Sabtu, 18 Februari 2012

HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN




HEBOH PESAWAT KEPRESIDENAN
 
Meski pengadaan pesawat terbang kepresidenan RI sudah direncanakan sejak tahun 2010, namun penyerahan secara resmi pesawat seri 737-800 Boeing Business Jet 2 (BBJ 2) pada tanggal 21 Januari 2012 ternyata mengundang banyak reaksi. Reaksi paling keras ditujukan kepada para penyelenggara negara yang tidak peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat yang lebih membutuhkan pelayanan yang lebih baik di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan.   Kebutuhan transportasi udara untuk perjalanan presiden baik dalam atau luar negeri saat ini selalu menyewa pesawat Garuda. Namun dengan pertimbangan beberapa aspek, maka pengadaan pesawat kepresidenan dianggap sebagai kebutuhan.  Sebenarnya sampai sejauh mana pentingnya Indonesia untuk memiliki pesawat kepresidenan, maka tinjauan ini didasarkan pada beberapa aspek.
Aspek Geografis.  Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (lebih dari 17.000 pulau) dan wilayahnya cukup luas.  Selanjutnya dengan keberagaman suku, agama, dan adat istiadat, maka seorang kepala negara harus menjadi perekat bangsa. Karena itulah seorang kepala negara siapapun orangnya, harus selalu dekat dan dicintai rakyatnya. Guna memperoleh itu semua, maka dalam mengeluarkan kebijakan seorang kepala negara harus selalu memihak kepentingan rakyat dan juga tidak kalah pentingnya harus sering mengunjungi rakyatnya.  Jangan sampai terjadi kecenderungan seperti pada akhir-akhir ini, sebagian masyarakat kita misalnya yang tinggal di daerah perbatasan lebih mengenal pemimpin negara tetangga dari pada pemimpin negeri sendiri. Agar memenuhi kebutuhan tersebut, maka satu-satunya jenis transportasi yang menjamin kecepatan, daya jangkau, serta fleksibilitas adalah pesawat terbang. 
Aspek Sejarah.  Presiden Indonesia terdahulu yang mempunyai masa jabatan lebih dari sekali masa jabatan dalam masa pemerintahannya, telah melakukan pengadaan pesawat kepresidenan.  Presiden pertama Bung Karno yang berkuasa selama 21 tahun, pernah memiliki DC-3/Dakota, Ilyushin 14, dan tiga buah pesawat jet transport Jetstar.  Pesawat DC-3/Dakota bernomor ekor RI 001 Seulawah merupakan hadiah dari rakyat Aceh, Ilyushin 14 hadiah dari pemerintah Uni Sovyet, sedangkan 3 Jet Star dibeli dari Lockhead AS.  Pesawat kepresidenan inilah yang digunakan untuk mendukung perjalanan sang presiden ke segenap wilayah Nusantara. Dalam perjalanan  ke luar negeri, Presiden Soekarno tidak selalu menggunakan Garuda karena belum mempunyai pesawat yang mampu untuk penerbangan jarak jauh.
Salah satu dari 3 C-140/Jet Star Pesawat Kepresidenan Era Bung Karno
 
 Ketika berkunjung ke AS dan bertemu dengan presiden Kennedy, Bung Karno justru menyewa pesawat Boeing 707 milik maskapai penerbangan AS yaitu Panam lengkap dengan awak cabin dan pilotnya. Presiden Sukarno juga mempunyai pesawat helikopter kepresidenan jenis Hiller 360A, yang penerbangan perdananya dilakukan  dengan membawa presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati keliling Jakarta secara bergantian, karena kapasitas helikopter hanya 1 penumpang saja. Helikopter Hiller 360 A diganti dengan dengan Bell 47 G dan Bell-47J-2E, serta Sikorsky S-58 yang berkapasitas lebih besar. Bahkan pada tanggal 11 Maret 1966 yang merupakan proses awal lengsernya sang presiden, Bung Karno terbang ke istana Bogor karena istana Merdeka dikepung oleh pasukan yang tidak diketahui identitasnya.

Helikopter Kepresidenan Hiller 360 A
Presiden Soeharto sebagai pengganti Bung Karno, termasuk mengeluarkan kebijakan untuk mengganti semua pesawat kepresidenan yang pernah dipakai Bung Karno. Pada awal pemerintahan Soeharto menggunakan pesawat C-130/Hercules TNI AU untuk perjalanan dalam negeri, sedangkan untuk lawatan ke luar negeri menyewa pesawat milik Garuda. Pesawat yang digunakan antara lain DC 8, DC 10, dan MD 11.  Bahkan pesawat MD-11 Garuda beregistrasi PK-GIM, merupakan pesawat yang mengantarkan Soeharto ke Mesir yang sekaligus merupakan  perjalanan terakhir sebagai seorang presiden pada bulan Mei 1998.  Selama masa pemerintahannya Presiden Soeharto pernah membeli beberapa pesawat, yaitu Fokker 28, Bae 146 buatan British Aerospace, dan Avro RJ-185. 
Salah satu pesawat kepresidenan era Suharto BAe 146

Soeharto lengser dan digantikan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, dengan masa kepemimpinan yang hanya beberapa bulan.  Pada masa pemerintahan presiden Abdul Rachman Wahin (Gus Dur), Megawati, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono, dalam melakukan perjalanan baik ke dalam ataupun luar negeri selalu  menggunakan Garuda.  Pesawat yang digunakan antara lain Airbus A-330  ataupun  Boeing 737 series.  Ada sedikit catatan yang berhubungan dengan penggunaan pesawat untuk mendukung perjalanan pada saat masa pemerintahan Gus Dur.  Karena seringnya bepergian ke luar negeri, maka dengan pertimbangan penghematan biaya perjalanan, Gus Dur pernah menggunakan Boeing 707 milik TNI AU yang tentu sebelumnya harus mengalami perbaikan dan perubahan konfigurasi.  Ada suatu kejadian yang agak tidak mengenakkan pada saat kunjungan Gus Dur ke Australia dengan menggunakan Boeing 707 ini.  Pada saat itu pesawat terpaksa didaratkan secara darurat  di Darwin setelah diketahui indikator tekanan oli menyala, yang dicurigai terjadi kerusakan pada sistem pelumasan mesin.  Akhirnya Gus Dur beserta rombongan menggunakan pesawat angkut Australian Air Force untuk melanjutkan perjalanan ke Sidney, dan pulangnya ke tanah air dijemput pesawat Garuda. Kejadian tersbut menuai kritikan dari para anggota DPR lantaran biaya perjalanan menjadi membengkak dua kali. 
Boeing 707 TNI AU yang membawa Gus Dur ke Aussie

Berdasarkan aspek sejarah sebenarnya Indonesia telah memiliki pesawat kepresidenan semenjak era presiden pertama, sehingga keinginan memiliki pesawat kepresidenan pada era presiden sekarang merupakan hal yang wajar.

Aspek Keamanan

Meskipun standar pengamanan seorang presiden selalu disesuaikan dengan eskalasi ancaman terhadap negara yang bersangkutan, namun standar minimal pengamanan selalu diberikan bagi seorang kepala negara.  Pengamanan tersebut diberikan dalam berbagai hal tidak terkecuali alat transportasi yang digunakan termasuk pesawat terbang.  Pesawat terbang kepresidenan akan memberikan jaminan keamanan yang lebih baik dari pada pesawat sewaan.  Berbagai alasan karena pemeliharaan dan pengoperasian pesawat bisa dilakukan oleh SDM dengan integritas, kompetensi, dan security awareness yang tinggi. Dengan demikian peluang terjadinya ancaman terhadap keamanan presiden melalui wahana transportasi udara berupa pesawat terbang kepresidenan akan menjadi lebih kecil dari pada jika menggunakan pesawat sewaan. Disamping itu pesawat kepresidenan juga dilengkapi peralatan keamanan misalnya badan pesawat yang dirancang anti peluru, pemasangan anti jamming guna melindungi sistem komunikasi pesawat dari gangguan lawan, dan sebagainya.  Dengan demikian seorang kepala negara yang sarat dengan tugas-tugas kenegaraan harus juga diberikan jaminan keamanan yang lebih baik dalam penerbangan. Keamanan dalam penerbangan bagi seorang kepala negara akan lebih terjamin jika memiliki pesawat kepresidenan sendiri.  
    
Penggunaan Pesawat Kepresidenan Lebih Efisien dan Optimal

Berdasarkan penjelasaan dari Sekretaris Kemensesneg Lambock  Nahattands bahwa biaya sewa pesawat terbang pada tahun 2005 s/d 2009 sebesar  90,4 juta dollar AS, dengan kenaikan biaya sewa setiap tahun sebesar 10%.  Adapun jika membeli pesawat BBJ2 dengan harga 91,2 juta dollar AS, biaya perawatan dan operasional selama 5 tahun sebesar 36,5 juta dollar AS. Kemudian jika diperhitungkan depresiasi pesawat selama 5 tahun senilai 10,423 juta dollar AS dan nilai buku aset pesawat sebesar 80,785 juta dollar AS, maka akan diperoleh penghematan 32,136 juta dollar AS. Gambaran di atas merupakan penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan pemilikan sendiri dibanding dengan sewa selama 5 tahun. Penghematan pemakaian pesawat kepresidenan dengan cara memiliki sendiri dibanding dengan cara sewa pesawat akan terus bertambah seiring dengan semakin lamanya usia pemakaian pesawat.  Selanjutnya pemakaian pesawat juga akan lebih optimal, karena tingkat kesiapan (readiness rate) yang lebih tinggi.
Berdasarkan catatan di atas, maka sebaiknya pengadaan pesawat kepresidenan tidak perlu diributkan lagi.  Proses pengadaan ini sudah dimulai sejak tahun 2010 dan sudah dibayar lunas dengan cara pembayaran dicicil tiga kali.  Secara prosedural menurut aturan pengadaan barang yang dibiayai APBN sudah benar yang dimulai antara lain penentuan spesifikasi teknik, persetujuan DPR, proses tender dan sebagainya.  Namun proses pengadaan baru pada pembayaran harga “green aircraft” sebesar 58,6 juta dollar AS. Yang dimaksud “green aircraft” adalah pesawat kosong belum termasuk interior kabin dan sistem keamanan.  Pengadaan interior kabin dianggarkan sebesar 27 juta dollar, sistem keamanan sebesar 4,5 juta dollar, dan biaya administrasi sekitar 1,1 juta dollar AS.  Menurut Sekretaris Kemensetneg, pengadaan interior kabin dan sistem keamanan saat ini dalam proses pelelangan yang pemenangnya ditentukan pada akhir Februari ini.  Dengan adanya reaksi keras dari masyarakat terhadap pengadaan pesawat terbang kepresidenan ini, diharapkan dapat menekan harga pengadaan interior kabin dan sistem keamanan menjadi lebih rendah dari pada pagu yang dianggarkan.
Kemudian ada beberapa pertanyaan mengapa pesawat kepresidenan tidak menggunakan produksi dalam negeri.  Kebutuhan pesawat terbang kepresidenan tentu disesuaikan dengan luas wilayah geografi Indonesia, juga termasuk pemetaan jarak negara-negara yang akan dikunjungi.  Oleh karena itu dibutuhkan pesawat yang bisa terbang cepat dan stamina terbang (flight endurance) yang tinggi, sehingga jarak capai penerbangan menjadi lebih jauh.  Selain itu kapasitas penumpang juga harus disesuaikan dengan jumlah rombongan presiden pada setiap kunjungan baik di dalam maupun ke luar negeri.  Pesawat dengan spesifikasi teknik tersebut belum dibuat di PTDI sampai saat ini.  Pesawat transport produksi PTDI yang sudah banyak digunakan baik sebagai angkut militer maupun sipil di beberapa negara adalah CN 235. Pesawat CN 235 merupakan pesawat transport ukuran sedang bermesin turboprop dengan kecepatan jelajah sekitar 450 km/jam, sedangkan kapasitas hanya 44 penumpang. Bandingkan dengan kecepatan pesawat BBJ 2 yang terbang dengan kecepatan lebih dari dua kali CN 235, serta mempunyai flight endurance sekitar 9 jam. Kapasitas penumpang CN 235 hanya 44 orang, sedangkan kapasitas pesawat BBJ2 lebih dari 150 penumpang.  Namun kapasitas pesawat BBJ 2 setelah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan konfigurasi pesawat kepresidenan, maka jumlah tempat duduk bisa berkurang menjadi sekitar setengahnya. Pengurangan jumlah tempat duduk tersebut antara lain karena ruangan diambil untuk penyediaan ruang tidur, ruang rapat, dan sebagainya. Memang kadang kita lupa dengan menganggap bahwa presiden adalah manusia super. Padahal seorang presiden kurang lebih juga sama dengan kita dalam hal ketahanan fisik, apalagi usia seorang presiden biasanya sudah tergolong “senior”. Dalam penerbangan yang lama, ia butuh istirahat, santai, dan ingin memanfaatkan setiap peluang untuk hal-hal yang berhubungan dengan tugas kepresidennya, misalnya bisa melakukan rapat, jumpa pers, atau bisa memberikan perintah atau arahan kepada para pejabat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sangatlah wajar jika pesawat kepresidenan dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk mendukung keperluan tersebut.  
Dalam rangka menjangkau seluruh wilayah Indonesia, memang belum cukup kalau hanya menggunakan BBJ2 sebagai pesawat kepresidenan, karena pesawat ini tentu tidak bisa mendarat pada landasan pendek semacam lapangan terbang perintis.  Oleh karena itu, idealnya selain pesawat BBJ2 masih harus didukung pesawat sejenis CN 235 yang mampu mendarat pada landasan pendek, dan juga helikopter untuk mengunjungi daerah-daerah yang jauh dari lapangan terbang.
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebaiknya pembelian pesawat kepresidenan ini tidak usah dihebohkan, karena semua telah dilakukan dengan pertimbangan berbagai aspek termasuk prosedur pengadaannya.  Hal ini perlu agar atmosfer negeri ini tidak bertambah semakin keruh, yang pada akhirnya hanya akan menurunkan kinerja kita sebagai komponen bangsa.