Senin, 14 April 2014

MENGINTIP DEMO DI NEGERI TETANGGA




 Latar Belakang.   Kekacauan politik telah berlangsung lama di Thailand, yang dimulai dari mosi tidak percaya kepada pemerintahan yang berkuasa di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Yingluck Sinawatra.  Yingluck Sinawatra adalah adik bungsu Taksin Sinawatra mantan perdana menteri Thailand yang terguling melalui cupdetat  militer pada tahun 2006.  Saat ini Taksin Sinawatra berada di pelariannya di luar negeri, karena saat dilengserkan dia sedang berada di New York dalam rangka menghadiri sidang PBB.  Dia dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang, sehingga dihukum dua tahun penjara melalui pengadilan inabsensia.  Yingluck menduduki kursi perdana menteri pada tahun 2011 setelah menang dalam pemilu atas lawan politiknya yang saat itu sebagai calon dari incumbant yaitu Abhisit Vejjajiva.  Dia tercatat sebagai perdana menteri wanita pertama dan termuda di negaranya.  Namun perjalanan karier Yingluck dalam menjalankan roda pemerintahan tidak semulus kariernya dalam memimpin Partai Pheu Thai yang membesarkannya.  Dalam perjalanan waktu pemerintahan Yingluck dianggap sebagai perpanjangan tangan atau boneka dari kakaknya yaitu Taksin Sinawatra yang ada dalam pelarian serta tuduhan sebagai pemerintahan yang korup.  Sikap anti pemerintahan Yingluck lebih dipicu lagi dengan rencana pemberlakuan undang-undang tentang amnesti.  Jika undang-undang tersebut diberlakukan, maka sang kakak yang berstatus pelarian dan telah diputus bersalah dan dihukum, akan dapat melenggang pulang kembali ke negerinya tanpa tuntutan hukum apapun. Inilah yang melatarbelakangi semakin keruhnya situasi politik di negeri gajah putih ini,  yang ditandai dengan semakin maraknya demonstrasi anti pemerintahan yang dipimpin oleh Suthep yang juga sebagai mantan Wakil Perdana Menteri sebelum pemerintahan Yingluck.  Tuntutan para demonstran adalah agar Yingluck Sinawatra mundur  dan menyerahkan kepemimpinan pemerintahan kepada Dewan Rakyat, setelah itu dilakukan reformasi tatanan politik yang saat ini dianggap melestarikan dinasti Sinawatra untuk berkuasa di negeri ini. Dalam rangka meredakan ketegangan politik seperti itu, Yingluck mempercepat Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014, yang ternyata rencana itu juga ditentang oleh lawan politiknya. Puncak dari demonstrasi besar-besaran  dilakukan pada tanggal 13 Januari 2014 dengan slogan “Shutdown Bangkok” atau lumpuhkan Bangkok.  Mereka mengancam akan menduduki jalan-jalan strategis, menduduki pusat-pusat pemerintahan bahkan akan memutus aliran listrik dan air guna mencegah beraktivitasnya roda pemerintahan Yingluck Sinawatra. Menghadapi kondisi tersebut pemerintahan Yingluck mengeluarkan kondisi darurat yang berlaku mulai tanggal 22 Januari 2014 sampai 60 hari ke depan. Dengan pemberlakukan keadaan darurat, berarti pemerintah berhak melarang pertemuan publik yang dihadiri lebih dari lima orang, menahan seorang tersangka lebih dari 30 hari tanpa tuduhan dan menyensor pemberitaan media.  Tujuan pemberlakuan kondisi darurat agar pemerintah bisa mengendalikan situasi keamanan dengan lebih efektif.  Pelaksanaan Pemilu pada tanggal 2 Februari 2014 yang dikawal lebih dari 130 ribu polisi dan 5000 tentara telah dapat terlaksana dengan aman meskipun diboikot oleh partai oposisi, sementara beberapa distrik terpaksa ditunda akibat diblokirnya pusat logistik Pemilu oleh para demonstran.  Kondisi pasca Pemilu ternyata tidak mengendurkan semangat para demonstran untuk memperjuangkan tuntutan mereka.  Bahkan beberapa hari terakhir eskalasi politik semakin memanas dengan terjadinya beberapa tindak kekerasan dan korban jiwa.
Kiat Mendatangi Daerah Pendudukan Para Demonstran.  Pada tanggal 10 sampai dengan 13 Februari 2014 (selama 4 hari 3 malam) saya dengan rombongan berenam yang terdiri dari  keluarga (2 pasang suami isteri dan sepasang bapak dan anak) berkunjung ke Bangkok.  Mengingat banyaknya pemberitaan tentang situasi politik dan keamanan di Bangkok yang kurang kondusif, maka sebelum keberangkatan kami banyak meminta informasi perkembangan terkini situasi politik di sana baik ke Atud (Atase Udara) langsung  ataupun stafnya.  Selain itu kami berhubungan dengan Komunitas Indonesia di Thailand dan orang-orang yang sangat paham tentang Thailand melalui jejaring sosial yang ada.

Para pendemo membangun panggung besar di perempatan strategis di kota Bangkok


Salah satu informasi yang diberikan oleh Atud, bahwa hotel tempat kami menginap saat nanti di Bangkok masuk daerah pendudukan para demonstran. Kemudian dari staf Atud serta Komunitas Indonesia di Thailand maupun teman-teman yang berbagi informasi di jejaring sosial, menyarankan agar kami memilih transportasi seperti Skytrain/BTS, MRT, atau transportasi sungai (perahu).  Alasannya moda transportasi tersebut tidak diganggu oleh para demonstran. Skytrain atau BTS (Bangkok Transit System) adalah moda transportasi kereta api cepat dengan rail track berada di atas yang melintas antara gedung bertingkat di kota Bangkok.  Moda transportasi berikutnya adalah MRT (Mass Rapid Transit) adalah kereta api cepat dengan rail track melalui bawah tanah (under ground), sedangkan tranportasi air yang dimaksud adalah menggunakan boat (kapal) yang melewati Sungai Chao Phraya. Memilih moda transportasi taksi/mobil dikhawatirkan akan terjebak kemacetan akibat diblokirnya beberapa ruas jalan strategis di kota Bangkok.  Itulah informasi awal yang saya terima dari Atase Pertahanan Udara (Atud) ataupun staf Atud.  Berdasarkan informasi tersebut, maka saya selaku yang dituakan dalam rombongan berusaha untuk mencari berbagai alternatif dari setiap kontinjensi yang akan terjadi.  Meskipun hotel yang akan kami tempati diduduki oleh para demonstran, namun lokasinya yang begitu dekat dengan stasiun BTS National Stadium maka dipastikan dapat dijangkau dengan menggunakan skytrain.  Maskapai penerbangan yang kami gunakan adalah AirAsia yang merupakan penerbangan murah atau LCC (low cost carrier). Destinasinya di bandara Don Mueang yang belum tersedia moda transportasi sebaik yang ada di Swarnabumi. Untuk menyambung ke BTS (Skytrain), maka kami harus menggunakan bus dari bandara menuju ke Stasiun BTS Mochit, selanjutnya berganti skytrain menuju ke Stasiun BTS National Stadium.  Dari informasi yang saya peroleh bahwa naik bus di Bangkok khususnya pada jam sibuk, sangat repot kalau harus membawa bawaan besar dan berat (koper), karena dalam bus tidak tersedia fasilitas penyimpanan koper. Nah untuk itu saya mengambil insiatif untuk menggunakan “flunyesak” atau karung tentara yang terbuat dari kain yang liat dan kuat.  Sedangkan barang bawaan yang harus masuk check baggage masing-masing keluarga hanya dua tas punggung saja, yang nantinya harus dimasukkan dalam “plunyesak”.  Pada saat sudah sampai di Don Mueang, kedua tas punggung dikeluarkan dari “plunyesak” dan digendong di punggung guna memudahkan pergerakan.  Ini penting karena dalam setiap kondisi darurat kita perlu pergerakan yang cepat, dan ini bisa dilakukan jika kita tidak membawa barang dengan ukuran besar dan berat.  Disamping itu saat menuju ke Stasiun BTS/Skytrain, kita harus naik cukup tinggi dan tidak semua Stasiun BTS tersedia eskalator.  Bayangkan bagaimana repotnya membawa bawaan ukuran besar dan berat untuk menaiki tangga yang cukup tinggi secara manual.  Pasti akan repot!  Karena itulah menggunakan “plunyesak” adalah sebuah skenario yang paling tepat untuk menghadapi semua itu, meskipun nampak seperti tentara yang mau berangkat tugas operasi militer.  Untuk memastikan bahwa hotel dimana kami tinggal nantinya aman dari gangguan para demonstran, maka seminggu sebelum kepergian saya menelpon ke Hotel Muangphol Mansion.  Ada rasa tenang dan lebih meningkatkan rasa percaya diri, setelah memperoleh  jawaban dari sana : “Don’t worry, no problem” katanya.
Nah dalam pelaksanaannya ternyata tidak berbeda dengan rencana yang sudah dibuat. Begitu kami turun dari Skytrain yang kami tumpangi di destinasi terakhir yaitu di Stasiun National Stadium, kami disuguhi pemandangan yang dalam istilah Jawa disebut “ora jamak lumrahe” yang artinya pemandangan yang tidak lazim. Dari flatform stasiun kami melihat beratus tenda-tenda kecil yang seragam dan berbaris rapi didirikan di tengah jalan utama termasuk perempatan strategis di sekitar stasiun. Disamping itu juga terdapat beberapa tenda yang sangat besar.  Sejenak baru tersadar bahwa inilah tenda-tenda para demonstran yang menduduki lokasi-lokasi strategis di kota Bangkok.  Setelah mengaambil gambar sesuatu yang kurang lazim tadi, kami berusaha keluar melalui exit nomor 3 untuk mendapatkan gang (soi) yang menuju hotel seperti petunjuk arah yang saya terima.  Ternyata semua exit ditutup oleh pendemo. Wah lewat mana ini? Ternyata ada sebuah jalan menuju ke sebuah mall besar yaitu Mahboonkrong (MBK), dan itu ternyata satu-satunya jalan untuk keluar dari Stasiun.  Dan ternyata benar saat kami menuruni tangga jalan keluar tersebut, di ujung tangga disapa oleh salah seorang demontran dan minta ijin untuk melihat isi tas punggung saya. Dia hanya melihat secara sekilas dan langsung mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan. 
Cara Demo di Thailand.  Hotel dimana kami tinggal berada dalam wilayah pendudukan para demonstran, sehingga jalan menuju ke hotelpun ditutup dan dijaga oleh para demonstran dengan cara buka tutup.  Hasil pengamatan kami selama 3 hari di sana, terlihat bahwa pola berdemo mereka dengan cara menduduki lokasi-lokasi strategis antara lain perempatan jalan-jalan utama ataupun tempat-tempat strategis lainya. Pendudukan lokasi-lokasi tersebut tidak hanya berjalan dalam hitungan hari, namun telah berlangsung  bulanan.  Mereka mendirikan tenda-tenda untuk berteduh pada siang hari ataupun tidur pada malam hari.  Bentuk tenda-tenda mereka sangat seragam dan disusun berbaris rapi di sepanjang jalan ataupun ruang-ruang kosong.  Disamping itu mereka membuat panggung besar untuk orasi politik dan acara musik untuk mengisi waktu sela.  Mereka bukan komunitas yang berpenampilan garang dan seram menakutkan, tetapi berperilaku ramah apalagi terhadap para wisatawan yang memang juga bukan target mereka.  Bahkan dalam perjalanan ke dan dari hotel kami selalu melewati dapur umum mereka, dan tidak jarang kami ditawari untuk mencicipi makanan yang disediakan para pendemo.  Dengan pendudukan yang berlangsung sekian lama, maka lokasi para pendemo berubah seperti pasar tumpah karena tidak urung mendatangkan para penjaja makanan dan minuman, souvenirs, pakaian atribut demo dan sebagainya.  Tujuan mereka untuk memberikan tekanan fisik ataupun psikologis, sehingga pemerintahan yang ditentang akan menuruti tuntutan mereka.  Dalam mencapai tujuan, mereka tidak vandalish ataupun bersifat merusak.  Tidak ada corat-coret di sekitar daerah demonstan, tidak ada perusakan fasilitas umum, dan tidak ada perilaku para demonstran yang liar, misalnya berteriak-teriak histreris, memanjat pagar pembatas jalan,  membakar ban, melakukan agitasi, provokasi dan sebagainya.  Para pendemo rajin menjaga kebersihannya dengan mengumpulkan sampah-sampah dalam kantong plastik besar ataupun dalam tong-tong yang besar, dan setiap pagi petugas kebersihan mengambil sampah tersebut dengan aman.  Bahkan saya menyaksikan seorang demonstran memunguti bekas-bekas puntung rokok yang ada di sela-sela hamparan kerikil yang ada di jalan pemisah dua jalur.  Mungkin mereka paham betul mana yang berhubungan dengan kepentingan negara dan mana yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah yang ditentangnya.   Bahkan pada saat pukul 08.00 pagi dimana di setiap fasilitas umum diperdengarkan lagu Kebangsaan Thailand, maka dengan semangat nasionalisme yang tinggi mereka berdiri untuk memberi penghormatan.  Karena demonstrasi di sana bukan sesuatu yang seram menakutkan, maka kegiatan masyarakat berjalan seperti biasa, pusat-pusat perbelanjaan, rumah makan, tempat-tempat hiburan dan mall besar seperti MBK tetap buka sampai pukul 22.00 seperti biasanya.

Kemah kecil dan seragam berjejer rapi di sekitar National Stadium


Bagaimana Berdemo di Negeri Kita.   Demo dimanapun biasanya yang ditentang adalah kebijakan penguasa yang dalam hal ini pemerintah. Mereka melakukan tekanan fisik dan psikologis terhadap pemerintah yang berkuasa, sehingga pemerintah akan menuruti tuntutan para pendemo.  Seperti yang terjadi di Thailand mereka memblokir jalan strategis dan juga pusat kegiatan pemerintahan agar roda pemerintahan tidak berjalan.  Dalam melakukan aksi ini mereka tidak merusak  fasilitas umum yang nota bene itu milik negara.  Tetapi bagaimana dengan demo di negeri kita? Kita sering bingung untuk mencari jawab, apa hubungan antara pintu dan pembatas jalan tol dengan tujuan demonstrasi? Apa salahnya mobil berplat merah, sehingga ia harus dirusak dan dibakar? Bukankah itu semua dibangun dan dibeli dengan uang negara yang notabene juga uang kita semua? Mengapa demo harus selalu dibarengi dengan penampilan wajah serem dan garang, perilaku yang destruktif, agitatif dan provokatif menakutkan.  

Para demonstran membangun kemah besar dan kemah-kemah kecil,
 namun kebersihan tetap  terjaga
       Hampir dipastikan pada saat terjadi demo, maka pusat-pusat layanan publik apakah itu toko, tempat hiburan, rumah makan dan sejenisnya memilih untuk menutup usahanya dari pada resiko terkena dampak dari para pendemo yang biasanya vandalish.  Ini memang perilaku massa yang gampang diprovokasi menjadi suatu kemarahan massa. Tetapi kelihatannya massa demonstran di negeri kita gampang sekali tersulut oleh hasutan para provokator, atau bisa jadi para demonstran yang militan tersebut sebelumnya sudah menyimpan potensi marah.  Dengan demikian demonstrasi yang semula berlangsung secara damai, mudah berubah menjadi demonstrasi yang anarkis. Meskipun demonstrasi selalu mengatasnamakan  aspirasi rakyat, namun cara demonstrasi yang demikian sering malahan tidak memperoleh simpati dari rakyat yang diwakilinya.......