Minggu, 15 Desember 2013

PERJALANAN BACKPACKER KE NEGERI SAKURA (BAGIAN 2)

 Benar juga, semalam hampir tidak bisa tidur akibat kamar yang diberikan oleh Hostel Mikado sama sekali  tidak nyaman.  Sesuai jadwal perjalanan yang sudah saya buat, hari ini harus meningggalkan Osaka menuju Tokyo.  Saat check out, saya  menitipkan 2 luggage besar ke reception hostel sambil menyampaikan komplain tentang ketidaknyamanan kondisi kamar semalam. Saya meminta agar saat kami menginap kembali ke hostel sekembali dari Tokyo, diberikan kamar yang lebih baik.   Dengan berbekal dua tas punggung masing-masing di bawa oleh saya dan isteri, kami meninggalkan Shin Immamiya menuju stasiun Osaka untuk terlebih dahulu menukarkan voucher JR Pass yang saya beli di Jakarta.  JR Pass adalah sejenis tiket langganan kereta api yang dioperasikan oleh JR (Japan Rail Line), dengan kurun waktu tertentu seperti seminggu, 2 minggu dan 3 minggu.  JR Pass hanya bisa dibeli di luar Jepang, sehingga kalau sudah terlanjur masuk ke Jepang berarti sudah tidak bisa membeli tiket ini.  Penukaran voucher menjadi JR Pass dilayani di loket khusus dengan syarat hanya mengisi format sederhana yang sudah tersedia, khususnya menentukan mulai diberlakukannya JR Pass.  Saya sengaja mengisi berlakunya JR Pass pada pagi ini,  karena dengan perhitungan masa berlaku JR Pass saya akan berakhir beberapa saat sebelum saya meninggalkan Jepang.   Masa berlakunya JR Pass didasarkan pada perhitungan hari kalender dari tengah malam ke tengah malam dan bukan dari perhitungan jam.   


Bentuk  kepala Shinkansen yang lancip aerodinamik

 Setelah menukarkan JR Pass saya segera ke Shin Osaka yaitu stasiun pemberhentian kereta api Shinkansen yang akan membawa kami ke Tokyo.  Dengan JR Pass di tangan, berarti kami berdua bisa pergi kemanapun sejauh kereta tersebut dioperasikan oleh JR.  Yang jelas JR merajai jaringan kereta api di Jepang, termasuk ke pelosoknya Jepang.  Dalam rangka mengoptimalkan perjalanan, kami mampir di salah satu kota besar yang terletak antara Osaka dan Tokyo, yaitu Yokohama.  Disana kita temui beberapa obyek wisata menarik antara lain China Town, Yamashita Park, Pabrik Bir Kirin dan beberapa lainnya.  Namun kami hanya mengunjungi China Town dan Yamashita Park, dengan alasan lokasinya berdekatan.  Caranya sangat gampang, kita turun di Shin Yokohama untuk ganti kereta JR Yokohama Line menuju ke stasiun Yokohama. Kemudian di Yokohama ganti JR Negishi Line dan turun di Stasiun Ishikawacho. Sekitar 7 menit jalan kaki, kita sudah sampai di Chinatown (Pecinan).  Sebagaimana Chinatown yang biasanya ditemui di berbagai negara, Chinatown di Jepang juga mempunyai ciri khas yang relatif sama. Saat masuk area Chinatown, ditandai dengan gapura sebagai pintu masuk dan bangunan-bangunan  yang sarat ornament khas China yang sangat glamour dengan warna-warna.  Menurut cerita bahwa Kampung Pecinan di Yokohama ini  terbesar di Jepang, dan berkembang pesat setelah Yokohama menjadi pelabuhan perdagangan internasional yang pertama di Jepang.  Di sepanjang jalan Kampung China ini dipadati oleh para pejalan kaki dan di sisi kanan-kiri jalan penuh dengan  Rumah Makan dan stand-stand yang menjual barang dan makanan khas China.  Meskipun dari hostel tadi telah makan kenyang, namun dengan situasi tersebut akhirnya tergoda juga untuk mencicipi masakan China di Jepang. Cuma dalam hati bergumam : “kalau hanya makan nasi goreng ala China, maka  di Yogya pun bisa dan ngapain harus jauh-jauh ke Jepang segala!”. Tapi ya biarlah, karena memang perut juga sudah lapar. Di sisi lain biar punya pengalaman makan masakan China di negeri Oka-oka Bento. Memang saya tidak boleh berspekulasi tentang makanan.  Selain masalah halal dan haram, isteri juga Seakan memperoleh tambahan energi baru, setelah makan melanjutkan perjalanan ke Yamashita Park. Jarak antara Chinatown dengan Yamasitha Park tidak jauh, hanya memerlukan waktu sekitar 5 menit dengan berjalan kaki. Taman ini merupakan daerah hijau berlatar belakang laut, memanjang di tepi laut Yokohama sepanjang 750 m yang dibangun setelah peristiwa gempa bumi tahun 1923.  Jalan beraspal yang dibangun sepanjang tepi laut sebagai jalan para pejalan kaki, menjadikan kita sangat betah menikmati keindahan panorama laut beserta bangunan-bangunan menarik di sekitarnya. Disamping itu ada ratusan burung laut yang berterbangan dan menghampiri tangan kita saat kita membawa makanan untuknya. Beberapa obyek wisata yang ada di Yamshita Park antara lain Kapal Hikawa Maru dan Marine Tower.  Kapan Hikawa Maru merupakan kapal kelas satu yang mengarugi jalur Yokohama-Vancouver sejak tahun 1930.  Kapal ini juga pernah digunakan oleh keluarga kerajaan dan juga bintang film Charlie Chaplin.  Setelah dioperaiskan selama 30 tahun, maka pada tahun 1960 kapal dipensiunkan dan dijadikan sebagai museum.  Marine Tower berdiri di dekat Hikawa Maru dengan ketinggian 100 m.  Bagian paling atas dari tower berbentuk bundar dan digunakan sebagai ruang observasi. Jika kita ingin memasuki museum Hikawa Maru harus membeli tiket seharga 200 Yen, sedangkan ke Marine Tower harga tiket 750 Yen.  Saya tidak masuk ke dalam dua obyek wisata tersebut, karena sudah cukup puas dengan menikmati Yamashita Park bagian luarnya,  termasuk bisa cuci mata melihat para pengunjung yang mulai cukup ramai.  Setelah puas mengunjungi kedua daerah wisata tersebut, perjalanan dilanjutkan ke Tokyo melalui jalan sama untuk menuju ke stasiun Shin Yokohama. Di Shin Yokohama berpindah ke Shinkansen menuju Tokyo.  Setelah sampai Tokyo, berpindah ke kereta JR Yamanote Line menuju Nippori, dan selanjutnya dari Nippori berganti kereta JR Joban Line menuju Minamisenju sebagai stasiun terakhir. Perjalanan menuju hostel tidak terlalu masalah, karena sudah mendapatkan peta dan petunjuk arah menuju hostel.  Disinilah keramahan orang Jepang terhadap tamunya terbukti lagi.  Guna meyakinkan bahwa saya sudah pada arah yang benar, saya  bertanya kepada petugas stasiun Minami Senju yang kantornya berada di gate keluar stasiun. Responsi terhadap pertanyaan saya, maka dengan kata-kata yang tidak saya pahami dia  ke luar dari kantornya dan mengantar saya sampai ke jalan sambil menunjuk arah  yang harus saya tempuh. Dalam kondisi seperti ini saya merasa beruntung pernah menjadi tentara, karena setidaknya kami diajari bagaimana membaca medan yang biasanya berupa peta. Yang terpenting kita harus mengenal posisi-posisi bangunan terkenal sebagai patokan dalam mencari tempat yang kita tuju. Yang kami tuju adalah Aizuya Inn yaitu hostel yang kami booking sebelumnya. Jika menemukan 7 eleven sebelah kanan jalan, maka tetap jalan terus dan setelah menemukan tempat parkir belok kiri dan disitulah letak hotel yang kami cari. Pada saat kami datang di hostel hari sudah gelap karena memang sudah pukul 19.00.  Hostel ini cukup kecill hanya 19 kamar yang terdiri dari 3 lantai.  Hanya ada seorang receptionist di sana, dan saat itu  saya dapat kamar di lantai 3 yang harus dinaiki dengan tangga kayu (tanpa lift). Ya lumayan untuk menjaga kondisi kesamaptaan jasmani yang sangat diperlukan oleh seorang backpackers. Ukuran kamar sekitar 3m X 4m dan tidurnya di lantai beralaskan kasur tradisional ala Oshin.  Tetapi kondisi kamar cukup bersih dengan kamar mandi di luar.  Fasilitas hostel ada internet di lobbi dan WIFI, dapur, laundry, sedang kamar mandi (shower)  dioperasikan dengan coin 100 Yen selama 5 menit.  Kalau pingin irit dan tidak malu dianggap pelit, durasi shower 5 menit bisa cukup untuk mandi 2 orang dengan masuk bergiliran. Untuk mengisi perut saya mulai mecoba rekomendasi dari para backpackers untuk makan murah di negara yang serba mahal ini. Kami berdua ke 7 eleven yang cukup dekat dengan hostel, dan betul juga disana dijual nasi bento yang di kemas dalam kemasan plastik yang rapi.   Berbagai alternatif tersedia seperti nasi dengan ayam, nasi dengan ikan tuna, porsi besar, sedang atau kecil, kita tinggal memilih. Pada saat membayar di kasir, petugas kasir langsung menawarkan pingin dipanasi atau tidak.  Ternyata nasi Jepang selalu nikmat rasa ketan (sticky rice), seperti layaknya yang dijual RM Oka-oka Bento di tanah air. Malam itu kami habiskan di hostel dengan bermain internet di lobbi dan bertemu dengan penghuni hostel lainnya, antara lain pasangan suami isteri orang Malaysia, ibu dan anak dari Jerman dan seorang Perancis.  Sekitar pukul 21.00 kami masuk kamar dan karena lelah juga perjalanan jauh seharian, kami terlelap tidur.  Dalam kelelapan tidur tersebut, saya terperanjat bangun gara-gara dibangunkan isteri yang nampak ketakutan karena ada gempa bumi.  Saya tidak terlalu percaya kalau betul-betul ada gempa bumi, karena di luar orang tenang-tenang saja.  Jangan-jangan ini hanya halusinasi isteri saya saja. Maklum kami orang Bantul yang pernah digoncang gempa cukup dahsyat pada tahun 2006 dan Jepang juga baru setahun sebelumnya terkena gempa dan tsunami besar. Memang negara ini secara geologis berada dalam zona kegempaan yang cukup ekstrim.  Ternyata gempa bumi memang betul-betul terjadi meskipun dengan skala kecil, dan itulah yang dibicarakan oleh para  penghuni hostel. 
Pagi ini kami mempunyai 2 agenda yaitu pergi ke Euno Park untuk melihat keindahan mekarnya bunga sakura di sana dan akan berkunjung ke Imperial Palace.  Akses menuju Ueno Park sangat gampang, yaitu dengan naik Minami Senju dan turun di  stasiun Euno selanjutnya keluar melalui “Park Exit”. Jarak dari stasiun Euno ke taman cukup dekat dan sampilah kami di depan gerbang utama menuju Kebun Binatang Euno (Euno Zoo).  Di taman banyak tempat duduk yang disediakan, dan kami duduk santai sambil menikmati nasi box yang kami beli dari salah satu kios  di stasiun keberangkatan Minami Senju tadi. Kesan pertama saat sampai di sana, kami agak ragu mengapa tidak melihat bunga sakura mekar. Saya hanya melihat pohon-pohon besar hanya berdahan dan beranting tanpa ada daun apalagi bunga. Dan pohon-pohon itu yang kami yakini sebagai pohon sakura. Padahal sesuai infomasi di internet bahwa bunga sakura hanya mekar selama seminggu dalam setahun, yaitu akhir Maret sampai awal April.  Keluhan ini saya sampaikan ke isteri saya dengan bahasa Jawa begini : “Wah wong Jepang ki ngapusi. Jarene wektu-wektu ngene kembang sakura mekrok kok tibane ora”. Artinya : Orang Jepang ternyata nipu. Katanya saat-saat begini bunga sakura itu pada mekar, lha ternyata tidak”.

Bunga Sakura di Euno Park dengan gelaran tikar untu hanami

Memang dalam backpackingan, kita harus mampu merubah kekecewaan dengan suatu bentuk gurauan. Janganlah kekecewaan direspon dengan ketegangan dan serius menanggapinya. Capeklah kita! Karena itu isteri saya nanggapi ya dengan santai: “Jangan shuudhonlah, kita lihat dulu”.  Nah untuk mengobati kekecewaan itulah maka saya mengelilingi beberapa tempat di taman tersebut, seperti Tokyo Metropolitan Art Museum, Western Art Museum dan National Science Museum.  Kami hanya menikmati luarnya saja, dan kurang berminat untuk memasukinya.  Setelah puas berputar-putar di area tersebut, kami mengarah ke sisi yang berbeda yaitu posisi sebelah kanan dari kebun binatang.  Dan ternyata bahwa disinilah pohon-pohon sakura yang jumlahnya  ribuan pohon, berbunga bermekaran dengan warna-warni yang menawan.  Pohon-pohon sakura tersebut tumbuh berjejer di  sisi jalan taman tersebut, dan banyak wisatawan domestic ataupun mancanegara yang  mengadakan pesta makan yang disebut “hanami”. Konon “hanami” atau “ohanami” yang dalam bahasa Jepang artinya melihat bunga yang dalam hal ini bunga sakura.  Mereka menikmati keindahan bunga sakura dengan duduk-duduk di bawah pohon  beralaskan tikar, sambil piknik (makan-makan) seperti layaknya pesta kebun.Bagi orang Jepang, sakura dihubungkan dengan perempuan, kehidupan, kematian, serta juga merupakan simbol untuk mengekspresikan ikatan antar manusia, keberanian, kesedihan dan kegembiraan.  Sakura juga menjadi metafora untuk cirti-ciri kehidupan yang tidak kekal (Wikipedia). Saya melihat pohon sakura tidak termasuk jenis pohon yang berbatang besar dan tinggi, melainkan jenis pohon dengan ukuran dan ketinggian sedang. Dengan ketinggian pohon yang relatif rendah, maka dengan berdiri saja kita dapat meraih bunga-bunga sakura yang tumbuh pada ranting-rantingnya dengan mudah. Sangat nyaman dan nampak romantis, ketika kita menyelusuri jalanan taman yang bernaungkan pohon-pohon sakura dengan bunga-bunganya yang mekar dengan warna yang menyejukkan mata. Namun sesuai agenda kami harus segera meninggalkan Euno Park  untuk menuju ke Imperial Palace.  Jarak kedua tempat ini tidak jauh.  Caranya dengan naik kereta api turun di stasiun Tokyo, selanjutnya keluar melalui Marunouchi Centra Exit  terus jalan kaki selama 15 menit sampailan kita di depan Kikyo-mon Gate.  Sesuai arahan yang saya terima lewat email, bahwa pengunjung harus sudah lapor datang ke petugas di Kikyo-mon Gate 10 menit sebelum tour yang dijadwalkan mulai pukul 13.30. Ya menyesuaikan dengan budaya disiplin tinggi bangsa Jepang, maka saya sudah siap setengah jam sebelum jadwal (mantan tentara sudah biasa disiplin khususnya tentang ketepatan waktu).  Waktu yang tersisa kami gunakan untuk berjemur, karena meskipun matahari cukup bersinar, namun badan tetep menggigil karena suhu udara cukup rendah yaitu sekitar 11 derajat Celsius.  Kebetulan di depan istana ada lapangan yang sangat terbuka. Istana yang dikepung tembok batu tinggi terkesan demikian kharismatik, ditambah sungai yang cukup lebar dengan air bening yang mengitarinya serta banyak burung air bermain-main di air membuat suasana enak untuk dinikmati. Apalagi para pengunjung yang akan ikut tour pada pukul 13.30 sudah mulai berdatangan, dan saya tahu bagaimana masyarakat Jepang ada budaya membungkuk sebelum saling bersalaman pada saat ketemu teman/kenalannya.  Setelah itu mereka pada ngobrol dan bercengkerama dengan bahasa yang betul-betul tidak saya ketahui. 

Sungai-sungai yang mengitari dan lapangan luas di sekitar istana
 Berkunjung ke Imperial Palace harus mendaftar secara online dulu, sehingga kita memperoleh nomor ijin  kunjungan serta berbagai ketentuan dan pelayanan.  Salah satu pelayanannya, kita dipandu dengan seorang “tour guide” dengan bahasa Jepang.  Untuk pengunjung bangsa lain diberi brosur berbahasa Inggris dan dipinjami “audio guide” yang bisa diputar selama tour. 


Bingung mencocokan obyek yang dilihat dengan peta yang dipegang
Tour berlangsung dengan berjalan sambil  berbaris mengelilingi jalan-jalan di dalam komplek istana, yang sesekali berhenti untuk mendapatkan penjelasaan dari tour guide.  Keseluruhan jarak tour yang ditempuh sekitar 2,2 km dengan waktu sekitar satu setengah jam. Setelah mengikuti tour kami ke suatu tempat yang cukup dekat dengan kawasan istana untuk jalan-jalan sekitar Tokyo dengan menggunakan Sky Bus. Bus ini terdiri dari 2 lantai, dimana lantai atas beratap langit (terbuka) sehingga kita bisa melihat pemandangan kota dengan jelas. Bagi orang asing diberi “audio guide” berbahasa Inggris. Perjalanan bus berkeliling bagian luar tembok istana sekitar 1 jam.  Terus terang ini termasuk mahal, karena harus keluar uang 1500 Yen atau sekitar Rp. 150.000,-. Selesai berwisata dengan Sky Bus hari sudah menjelang sore dan kami langsung kembali ke hostel. Sampai hostel sudah menjelang malam. Karena suhu udara malam sangat dingin  (mencapai 5 derajat Celsius), maka malam itu kami gunakan tinggal di hostel sambil ngobrol sama turis Malaysia yang kebetulan dia baru saja dari mengunjungi hot spring di luar kota Tokyo.  Untuk makan malam, kami kembali lagi menyantap nasi bento seharga 300 Yen di 7-eleven dekat hostel.     
Keesokan harinya adalah  Selasa tanggal 3 April 2011, sesuai dengan itinerary kami akan ke Disneysea.  Di Tokyo terdapat dua dunia fantasi yang saling berdekatan yaitu Disneyland dan Disneysea.  Mengingat saya pernah berkunjung ke Disneyland di Hongkong, maka demi efisiensi saya putuskan untuk memilih yang belum pernah kami lihat yaitu Disneysea. Maklum tiketnya cukup mahal, yaitu 6200 Yen. Pembangunan Disneysea diilhami oleh adanya cerita legenda dan mithos tentang laut.  Atraksi yang ada di Disneysea terdiri dari 7 kawasan, yaitu Mediterranian Harbour, Mystery Land, Mermaid Lagoon, Arabian Coast, Lost River Delta, Port Discovery dan American Waterfront.   Pada pagi itu cuaca di Tokyo kurang bagus, karena saya lihat langit nampak berawan merata dan berangin (windy).  Ternyata pada saat saya menitipkan kunci hostel, receptionist mengatakan bahwa kemungkinan hari ini akan ada badai. Dia bilang “not really typhone” melainkan hanya “strong wind” (angin kencang).  Lebih lanjut dia mengatakan bahwa meskipun hanya  “strong wind”,  biasanya kereta api akan berhenti beroperasi. Informasi tersebut saat itu tidak terlalu saya hiraukan, cuma sedikit mengganjal di benak saya yang berujung pada sedikit kekhawatiran jika ramalan tersebut menjadi kenyataan.  Dengan mengucap “Bismillah” akhirnya saya tinggalkan hostel.  Namun karena perut baru terisi segelas energen yang selalu sengaja kami bawa dari tanah air pada setiap bepergian jauh, maka sambil menuju ke stasiun Minamisenju terlebih dahulu kami mampir ke kios kaki lima di stasiun untuk beli nasi bento.  Untuk menuju ke Disneyland, kami menumpang kereta api yang menuju ke  Nippori dengan JR Joban Line selanjutnya pindah JR Yamanote Line    untuk menuju ke Tokyo.  Di stasiun Tokyo, kami pindah kereta menuju ke stasiun Maihama dengan JR Keiyo Line.  Untuk menuju ke Disney Sea bisa menggunakan Monorail dengan harga tiket 250 Yen, atau kalau pingin irit bisa jalan kaki yang bisa ditempuh selama 20 menit.   

Plataran Disneysea

 Setelah masuk area Disneysea kami segera membeli tiket dan masuk ke arena atraksi-atraksi yang ada.  Atraksi yang pertama kali kami coba saat itu, adalah menjelajah kanal-kanal dengan sejenis boat sampai suatu area tertentu. Setelah itu kami mencoba beberapa permainan, namun karena cuaca tidak mendukung maka kami hanya memungkinkan  permainan-permainan yang berada di indoor.  Setelah bosan berada di indoor, saya ke area luar namun hujan cukup deras disertai angin.  Ternyata atraksi-atraksi di luar (oudoor) juga berhenti operasi karena cuaca.  Dengan kondisi yang tidak nyaman tersebut, kami memutuskan untuk kembali hostel saja.  Ternyata untuk menuju ke stasiun monorail di mana kami datang tadi pagi demikian sulit.  Kami harus menerjang hujan dan angin, dengan mantel plastik  tipis yang baru saja kami beli seharga 500 Yen di salah satu konter di Disneysea ini.  Kami melompat dari satu bangunan ke bangunan lain untuk menghindari terpaan hujan, dan alhamdulillah akhirnya kami sampai juga ke stasiun monorail dimaksud.  Sesampai di sana kami agak terkejut dan bertanya-tanya dalam hati  karena banyaknya orang-orang berkerumun  di halaman stasiun tersebut.  Begitu kami mendekati pintu masuk stasiun, penjaga stasiun dengan menggerak-gerakan tangan sambil berkata setengah berteriak “no train, no train”.  Wah gawat ini, terus gimana cara kami pulang? “Do you have any solution for getting my hostel?”  Dia memberi respon secara cepat, yaitu memberi dua buah kertas yang ternyata adalah dua tiket bus menuju ke Metro Tokyo. Selanjutnya dari Metro Tokyo nanti bisa naik kereta bawah tanah (subway) menuju stasiun Minami Senju yang diperkirakan masih beroperasi. Petugas stasiun memberikan tiket sambil menunjuk letak terminal bus yang tidak jauh dari stasiun monorail tersebut.  Benar juga bahwa di terminal bus yang letaknya hanya sekitar 200 m dari stasiun monorail, sudah banyak calon penumpang yang mengantri ibarat tali yang berliuk-liuk ratusan meter panjangnya.   Hebatnya meskipun mereka mengantri cukup panjang dan dalam kondisi hujan angin dengan suhu udara yang cukup dingin (50 C) di suatu terminal terbuka yang hanya terlindungi atasnya, namun mereka tetap tenang, tertib, tidak ada kegaduhan sama sekali.  Untuk mengendurkan ketegangan dan mengurangi rasa dingin yang serasa menusuk tulang, kami makan snack sejenis crispy crackers yang sengaja kami bawa dari Indonesia.  Kebetulan di belakang kami berdiri ada gadis remaja, yang saat ditawari isteri untuk makan snack Indonesia dia tidak menolak.  Nama gadis tersebut adalah Miki, dan dia menawarkan diri akan membantu kami ke Stasiun Metro Tokyo sampai mendapatkan kereta yang menuju ke Minami Senju.  Kami terlibat dalam obrolan dengan gadis ini meskipun dengan bahasa Inggris yang sederhana dan sekenanya, sehingga waktu menunggu giliran naik bus tidak membosankan.  Ada kekawathiran pada diri saya dengan kondisi ini, karena sejak awal persiapan saya backpackingan ke Jepang hanya menggunakan transportasi kereta api. Saya tidak siap sama sekali tentang bagaimana menggunakan moda transportasi bus di Jepang ini.  Badan yang menggigil kedinginan dan kekawathiran dengan apa yang akan terjadi dalam perjalanan ini, akhirnya kami sudah mendapat giliran untuk masuk bus meskipun harus berdiri. Bus bergerak meninggalkan terminal, dan sepanjang perjalanan kami diterpa hujan yang cukup deras disertai angin kencang.  Saya agak lupa berapa lama waktu dibutuhkan untuk mencapai stasiun Metro Tokyo, tapi yang jelas saat meninggalkan Disney Sea tadi hari masih terang dan saat tiba di Metro Tokyo sudah malam.  Sistem transportasi di Jepang sudah terintegrasi dengan sangat baik, sehingga bisa dipastikan selalu ada halte pemberhentian bus di dekat setiap stasiun. Ternyata benar bahwa Bus berhenti tidak jauh dari stasiun Metro Tokyo. Namun dengan kondisi hujan deras disertai angin, maka perjalanan yang jaraknya kurang dari 100 m menjadi masalah besar.  Mantel plastik yang saya pakai bersama isteri sering lepas karena dihempas angin.  Miki gadis remaja yang berjalan di samping kami basah kuyup karena tidak bermantel atau berpayung, nampak tenang saja yang seakan kondisi tersebut biasa dialami.  Begitu kami menginjak pintu masuk stasiun muncul harapan baru yang lebih baik, yaitu bisa naik subway menuju Minami Senju. Dan Miki gadis remaja yang menemani kami, sesuai janjinya mengantarkan kami sampai ke gate subway yang dimaksud. Tetapi nasib mujur belum menyertai kami saat itu, karena ternyata  bahwa jaringan subway yang menuju ke Minami Senju juga tidak beroperasi. Akhirnya Miki sesuai janjinya yang akan mengantar kami sampai di Metro Tokyo, berpamitan dengan bahasa Inggrisnya yang terbata-bata. Di dekat gate nampak kerumunan massa yang tadinya penuh harap bisa terangkut dengan subway ke jurusan masing-masing.  Mungkin kegalauan saya bersama isteri diperhatikan oleh rombongan turis dari Taiwan, sehingga Ketua rombongan menawarkan kami untuk ikut dengannya.  Dia memberi saya peta berikut penjelasannya tentang stasiun yang akan kami tuju, yang mungkin dari stasiun tersebut bisa menggunakan kereta api yang masih beroperasi menuju ke Minami Senju. Akhirnya kami mengikuti rombongan turis Taiwan menuju ke halte bus dan menumpang bus ke stasiun yang saya lupa namanya. Singkat cerita sampailah kami ke stasiun yang kami tuju, dan alhamdulillah masih ada kereta api yang dioperasikan oleh Hybia line yang salah satunya menuju ke Minami Senju. Tentu kami harus bayar, karena JR Pass tidak masuk dalam layanan jalur ini. Syukur alhamdulillah kami sampai stasiun Minami Senju sudah sekitar pukul 09.00 malam, dan hujan sudah berhenti. Dalam perjalanan dari stasiun ke hostel saya melihat onggokan payung-payung rusak, yang nampaknya sengaja dibuang oleh penggunanya karena hancur akibat  terhempas hembusan angin yang cukup kuat.  Perasaan kami saat itu sangat “plong” karena baru keluar dari situasi kegalauan yang mencekam, akibat kereta api yang berhenti beroperasi.  Selain badan capek karena stress juga rasanya perut belum diisi sejak siang tadi.  Karena itu kami mampir ke 7-11 untuk beli nasi kotak (bento), dengan harapan nanti bisa dimakan di hostel.  Pada saat keluar dari 7-11, kami agak terkejut karena ada orang yang memanggil.  Dia berteriak sambil mengacungkan tangan kiri dengan lima jari terbuka ke arah saya. Dengan tangan kanannya menunjuk ke arah mulutnya, mengisyaratkan bahwa ia minta uang untuk beli makan.  Kami menangkap maksudnya dan isteri saya langsung memberinya uang 500 Yen. Setelah sampai di hostel, ternyata hujan badai di Tokyo dan sekitarnya pada hari itu menjadi pemberitaan utama di TV Jepang. Nah itulah pengalaman yang pahit di negeri orang, tetapi sekalius menjadi pembelajaran betapa Jepang sangat mengutamakan keselamatan kerja.  Mereka sudah menetapkan suatu SOP (Standard Operating Procedures) bahwa  apabila hujan disertai angin dengan kecepatan tertentu, maka salah satu tranportasi yaitu kereta api harus berhenti beroperasi.
Pada pagi harinya Rabu 4 April 2013, saya sudah bangun saat waktu Subuh dan melihat langit lewat jendela hostel yang nampak lebih cerah dengan pagi kemarin.  Agenda perjalanan pada pagi ini setelah check out hostel, kami akan langsung ke  Shinjuku.  Stasiun Shunjuku disebut sebagai stasiun tersibuk di dunia, yang melayani lebih dari 2 juta penumpang setiap harinya.  Ada belasan jalur kereta api dan juga jalur subway (kereta bawah tanah).  Termasuk jalur kereta api JR Yamanote juga melayani jurusan ke Shinjuku, sehingga kami bisa menggunakaan kartu langganan JR Pass. Shinjuku juga merupakan pemberhentian bagi bus-bus jarak jauh dan bus antar kota.  Shinjuku dikenal sebagai tempat gedung-gedung jangkungnya Tokyo, termasuk menara kembar yang digunakan sebagai Kantor Pemerintahan Metropolitan Tokyo.  Di menara ini terdapat anjungan untuk pengamatan (observation deck) yang bisa dikunjungi umum.  Nah tempat ini sebagai salah satu yang akan kami kunjungi hari ini. Untuk menuju ke sana sebenarnya bisa menggunakan JR Yamanote Line dengan lintasan memutar (looping) mengitari wilayah Tokyo.  Namun cara ini akan menempuh jarak yang jauh, padahal pada tengah hari nanti kami akan kembali ke Osaka. Oleh karena itu kami menggunakan jalur tengah, yang membelah lintasan loop yang mengitari Tokyo.  Jalur yang kami gunakan adalah kereta api cepat Chuo Line yang dioperasikan oleh JR,  dan hanya memerlukan waktu 15 menit sudah sampai di Stasiun Shinjuku.  Dari Stasiun Shinjuku sebenarnya hanya cukup berjalan kaki selama 10 menit untuk mencapai Tokyo Metropolitan Government Building, namun saat itu kami menggunakan bus.  Menara ini tingginya 243 m dengan 2 menara, dan untuk mencapai anjungan pengamatan untuk masing-masing tower harus menaiki lift ke lantai 45. Sebelum naik lift, harus melalui pemeriksaan metal detektor. Yah ini wajib dilakukan untuk mengantisipasi tindak kejahatan terorisme di tempat sepenting Gedung Pemerintahan ini. Ketinggian observation dect adalah 202 (lantai 45). Pada saat itu cuaca cukup bagus, sehingga kami bisa mengamati dengan jelas panorama indah seperti Gunung Puji yang nampak kuning kecoklatan, Menara Skytree, Menara Tokyo, Istana Meiji.  

Pemandangan kota Tokyo dari Observation Deck di lantai 45

Di Observation Deck juga ada cafĂ© untuk santai dan penjualan souvenir.  Cukup lama kami menikmati panorama dari suatu ketinggian, sampai waktunya kami harus meninggalkan menara ini sekaligus meninggalkan Tokyo untuk menuju ke Osaka. Pada saat kami keluar lift melihat ada kantor informasi wisata. Sambil melihat-lihat layanan apa saja, saya ingat dengan terjadinya badai kemarin.  Karena itu saya menanyakan tentang badai, karena cukup menimbulkan trauma.  Bayangkan saat kami nanti perjalanan jauh ke Osaka, tiba-tiba kereta api berhenti operasi.  Wah nggaklah! Makanya saya menanyakan kepada pertugas yang di dalam kantor tersebut, tentang kemungkinan adanya badai saat perjalanan kami kembali ke Osaka.  Ternyata petugas informasi wisata mengatakan bahwa badai telah menjauh dari kawasan Tokyo dan Osaka, dan alhamdulillah saat ini sudah berada di wilayah Jepang bagian utara.  Menjelang tengah hari kami meninggalkan Tokyo dengan menggunakan kereta api cepat Shinkansen Sakura (bersambung ke bagian 3)