasa datang dari utara yaitu Burma. Chiang Mai selain terkenal dengan julukan “Rose of The North” atau “Mawar dari Utara”, juga dapat sebutan kota banyak kuil.  Di dalam Old City sendiri terdapat 30 kuil.  Dalam perjalanan menuju bandara, kami menyusuri jalan-jalan di Old City.  Meskipun tembok di Old City sebagian besar tinggal bekasnya, namun parit yang mengelilingi tembok dipenuhi air dan terjaga keberihannya. Malahan ada beberapa spot yang dihiasi air mancur ataupun dekorasi lainnya.

Salah satu sudut Old City dengan tembok dan parit yang mengelilinginya

Akhirnya kami mampir di salah satu spot wisata yaitu sebuah kuil yang paling populer di Old City yaitu Wat Chedi Luang.  Candi ini mulai dibangun pada tahun 1391 dan selesai tahun 1475 dengan ukuran tinggi  pada awalnya 84 m. Dalam candi ini semula juga disimpan “Emerald Budha” yaitu patung Budha duduk bermeditasi terbuat dari batu hijau (campuran batu giok dan zamrud) dan berpakaian emas.  Namun seabad kemudian tepatnya pada tahun 1545 Chiang Mai diguncang gempa besar, dan puncak candi terpotong sekitar 30 m sehingga tinggi kuil sekarang menjadi kurang dari 60 m. Selanjutnya dengan adanya gempa bumi tersebut, maka demi keamanan “Emerald Budha” dipindahkan dan sebagai gantinya dibuat replika yang terbuat dari batu giok hitam.

Selfie dengan latar belakang Wat Chedi Luang yang bagian atasnya terpenggal oleh gempa
Replika Emerald Budha
Sudut lain dari Wat Chedi Luang

Kunjungan ke Wat Chedi Luang tidak berlangsung lama, dan kami melanjutkan perjalanan ke bandara. Sekitar pukul 14.30 sesuai rencana kami sudah tiba di Chiang Mai International Airport.  Bandara ini sebagai destinasi terakhir bagi para pelancong yang akan mengunjungi Thailand Utara, yang rata-rata ada 2 juta turis mancanegara yang mendarat di airport ini pada setiap tahunnya. Bandaranya cukup kecil, karena hanya punya single terminal dan  juga sebuah runway yang mengarah ke utara-selatan. Setelah drop luggage dan pemeriksaan imigrasi berjalan lancar,  kami masuk ke ruang tunggu dan  kami masih punya waktu sekitar 2 jam dari jadwal keberangkatan pesawat.
Pesawat Airbus A-320 AirAsia nomor penerbangan AK 857 akhirnya take off pukul 17.00 waktu lokal, menuju KLIA 2 yang sekaligus menandai berakhirnya petualangan  kami di kawasan “Rose of the North” atau negeri “Mawar dari Utara”. Penerbangan antara CNX (kode bandara Chiang Mai oleh IATA) ke KLIA2 memerlukan waktur 2 jam 50 menit dengan beda waktu dimana Kualalumpur mendahului 1 jam.
 Tidak banyak yang kami lakukan dalam pesawat kelas ekonomi promo ini, kecuali menunggu makan malam yang sudah kami pesan secara online sebelumnya.  Tentu masing-masing anggota rombongan mempunyai kesan sendiri tentang apa yang dilihat dan dirasakan selama berpetualang 4 hari ini. Kalau saya mungkin karena lelah, maka setelah makan malam langsung jatuh terlelap tidur.  Baru terbangun pada saat deru mesin pesawat diturunkan kebisingannya sebagai tanda bahwa pesawat sudah “descend” yang berarti tidak lama lagi akan segera mendarat di KLIA2.  Pesawat dengan mulus mendarat di bandara “low cost carrier” KLIA2, dan setelah proses imigrasi kami segera mengambil bagasi. Waktu menunjukkan pukul 22.00 saat semua urusan beres. 
Nah sekarang menunggu penantian panjang, karena jadwal penerbangan ke Yogya masih besok pagi pukul 09.40 waktu lokal.  Memang kami tidak menjadwalkan tinggal di hotel sampai jadwal penerbangan kembali ke tanah air keesokan harinya.  Waktu perjalanan dari bandara ke hotel yang relatif jauh dan juga waktu yang sudah cukup malam, menjadi alasan kami untuk menunggu di bandara saja.  Disamping itu cara inilah yang biasa dipakai oleh para “backpackers”, yaitu menggunakan perjalanan malam hari untuk pengganti hotel.  Jadi menggunakan “hotel berjalan” apakah itu di kendaraan ataupun menunggu jadwal penerbangan berikutnya di bandara seperti saat ini. Nah ini akan “save money”!  Oleh karenanya malam itu kami gunakan untuk tidur di bandara.  Cuma kenyataan sering tidak sesuai dengan harapan.  Delapan bulan yang lalu saya pernah mendarat waktu dini hari di KLIA2  untuk transit penerbangan terusan (flight through) dari Taipeh ke Yogyakarta.  Nah saat itu saya lihat banyak turis-turis asing, tidur di lantai berkarpet dan ber AC dengan cukup lelap dan nyaman.  Saya juga banyak brawsing tentang pengalaman turis yang menginap di KLIA2, dan mereka rata-rata nggak masalah.  Tapi ternyata fasilitas yang ada di arrival hall KLIA2 kurang nyaman.  Baru saya sadari bahwa  para turis yang tidur lelap di karpet ber AC yang pernah saya lihat saat itu, ternyata mereka sudah berada di wilayah “airside” atau wilayah dimana orang-orang sudah “secure” alias sudah melewati proses pemeriksaan bandara.  Saya yang saat itu transit karena terbang terusan dari Taipeh-Yogyakarta, maka sudah masuk sebagai orang yang “secure”.  Lha bagaimana kondisi kami saat di KLIA2 kali ini. Kami berada di wilayah “land site” yang artinya sudah tidak “secure” lagi.  Tapi saya menilai memang fasilitas yang ada di KLIA2 ini kurang jika dibanding dengan beberapa bandara yang lain. Contohnya Changi di Singapore yang beralaskan karpet dan penyejuk udara yang cukup tidak terkecuali di ruang kedatangan. Termasuk pengalaman saya mendarat pada waktu tengah malam di Touyuan Airport Taipeh, tersedia fasilitas yang memadai untuk menunggu waktu pagi tiba.  Tersedia kursi sofa empuk, fasilitas charging HP/laptop, ada pemanas air untuk bikin teh, kopi, mie instant, dan seterusnya. Terus di situ tersedia minimart 24 jam yang siap  melayani kebutuhan para traveler seperti makanan dan minuman. Lha ini yang namanya Musholla di KLIA2 saja,  nggak ada karpetnya kecuali hanya 1 lembar di shof depan itupun tidak penuh! Yah betul-betul minim.  Akhirnya dengan kondisi KLIA2 yang seperti itu saya lihat anggota rombongan menghabiskan waktu dengan caranya masing-masing.  Ada yang duduk sambil ngopi di cafĂ©, ada yang rebahan di kursi, lha kalau saya mencoba tiduran di musholla.  Namun kondisi yang ramai akhirnya semalaman saya tidak bisa tidur. Nah untuk melengkapi pengalaman, di banyak kota atau bandara yang ramai ada fasilitas hotel yang unik. Seperti di KLIA 2 ini ada hotel yang disebut “capsule hotel”.  Arti capsule yang cocok untuk terminologi ini ya ruang yang sempit malahan super sempit untuk ukuran sebagai tempat tidur. Jadi ruang itu cuma 2m X 1m dan sesuai dengan ukuran alas tidur yang digunakan. Jadi kalau sudah terlentang di dalamnya, ya cukup sulit untuk merubah posisi karena akan terganjal oleh sekat pembatas.Tetapi ruang tidur ini nyaman karena dilengkapi mesin pendingin dan WIFI.  Malah ada yang memberi istilah capsule hotel ini sebagai tempat pembekuan mayat.  Artinya sebagai tempat yang sempit dan dingin.  Nah karena ada salah satu rombongan kami yang kurang enak badan, agar bisa istirahat dengan baik maka menggunakan fasilitas ini.  Sewa hotel ini dihitung per 3 jam.  He...he…he…. ya begitu berharganya lahan di daerah padat orang seperti ini, sehingga kamar hotel dibuat seperti “locker” barang biar ngirit ruang.         



Suasana di arrival hall

Selamat tidur Pak semoga mimpi indah
Ternyata tetep semangat meski semalaman kurang tidur

Yah akhirnya pagi tiba, dan setelah bersih-bersih badan maka kami menuju ke counter check in untuk  drop luggage serta proses pemeriksaan imigrasi.  Sebelum masuk ke ruang tunggu, terlebih dulu kami menuju outlet kuliner untuk makan pagi.  Jarak proses check in dan ruang tunggu di KLIA2 yang serba jauh membuat perut terasa lapar. Setelah menikmati soto khas KLIA2 dengan porsi jumbo yang membuat super kenyang, maka kami menuju ruang tunggu.
Setelah 2 jam 15 menit penerbangan, pesawat yang membawa kami mendarat dengan mulus di bandara Adisutjipto dan parkir di appron terminal B. Dengan demikian berakhirlah perjalanan kami yang meliputi wilayah 3 negara sekaligus yaitu Malaysia, Thailand dan Laos selama 6 hari (termasuk perjalanan).
See you at the next tour ..........